Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
Dalam studi Al-Qur’an, nama Al-Baidlawiy dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam (baca: Barat). Populeritas kitab Tafsir Al-Baidlawiy di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir Al-Baidlawiy ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan (matin wa muttaqin) sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata (Al-Shina’iyyat al-Lafdhiyyah). Dan atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut
Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali komentar (hasyiyah) dari para ulama yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab tafsir Al-Baidlawy itu “hanya” sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Di Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan Pesantren.
B.    Rumusan masalah
1.      Bagaimana biografi imam al-baidlowi ?
2.      Apa sajakah karya-karyanya?
3.      Bagaimana sejarah penulisan, metode penafsiran, sistematika penafsiran, karakteristik penafsiran serta contoh penafsiran tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil ?
4.      Bagaimana komentar para ulama tentang kitab tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi imam Al-Baidlawi
Al-Baidlawi dilahirkan di Baida’, sebuah daerah yang berdekatan dengan kota Syiraz di Iran Selatan. Di kota inilah beliau tumbuh dan berkembang menempa ilmu. Ia juga pernah belajar di Baghdad hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiraz (Azarbaijan) –suatu daulah yang berdiri sendiri namun tetap berkiblat kepada daulah Abbasiyah –mengikuti jejak ayahnya.[1] Imam Abdullah ibn Umar bin Muhammad bin Ali as-Sayrazi, Abu Said al-Khoir Nasiruddin al-Baidawi al-Syafi’I,[2] yang merupakan nama lengkap Imam al-Baidawi yang berasal dari desa Baidho’ adalah seorang ulama multidisipliner dalam  ilmu pengetahuan, yaitu ahli dalam bidang tafsir, bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, teologi, dan mantiq. Iapun merupakan sosok yang pandai berdebat dan sangat menguasai etika berdiskusi, sehingga pantaslah ia mendapatkan gelar nazzar atau mutabahhir fi maida fursan al-kalam. Al-Baidhawi merupakan salah satu pengikut madzhab syafi’iyah dalam bidang fiqh dan ushul fiqh serta menganut konsep teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Sesuai dengan jabatan dan keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan, al-Baidawi dapat disebut sebagai sosok yang unggul dalam masyarakatnya. Salah satu bukti kepandaiannya adalah pujian yang diteriama beliau, yaitu nasir al-din (penolong agama). Al-Baidawi hidup dalam keadaan politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk kekuasaan pada saat itu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun juga sikap hedonis dan boros dari para pejabat yang berkuasa. Nampaknya hal inilah yang melatarbelakangi pengunduran diri al-Baidawi dari jabatan hakim agung. Intervensi dari penguasa terhadap lembaga peradilan yang begitu kuat membuat kekhawatiran tersendiri bagi banyak fuqaha’, termasuk al-Baidawi. Mereka khawatir jika diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Keputusan al-Baidawi ini juga dipengaruhi oleh nasihat yang diberikan oleh pembimbing spiritualnya, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Khata’i agar al-Baidawi tidak lagi bersentuhan dengan lembaga hukum.[3]
 Setelah melepaskan jabatannya sebagai hakim di daerah Syiraz, al-Baidawi mengembara ke Tabriz dan berguru pada ulama setempat. Ia singgah di sebuah majlis dars bagi para pembesar setempat. Karena kehebatan beliau, banyak diantara pembesar setempat memujinya. Dikota inilah beliau mengarang kitab tafsir yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Beliau menetap di kota ini hingga ajal menjemputnya. Ada perbedaan diantara ulama tentang tahun wafat beliau, antara lain al-Subki dan Asnawi menyatakan bahwa al-Baidawi wafat pada tahun 691 M, sedangkan Ibnu Kasir menyatakan bahwa beliau wafat tahun 685 M.
B.     Karya-karya
a.         Anwar at tanzil wa asror at ta’wil (bidang tafsir)
b.         Syarah Musyabih (Hadis)
c.         Tawali’ al anwar, al-Misbah fi Ushul al-Din (teologi)
d.         Syarah Al Mahsul, Minhaj al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul (Ushul fiqih)
e.         Syarah At tanbih (Fiqih)
f.          al-Lubb fi al-Nahwu (nahwu)
g,         al-Tahzib wa al-akhlaq (tasawuf)
h.         Nizam al-Tawarikh (sejarah), dan masih banyak lagi.[4]
C.     Sejarah penulisan kitab  tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Kitab ini merupakan kitab tafsir yang populer dalam umat islam, dan kitab tafsir ini dinamai oleh Al Baidhowi sendiri dengan nama “Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”. Hal ini tampak dalam pernyataan beliau yang terdapat dalam pengantar tafsirnya:
“Setelah melakukan shalat istikharoh, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan kitab ini, setelah penulisannya, dengan nama Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”
Al Baidhowi menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis tafsir ini. Pertama, bagi beliau, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi diantara ilmu agama yang lain. Mengenai alasan yang pertama beliau menulis “Sesungguhnya ilmu yang paling tinggi derajatnya dan paling mulya adalah ilmu tafsir. Ia adalah pemimpin ilmu-ilmu agama dan kepalanya, fondasi dan dasar agama. Tidak pantas bagi seseorang untuk bicara mengenainya kecuali bagi mereka yang menguasai pengetahuan agama, baik yang ushul maupun yang furu’, dan ahli dalam bahasa dan sastra”.
Kedua, melaksanakan apa yang diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran yang terbaik. Dalam hal ini beliau menulis: “saya telah lama berkeinginan menulis disiplin ini.... yang telah saya pelajari dari para sahabat, tabiin dan kaum salaf. Buku yang juga akan mencakp fikiran-fikiran terbaik yang saya, dan mereka sebelum saya, peroleh dari para pendahulu dan para ulama...”.
Dalam penulisan tafsir ini, beliau memperoleh dari gurunya (Syaikh Muhammad Al Khata’i) yang menyarankan beliau untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim agung. Penulisan kitab tafsir ini pun dilakukan secara ringkas, tanpa menguraikannya secara panjang lebar.
Beberapa penelitian terhadap tafsir Al Baidhawi, seperti Al Zahabi menyimpulkan bahwa sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu, sehingga ada beberapa orang yang menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari tafsir Al Kasyaf karya Zamakhsyari, Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin Ar Razi, dan tafsir karya Al Raghib Al Asfahani. Hanya saja, Al Baidhawi melakukan seleksi secara ketat, sehingga meninggalkan paham-paham yang di anut para penulisnya.
