Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Dalam studi Al-Qur’an, nama Al-Baidlawiy
dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab
tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di
kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat). Populeritas kitab Tafsir
Al-Baidlawiy di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain
karya Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam.
Beberapa bagian dari tafsir Al-Baidlawiy ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir
Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan (matin wa muttaqin) sehingga sering
dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan
pembentukkan kata (Al-Shina’iyyat al-Lafdhiyyah). Dan atas karunia Allah SWT,
kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang
menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada
mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada
yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari
kitab tafsir tersebut
Para ulama memberikan perhatian yang besar
terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali komentar (hasyiyah) dari para ulama
yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap
kitab tafsir Al-Baidlawy itu “hanya” sekitar empat puluhan, Edwin Calverley
menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari
120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih
dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Di
Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya
yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy
tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan
Pesantren.
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana
biografi imam al-baidlowi ?
2. Apa sajakah
karya-karyanya?
3. Bagaimana sejarah
penulisan, metode penafsiran, sistematika penafsiran, karakteristik penafsiran
serta contoh penafsiran tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi imam Al-Baidlawi
Al-Baidlawi dilahirkan di Baida’, sebuah daerah yang
berdekatan dengan kota Syiraz di Iran Selatan. Di kota inilah beliau tumbuh dan
berkembang menempa ilmu. Ia juga pernah belajar di Baghdad hingga kemudian
menjadi hakim agung di Syiraz (Azarbaijan) –suatu daulah yang berdiri sendiri
namun tetap berkiblat kepada daulah Abbasiyah –mengikuti jejak ayahnya.[1]
Imam Abdullah ibn Umar bin Muhammad bin Ali as-Sayrazi, Abu Said al-Khoir
Nasiruddin al-Baidawi al-Syafi’I,[2]
yang merupakan nama lengkap Imam al-Baidawi yang berasal dari desa Baidho’
adalah seorang ulama multidisipliner dalam ilmu pengetahuan, yaitu ahli
dalam bidang tafsir, bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, teologi, dan mantiq. Iapun
merupakan sosok yang pandai berdebat dan sangat menguasai etika berdiskusi,
sehingga pantaslah ia mendapatkan gelar nazzar atau mutabahhir fi
maida fursan al-kalam. Al-Baidhawi merupakan salah satu pengikut madzhab
syafi’iyah dalam bidang fiqh dan ushul fiqh serta menganut konsep teologi ahl
al-sunnah wa al-jama’ah.
Sesuai dengan jabatan dan keahliannya dalam berbagai bidang
keilmuan, al-Baidawi dapat disebut sebagai sosok yang unggul dalam
masyarakatnya. Salah satu bukti kepandaiannya adalah pujian yang diteriama
beliau, yaitu nasir al-din (penolong agama). Al-Baidawi hidup dalam
keadaan politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk
kekuasaan pada saat itu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun
tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun
juga sikap hedonis dan boros dari para pejabat yang berkuasa. Nampaknya hal
inilah yang melatarbelakangi pengunduran diri al-Baidawi dari jabatan hakim
agung. Intervensi dari penguasa terhadap lembaga peradilan yang begitu kuat
membuat kekhawatiran tersendiri bagi banyak fuqaha’, termasuk al-Baidawi.
Mereka khawatir jika diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan
dengan syari’at Islam. Keputusan al-Baidawi ini juga dipengaruhi oleh nasihat
yang diberikan oleh pembimbing spiritualnya, Syaikh Muhammad bin Muhammad
al-Khata’i agar al-Baidawi tidak lagi bersentuhan dengan lembaga hukum.[3]
Setelah melepaskan jabatannya sebagai hakim di daerah
Syiraz, al-Baidawi mengembara ke Tabriz dan berguru pada ulama setempat. Ia
singgah di sebuah majlis dars bagi para pembesar setempat. Karena kehebatan
beliau, banyak diantara pembesar setempat memujinya. Dikota inilah beliau
mengarang kitab tafsir yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.
Beliau menetap di kota ini hingga ajal menjemputnya. Ada perbedaan diantara
ulama tentang tahun wafat beliau, antara lain al-Subki dan Asnawi menyatakan
bahwa al-Baidawi wafat pada tahun 691 M, sedangkan Ibnu Kasir menyatakan bahwa
beliau wafat tahun 685 M.
B. Karya-karya
a. Anwar
at tanzil wa asror at ta’wil (bidang tafsir)
b. Syarah
Musyabih (Hadis)
c. Tawali’
al anwar, al-Misbah fi Ushul al-Din (teologi)
d. Syarah
Al Mahsul, Minhaj al-Wusul
ila ‘Ilm al-Usul (Ushul fiqih)
e. Syarah
At tanbih (Fiqih)
f. al-Lubb
fi al-Nahwu (nahwu)
g, al-Tahzib
wa al-akhlaq (tasawuf)
h. Nizam
al-Tawarikh (sejarah), dan masih banyak lagi.[4]
C. Sejarah penulisan kitab tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Kitab ini merupakan kitab tafsir
yang populer dalam umat islam, dan kitab tafsir ini dinamai oleh Al Baidhowi
sendiri dengan nama “Anwar at tanzil wa
asror at ta’wil”. Hal ini tampak dalam pernyataan beliau yang terdapat
dalam pengantar tafsirnya:
“Setelah melakukan shalat istikharoh, saya memutuskan untuk melakukan
apa yang telah saya niatkan, yaitu menulis dan menyelesaikan apa yang telah
saya harapkan. Saya akan menamakan kitab ini, setelah penulisannya, dengan nama
Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”
Al Baidhowi menyebutkan dua
alasan yang mendesaknya untuk menulis tafsir ini. Pertama, bagi beliau, tafsir
dianggap sebagai ilmu yang tertinggi diantara ilmu agama yang lain. Mengenai
alasan yang pertama beliau menulis “Sesungguhnya
ilmu yang paling tinggi derajatnya dan paling mulya adalah ilmu tafsir. Ia
adalah pemimpin ilmu-ilmu agama dan kepalanya, fondasi dan dasar agama. Tidak
pantas bagi seseorang untuk bicara mengenainya kecuali bagi mereka yang
menguasai pengetahuan agama, baik yang ushul maupun yang furu’, dan ahli dalam
bahasa dan sastra”.
Kedua, melaksanakan apa yang
diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran yang terbaik. Dalam
hal ini beliau menulis: “saya telah lama
berkeinginan menulis disiplin ini.... yang telah saya pelajari dari para
sahabat, tabiin dan kaum salaf. Buku yang juga akan mencakp fikiran-fikiran
terbaik yang saya, dan mereka sebelum saya, peroleh dari para pendahulu dan
para ulama...”.
Dalam penulisan tafsir ini,
beliau memperoleh dari gurunya (Syaikh Muhammad Al Khata’i) yang menyarankan
beliau untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir
ini pun dilakukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar.
Beberapa penelitian terhadap
tafsir Al Baidhawi, seperti Al Zahabi menyimpulkan bahwa sang pengarang
memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada
beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al
Kasyaf karya Zamakhsyari, Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin Ar Razi, dan tafsir
karya Al Raghib Al Asfahani. Hanya saja, Al Baidhawi melakukan seleksi secara
ketat, sehingga meninggalkan paham-paham yang di anut para penulisnya.
D.
Corak dan sistematika penafsiran
tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Tafsir karangan
Al-Baidlawy ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba
memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan
syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi
al-ra’yi (yang terpuji) sekaligus. Artinya bahwa Al-Baidlawiy tidak hanya
memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan
Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga
menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat
argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir
ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab,
ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir
mafatih al-ghaib dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir Al-Raghib
Al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-kasysyaf karya
Al-Zamakhsariy, Al-Baidlawiy dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika
menjelaskan lafadl, tarakib, dan nakt al-balaghah. Dalam hal penetapan hukum,
tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlussunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir
mafatih al-ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Raziy.
Kadang, beliau
mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih
pandangan madzhab ahlussunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat
Al-Baqarah: 2-3:
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا
رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣
Sebagai petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib,
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada
mereka”.
Setelah memberikan
penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, Al-Baidlawiy mencoba untuk
mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlussunnah,
Mu’tazilah, dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan
masdzhab Ahlussunnah.
Contoh penafsiran yang
menggunakan cerita israiliyat ialah Qs. Al-Naml: 22
فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ
فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٖ يَقِينٍ
٢٢
Tidak lama kemudian
datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu
ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”.
Dalam hal ini, setelah
menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan
dari lafadl makatsa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, Al-Baidlawiy
mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan
bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”.
Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman
dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga
tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan
Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang
lebuih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui
kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang
mengingkarinya akan menolaknya”.
Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Baidlawiy sebenarnya tidak memiliki kecenderungan
khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya
fiqh, fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai
corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini
dukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi
beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas,
sebagai seorang Sunni, penafsiran Al-Baidlawiy memang cenderung kepada madzhab
yang yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih
kental nuansa teologisnya.
Di samping itu,
Al-Baidlawiy memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat
al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai
membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan
hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang
menguatkan perkiraan Al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini Al-Baidlawiy
terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin al-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan
Qs. Al-Shaffat: 10;
.....فَأَتۡبَعَهُۥ
شِهَابٞ ثَاقِبٞ ١٠
”Maka ia diburu oleh bola api yang
menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau
memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam
ayat tersebut. Al-Baidlawiy menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu
adalah uap yang yang menguap menjadi ether kemudian menyala....
`Dari segi sistematika
penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari ”hanya: dua jilid ini, diawali
dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an,
signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian
diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya,
Al-Baidlawiy berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya
yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkaty dan praktis dengan harapan
agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan
shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini.
Tafsir ini
memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga
bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya
pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk
menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara
catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab
al-Khalajiy, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini
mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir Al-Baidlawiy ini.
E.
Metode penafsiran tafsir anwar al-tanzil wa asrar
al-ta’wil
Sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, tafsir
al-Baidawi ini menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari
surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari al-Fatihah sampai al-Nas.[5]
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau menggunakan berbagai
sumber, antara lain ayat al-Qur’an, hadis Nabi, pendapat para sahabat dan
tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Selain itu, penggunaan tata bahasa dan
qira’at juga menjadi suplemen utama guna penguatan analisis dan penafsiran
al-Baidawi. Pun keberadaan cerita-cerita israiliyat dapat ditemukan walau
penggunaanya diminimalisir oleh al-Baidawi.
Adapun langkah operasional penafsiran al-Baidawi dalam
kitabnya ialah mula-mula al-Baidawi menyebutkan tempat turun surat (makki
atau madani) beserta jumlah ayat yang menjadi obyek. Penjelasan makna ayat
baik menggunakan analisis kebahasaan, hadis nabi, maupun qira’ah menjadi
langkah selanjutnya yang diterapkan al-Baidawi. Pada bagian akhir surah, beliau
menyertakan hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan surat yang sedang
ditafsirkan. Lebih lanjut, al-Baidawi juga menggunakan metode munasabah ayat
(hubungan internal) antara suatu ayat dengan ayat lain. Penggunaan term
munasabah ini tampak sangat kentara dalam tafsir al-Baidawi. Secara keseluruhan,
bahasa yang digunakan beliau dalam penafsirannya cukup ringkas dan tidak
bertele-tele. Hal ini salah satunya dapat ditunjukkan dengan jumlah jilid yang
hanya terdiri dari dua buah.
F.
Penilaian ulama terhadap kitab tafsir anwar
al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Kitab tafsir
Al-Baidlawiy jelas memperoleh perhatian tersendiri dari umat Islam, juga di
dunia Barat. Hal ini, antara lain, terbukti dengan begitu banyaknya hasyiyah
yang meberikan catatan dan komentar terhadap tafsir tersebut. Sebagaimana
dikemukakan di awal, penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah
menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir
Al-Baidlawiy. Sebuah perhatian yang luar biasa. Belum lagi banyak terjemahan ke
dalam berbagai bahasa yang dilakukan terhadap tafsir tersebut.
Terlepas dari banyaknya
hasyiyah tersebut, kitab tafsir tersebut memperoleh tanggapan yang beragam dari
berbagai kalangan. Sebagian memberikan penilaian yang bernada memuiji,
sementara sebagian yang lain memberikan penilaian yang cenderung negatif.
Berikut ini akan dikemukakan tanggapan yang bermunculan di sekitar tafsir karya
Al-Baidlawiy tersebut.
Kebanyakan komentar
terhadap tafsir ini beranggapan bahwa Al-Baidlawiy merangkumnya dari kitab
tafsir yang lain, khusunya Al-Kasysyaf. Haji Khalifah dalam kitabnya kasyf
al-dhunun memberikan komentar bahwa ”Kitab tafsirnya ini merupakan kitab yang
sangat penting, kaya akan penjelasan. Di tempat lain ia menyatakan, ”Kitab ini
merupakan rizki dari Allah yang diterima dengan baik oleh para pemuka agama dan
ulama, mereka mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah terhadapnya.
Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian
dari kitab tafsir tersebut.
Al-Kazaruni memberikan
komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini :meliputi rangkuman pendapat banyak
imam besar dan kejernihan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an dan
menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katanya yang sulit.... Berbeda dengan
tanggapan Yusuf Rahman yang menulis tentang ”unsur hermeneutika tafsir
Al-Baidlawiy menyatakan bahwa sikap Al-Baidlawiy yang tidak menyebutkan sumber
dalam penafsiran yang dilakukan itu ”membuat kita menuduhnya sebagai seorang
’plagiat’”.
Sedangkan Quraisy
Shihab melihat dari segi corak pembahasannya. Beliau menganggap bahwa tafsir
Anwar Al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy merupakan salah satu
tafsir yang ”cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk
Al-Qur’an, yang tadinya difahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang
sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan
pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang
menyentuh jiwa serta menalarkan akal”.
Namun pada akhirnya
langkah baiknya kita kemukakan tanggapan Al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa
kita tafsir Al-Baidlawiy ini merupakan ”salah satu kitab induk di antara
berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin
memahami firman Allah SWT, dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya’.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kitab tafsir anwar al-tanzil karya imam al-Baidlawi
yang terdiri dari dua jilid besar dengan metode yang diawali dengan membaca
tahmid, menjelaskan keutamaan dan kelebihan Al–Qur’an dan signifikansi ilmu
tafsir, menguraikan latar belakang penulisan tafsirnya dan kemudian memulai
penafsirannya dengan segala pujian dan keritikan yang diberikan kepadanya
bukanlah berarti tanpa kelemahan. kelemahan dalam metode penafsirannya adalah
pengambilan ide-ide para pendahulunya ke dalam penafsiran yang dilakukannnya
tanpa menyebutkan sumbernya dari mana beliau mengambil ide dan gagasan
tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Yusuf (dkk), Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta:
Teras, 2004)
Ilyas,Hamim,
Studi kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004)
Mahmud,
Mani’ Abd Halim, Metodologi tafsir, kajian komprehensif metode para ahli
tafsir,
(Jakarta: Rajawali Pers,2006),
Comments