D.     Corak dan sistematika penafsiran tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Tafsir karangan Al-Baidlawy ini termasuk tafsir yang berukuran menengah. Isinya mencoba memadukan antara tafsir dan takwil sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan syara’, atau dengan kata lain, memadukan tafsir secara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi (yang terpuji) sekaligus. Artinya bahwa Al-Baidlawiy tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’tsur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya.
Dikatakan bahwa tafsir ini merupakan ringkasan (ikhtishar) dari tafsir Al-Kasysyaf dalam hal i’rab, ma’aniy, dan bayan, dan dari tafsir Al-Kabir atau yang dikenal dengan tafsir mafatih al-ghaib dalam hal filsafat dan teologi, serta dari tafsir Al-Raghib Al-Asfahaniy dalam hal asal-usul kata. Dari tafsir al-kasysyaf karya Al-Zamakhsariy, Al-Baidlawiy dipengaruhi dalam hal pendekatan ketika menjelaskan lafadl, tarakib, dan nakt al-balaghah. Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlussunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir mafatih al-ghaib karya Imam Fakhruddin Al-Raziy.
Kadang, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlussunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 2-3:
ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣
Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, Al-Baidlawiy mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlussunnah, Mu’tazilah, dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlussunnah.
Contoh penafsiran yang menggunakan cerita israiliyat ialah Qs. Al-Naml: 22
فَمَكَثَ غَيۡرَ بَعِيدٖ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ وَجِئۡتُكَ مِن سَبَإِۢ بِنَبَإٖ يَقِينٍ ٢٢
Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”.
Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadl makatsa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, Al-Baidlawiy mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebuih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Al-Baidlawiy sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini dukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran Al-Baidlawiy memang cenderung kepada madzhab yang yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.
Di samping itu, Al-Baidlawiy memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan Al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini Al-Baidlawiy terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin al-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
 .....فَأَتۡبَعَهُۥ شِهَابٞ ثَاقِبٞ ١٠
”Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidlawiy menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang yang menguap menjadi ether kemudian menyala....
`Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari ”hanya: dua jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, Al-Baidlawiy berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkaty dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini.
Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalajiy, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir Al-Baidlawiy ini.
E.     Metode penafsiran tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, tafsir al-Baidawi ini menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari al-Fatihah sampai al-Nas.[5] Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau menggunakan berbagai sumber, antara lain ayat al-Qur’an, hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Selain itu, penggunaan tata bahasa dan qira’at juga menjadi suplemen utama guna penguatan analisis dan penafsiran al-Baidawi. Pun keberadaan cerita-cerita israiliyat dapat ditemukan walau penggunaanya diminimalisir oleh al-Baidawi.
Adapun langkah operasional penafsiran al-Baidawi dalam kitabnya ialah mula-mula al-Baidawi menyebutkan tempat turun surat (makki atau madani) beserta jumlah ayat yang menjadi obyek. Penjelasan makna ayat baik menggunakan analisis kebahasaan, hadis nabi, maupun qira’ah menjadi langkah selanjutnya yang diterapkan al-Baidawi. Pada bagian akhir surah, beliau menyertakan hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan surat yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut, al-Baidawi juga menggunakan metode munasabah ayat (hubungan internal) antara suatu ayat dengan ayat lain. Penggunaan term munasabah ini tampak sangat kentara dalam tafsir al-Baidawi. Secara keseluruhan, bahasa yang digunakan beliau dalam penafsirannya cukup ringkas dan tidak bertele-tele. Hal ini salah satunya dapat ditunjukkan dengan jumlah jilid yang hanya terdiri dari dua buah.
F.      Penilaian ulama terhadap kitab tafsir anwar al-tanzil wa asrar al-ta’wil
Kitab tafsir Al-Baidlawiy jelas memperoleh perhatian tersendiri dari umat Islam, juga di dunia Barat. Hal ini, antara lain, terbukti dengan begitu banyaknya hasyiyah yang meberikan catatan dan komentar terhadap tafsir tersebut. Sebagaimana dikemukakan di awal, penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir Al-Baidlawiy. Sebuah perhatian yang luar biasa. Belum lagi banyak terjemahan ke dalam berbagai bahasa yang dilakukan terhadap tafsir tersebut.
Terlepas dari banyaknya hasyiyah tersebut, kitab tafsir tersebut memperoleh tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan. Sebagian memberikan penilaian yang bernada memuiji, sementara sebagian yang lain memberikan penilaian yang cenderung negatif. Berikut ini akan dikemukakan tanggapan yang bermunculan di sekitar tafsir karya Al-Baidlawiy tersebut.
Kebanyakan komentar terhadap tafsir ini beranggapan bahwa Al-Baidlawiy merangkumnya dari kitab tafsir yang lain, khusunya Al-Kasysyaf. Haji Khalifah dalam kitabnya kasyf al-dhunun memberikan komentar bahwa ”Kitab tafsirnya ini merupakan kitab yang sangat penting, kaya akan penjelasan. Di tempat lain ia menyatakan, ”Kitab ini merupakan rizki dari Allah yang diterima dengan baik oleh para pemuka agama dan ulama, mereka mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut.
Al-Kazaruni memberikan komentar dengan menyatakan bahwa kitab ini :meliputi rangkuman pendapat banyak imam besar dan kejernihan para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an dan menguraikan maknanya, menjelaskan kata-katanya yang sulit.... Berbeda dengan tanggapan Yusuf Rahman yang menulis tentang ”unsur hermeneutika tafsir Al-Baidlawiy menyatakan bahwa sikap Al-Baidlawiy yang tidak menyebutkan sumber dalam penafsiran yang dilakukan itu ”membuat kita menuduhnya sebagai seorang ’plagiat’”.
Sedangkan Quraisy Shihab melihat dari segi corak pembahasannya. Beliau menganggap bahwa tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Baidlawiy merupakan salah satu tafsir yang ”cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, yang tadinya difahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal”.
Namun pada akhirnya langkah baiknya kita kemukakan tanggapan Al-Dzahabi, beliau mengatakan bahwa kita tafsir Al-Baidlawiy ini merupakan ”salah satu kitab induk di antara berbagai kitab tafsir, yang tidak selayaknya disepelekan oleh mereka yang ingin memahami firman Allah SWT, dan menelaah rahasia-rahasia dan maknanya’.



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Kitab tafsir anwar al-tanzil karya imam al-Baidlawi yang terdiri dari dua jilid besar dengan metode yang diawali dengan membaca tahmid, menjelaskan keutamaan dan kelebihan Al–Qur’an dan signifikansi ilmu tafsir, menguraikan latar belakang penulisan tafsirnya dan kemudian memulai penafsirannya dengan segala pujian dan keritikan yang diberikan kepadanya bukanlah berarti tanpa kelemahan. kelemahan dalam metode penafsirannya adalah pengambilan ide-ide para pendahulunya ke dalam penafsiran yang dilakukannnya tanpa menyebutkan sumbernya dari mana beliau mengambil ide dan gagasan tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Yusuf (dkk), Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta:
Teras, 2004)
Ilyas,Hamim, Studi kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004)
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi tafsir, kajian komprehensif metode para ahli tafsir,
(Jakarta: Rajawali Pers,2006),


[1] Muhammad Yusuf (dkk), Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 114-115.
[2] Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi tafsir, kajian komprehensif metode para ahli tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers,2006), hlm. 111
[3] Ibid, hlm. 115
[4] Ibid, hlm. 116
[5] Ilyas,Hamim, Studi kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 122

Comments

Popular posts from this blog

contoh hasil penelitian ilmu rijal al-hadis

Makalah Ulumul Qur'an | Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits