aku masuk surga tanpa hisab


A.  Pendahuluan
Merupakan harapan terbesar bagi seluruh umat manusia, dapat memasuki tempat yang sangat indah dan abadi ini. Surga adalah tempat yang dijanjikan Allah SWT kepada manusia sebagai balasan atas amal perbuatan baik yang dilakukan selama hidupnya di dunia. Tidak dapat dipungkiri lagi, dunia merupakan jembatan yang dilalui manusia untuk mencapai masa yang abadi, yaitu akhirat. Dalam al-Qur'an digambarkan, surga sebagai suatu tempat yang indah dan megah, dimana penghuni surga akan disediakan fasilitas yang lengkap dan sempurna.[1] Penghuni surga berada di atas dipan-dipan yang bertahtakan emas permata, dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, terdapat buah apapun yang mereka inginkan, dan juga ada bidadari-bidadari surga yang bermata indah dan sebagainya. Banyak gambaran tentang surga di dalam al-Qur'an.
Namun, memasuki surga bukanlah semudah membalikkan tangan. Seorang hamba harus beriman dan bertakwa, menaati semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Sehingga pada masa hisab (perhitungan amal), timbangan kebaikan seorang hamba lebih berat daripada amal keburukannya. Dengan demikian, seorang hamba dapat memasuki surga.
Dalam salah satu hadis Nabi dinyatakan bahwa kelak terdapat umatnya yang dapat memasuki surga dengan tanpa hisab. Bagaimanakah kriteria umat yang Nabi maksudkan?
B.  Teks Hadis Lengkap Sanad dan Matan
حَدَّثَنَا عِمْرَانُ بْنُ مَيْسَرَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، حَدَّثَنَا حُصَيْنٌ، ح قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَحَدَّثَنِي أَسِيدُ بْنُ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، عَنْ حُصَيْنٍ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، فَقَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَأَخَذَ النَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الأُمَّةُ، وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ النَّفَرُ، وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ العَشَرَةُ، وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الخَمْسَةُ، وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ وَحْدَهُ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ، قُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، هَؤُلاَءِ أُمَّتِي؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ، قَالَ: هَؤُلاَءِ أُمَّتُكَ، وَهَؤُلاَءِ سَبْعُونَ أَلْفًا قُدَّامَهُمْ لاَ حِسَابَ عَلَيْهِمْ وَلاَ عَذَابَ، قُلْتُ: وَلِمَ؟ قَالَ: كَانُوا لاَ يَكْتَوُونَ، وَلاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ " فَقَامَ إِلَيْهِ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ، فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، قَالَ: «اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ مِنْهُمْ» ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ آخَرُ قَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، قَالَ: «سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ»
C.  Terjemah Hadis dalam Bahasa Indonesia
Dari Hushain, dia berkata: Aku pernah berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu dia berkata: Ibnu Abbas menceritakan kepadaku, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Telah diperlihatkan kepadaku umat-umat terdahulu. Lalu (aku melihat) ada nabi yang berjalan deisertai rombongan besar, ada nabi yang berjalan disertai rombongan kecil, ada nabi yang berjalan disertai sepuluh orang, ada nabi yang berjalan disertai lima orang, dan ada juga nabi yang berjalan sendirian. Aku kemudian melihat, tiba-tiba ada rombongan besar yang banyak, lalu aku bertanya, ‘Wahai Jibril, apa itu umatku?’ Jibril menjjawab, ‘Bukan, akan tetapi lihatlah ke ufuk sana.’ Aku lantas melihat, ternyata ada rombongan yang sangat banyak. Jibril berkata, ‘Mereka itu adalah umatmu, dan di bagian depan mereka ada tujuh puluh ribu orang yang (masuk surga) tanpa diperiksa dan disiksa.’ Aku bertanya, ‘Mengapa?’ Jibril menjawab, ‘Karena mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak pernah minta diruqyah, tidak pernah melakukan tathayyur dan hanya kepada Tuhan merekalah mereka bertawakkal’.”
Setelah itu Ukkasyah bin Mihshan berdiri menghampiri Nabi SAW, lalu berkata, ‘Berdoalah agar Allah menjadikanku termasuk bagian dari mereka’. Beliau berdoa, “Ya Allah, jadikanlah dia termasuk bagian dari mereka.” Kemudian berdiri pula pria lain menghadap beliau dan berkata, “Berdoalah agar Allah menjadikanku termasuk bagian dari mereka.” Beliau bersabda, “Engkau telah didahului oleh Ukkasyah.”
D.  Takhrij dan Kualitas Hadis
Setelah dilakukan pen-takhrij-an hadis, maka hadis ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab pokok berikut.[2]
NO
Nama Kitab
Kitab
Bab
Halaman
Nomor Hadis
1.
Shahih Bukhari
Pengobatan
Berobat dengan sundutan api, atau menyundut yang lain, serta keutamaan orang yang tidak berobat dengan sundutan api

5270
2.
Shahih Bukhari
Pengobatan
Orang yang belum meruqyah

5311
3.
Shahih Bukhari
Hal-hal yang melunakkan hati
Siapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah mencukupi-Nya

5991
4.
Shahih Bukhari
Hal-hal yang melunakkan hati
Akan masuk surga, tujuh puluh ribu orang tanpa hisab

6059
5.
Shahih Muslim
Iman
Dalil bahwa ada segolongan dari kaum muslimin yang masuk surga tanpa hisap

320
6.
Shahih Muslim
Iman
Dalil bahwa ada segolongan dari kaum muslimin yang masuk surga tanpa hisap

321
7.
Musnad Ahmad
Musnad Bani Hasyim
Awal Musnad Abdullah bin Al 'Abbas

2321
8.
Musnad Ahmad
Musnad Bani Hasyim
Awal Musnad Abdullah bin Al 'Abbas

2800
9.
Musnad Ahmad
Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadis
Musnad Abdullah bin Mas'ud Radliyallahu ta'ala 'anhu

3615
10.
Musnad Ahmad
Musnad penduduk Bashrah

Hadits 'Imran bin Hushain Radliyallahu ta'ala 'anhuma


19066
11.
Musnad Ahmad
Musnad penduduk Bashrah

Hadits 'Imran bin Hushain Radliyallahu ta'ala 'anhuma


19116
12.
Musnad Ahmad
Musnad penduduk Bashrah
Hadits 'Imran bin Hushain Radliyallahu ta'ala 'anhuma

19133

            Adapun kualitas hadis ini adalah sahih menurut Bukhari, Muslim dan juga Ahmad.
E.  Syarah Hadis[3]
عُرِضَتْ (ditampakkan). Demikian dalam bentuk pasif.
الأُمَمُ (umat-umat). Absyar bin al-Qasim telah menjelaskan dalam riwayatnya dari Husain bin Abdurrahman yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i bahwa itu terjadi pada malam Isra’. Jika riwayat ini akurat, maka riwayat ini cukup kuat untuk menunjukkan terjadinya Isra’ Mi’raj Nabi yang lebih dari sekali, dan bahwa itu juga terjadi saat di Makkah dan di Madinah. Kejadian ini terjadi secara berulang, namun mayoritas terjadi dalam mimpi.
فَأَخَذَ النَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ الأُمَّةُ (lalu ada Nabi yang berjalan disertai rombongan besar). Maksudnya jumlah manusia yang banyak.
وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ النَّفَرُ وَالنَّبِيُّ يَمُرُّ مَعَهُ العَشَرَةُ (ada Nabi yang berjalan disertai rombongan  kecil, ada Nabi yang berjalan disertai sepuluh orang). Dalam riwayat Hushain bin Numair diriwayatkan dengan redaksi serupa namun susunan kalimatnya didahulukan dan diakhirkan.
فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ (lalu aku melihat, tiba-tiba ada rombongan besar yang banyak). Dalam riwayat Husain bin Numair disebutkan dengan redaksi وَرَأَيْتُ سَوَادًا كَثِيرًا سَدَّ الْأُفُقَ (lalu aku melihat rombongan besar yang banyak menutupi ufuk). Kata sawaad adalah lawan kata dari bayaadh (putih), yaitu sosok yang terlihat dari kejauhan. Disifati dengan “banyak” untuk mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adlaah kata jenis, bukan satuan.
قُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ، هَؤُلاَءِ أُمَّتِي؟ قَالَ: لاَ (aku pun beratanya: ”wahai Jibril, apakah itu umatku?” Jibril menjawab, “bukan”). Dalam riwayat Husain bin Numair disebutkan فَرَجَوْتُ أَنْ تَكُونَ أُمَّتِي فَقِيلَ هَذَا مُوسَى وَقَوْمُهُ (maka aku pun berharap bahwa itu adalah umatku. Lalu dikatakan, “ini adalah umat Musa dan kaumnya”)
وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ كَثِيرٌ (akan tetapi, lihatlah ke ufuk sana. Kemudian aku melihat, ternyata ada rombongan yang sangat banyak). Al-Ismaili pernah ditanya, bahwa Nabi SAW tidak mengetahui umatnya sampai beliau mengira bahwa mereka adalah umatnya Musa, sementara disebutkan dalam hadis Abu Hurairah dalam pembahsan tentang bersuci; (bagaimana engkau mengenali umatmu yang belum pernah engkau lihat? Beliau menjawab, “sesungguhnya mereka mempunyai tanda putih dari bekas wudhu”). Al-Ismaili menjawab, bahwa orang-orang yang beliau lihat di ufuk itu tidak dapat diketahui secara jelas karena banyaknya dan tidak bisa membedakan orang-perorang. Sedangkan yang disebutkan dalam hadis Abu Hurairah itu diartikan ketka mereka berdekatan dengan Nabi lalu mengajaknya bicara, sementara ia tidak mengetahui bahwa dia itu adalah saudaranya. Setelah dapat membedakan satu denan yang lain, dia pun mengenalinya.
هَؤُلاَءِ أُمَّتُكَ، وَهَؤُلاَءِ سَبْعُونَ أَلْفًا قُدَّامَهُمْ لاَ حِسَابَ عَلَيْهِمْ وَلاَ عَذَابَ (mereka adalah umatmu, dan di bagian depan mereka adalah tujuh puluh ribu orang yang [masuk surga] tanpa diperiksa dan disiksa). Dalam riwayat Husain bin Numair وَمَعَ هَؤُلَاءِ (dan bersama mereka). Yang dimkasud berssama ini adalah secara maknawi, karena yang tujuh puluh ribu orang tersebut merupakan golongan umat beliau Nabi, namun sebenarnya tidak termasuk yang dihadapkan pada saat itu. Maksudnya menambah banyaknya umat beliau dengan ditambahannya tujuh puluh orang itu.
قُلْتُ: وَلِمَ؟ (aku bertanya, “mengapa?”). Kata لِمَ adalah kata tanya yang menanyakan tentang sebab. Dalam riwayat Husain bin Numair disebutkan, فَقَالُوا أَمَّا نَحْنُ فَوُلِدْنَا فِي الشِّرْكِ وَلَكِنَّا آمَنَّا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَلَكِنْ هَؤُلَاءِ هُمْ أَبْنَاؤُنَ (maka mereka berkata, “sedangkan kita dilahirkan dalam keadaan syirik, akan tetapi kita beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, jadi mereka itu pasti anak-anak kita”.)
كَانُوا لاَ يَكْتَوُونَ، وَلاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak pernah minta diruqyah, tidak melakukan tathayyur, dan hanya kepada Tuhan merekalah mereka bertawakkal). Mayoritas riwayat menyebutkan keempat hal ini dalam hadis riwayat Ibn Abbas walaupun penyebutannya tidak urut seperti itu. Demikian juga dalam hadis Imran bin Hushain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada salah satu redaksinya tidak menyebutkan kata لاَ يَتَطَيَّرُونَ (tidak melakukan tathayyuri). Seperti itulah redaksi yang disbutkan dalam hadis Ibn Mas’ud. Sedangkan dalam hadis Jabir disebutkan 4 hal tersebut. Dalam riwayat Sa’ad bin Manshur yang diriwayatkan Imam Muslim disebutkan ولايرقون (dan tidak meruqyah) sebagai ganti kata لاَ يَكْتَوُونَ (tidak berobat dengan besi panas).
Syaikh Taqiyyuddin bin Taimiyah mengingkari riwayat ini. Ia bedalil bahwa orang yang meruqyah berbuat baik kepada orang yang diruqyah, bagaimana mungkin itu dianjurkan untuk ditinggalkan? Selain itu, Jibril pernah meruqyah Nabi SAW, dan Nabi SAW juga pernah meruqyah para sahabatnya sera mengizinkan mereka meruqyah. مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ  (barangsiapa yang bisa memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaknya melakukannya). Hal ini membuktikan bahwa memberi manfaat kepada yang lain itu dianjurkan.
Ia juga berkata, “Adapun yang minta diruqyah, adalah orang yang meminta orang lain untuk meruqyahnya dan megharapkan manfaatnya, sedangkan kesempurnaan tawakkal menafikan itu. Jadi yang dimaksud dengan penyifatan tujuh puluh itu adalah dengan kesempurnaan tawakkal, sehingga mereka tidak meminta orang lain untuk meruqyahnya, tidak berobat dengan besi panas dan tidak meyakini sesuatu dapat mendatangkan kesialan”.
Yang lain menjawab bahwa tambahan dari periwayat yang tsiqah dapat diterima, dan Sa’id bin Manshur adalah orang yang hafidz. Imam Bukhari Muslim pun menjadikannya sebagai sandaran. Selain itu, kesalahan periwayat yang memungkinkan untuk diperbaiki tambahanannya, maka tidak merusaknya. Maknanya, yang membawa kepada sikap yang salah itu terdapat pada orang yang meminta diruqyah, karena dia berdalil bahwa orang yang tidak meminta orang ain untuk meruqyahnya berarti tawakkalya sempurna.
Dengan demikian, ruqyah yang dilakukan oleh orang lain terhadapnya juga seharusnya dicegah demi kesempurnaan akalnya. Tidak terjadinya hal ini dari Jibril sebagai bukti dan tidak terjadinya hal itu dari perbuatan Nabi SAW juga sebagai buktinya. Karena sikap beliau menunjukkan persyariatan dan penjelasan hukum. Bisa dikatakan bahwa orang-orang itu meninggalkan ruqyah dan tidak meminta diruqyah terkait dengan materinya, karena orang yang melakukannya merasa tidak aman untuk menggantungkan dirinya kepadanya. Karena ruqyah sendiri tidak dilarang dan yang dilarang yaitu syirik atau mengarah pada syirik. Oleh sebab itu, Nabi SAW bersabda اعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ وَلاَبَأْسَ بِالرُّقَى مَالَمْ يَكُنْ شِرْكٌ (tunjukkan ruqyah-ruqyah kalian kepadaku, dan tidak mengapa selama tidak megandung syirik). Ini mengisyaratkan bahwa alasan larangannya adalah terdapat unsur syirik.
Al-Qurthubi dan lainnya menukil, bahwa pengobatan dengan ruqyah dan kay (pengobatan dengan besi panas) menodai tawakkal. Berbeda dengan bentuk-bentuk pengobatan yang lainnya, karena kesembuhan dengan kedua cara tersebut merupakan sebuah prediksi. Sedangkan cara yang lain, biasanya pasti, seperti dengan makanan dan minuman, sehingga tidak menodai tawakkal.
.....
Abu Thalib bin Athiyah menyatakan dalam kitab Mawazin al-A’mal bahwa tujuh puluh ribu orang itu adalah yang dimaksud firman Allah dalam QS. Al-Waqiah: 10-11 وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ (dan orang-orang yang paling dahulu beriman, mereka itulah yang didekatkan [kepada Allah]). Jika memang benar merekalah yang dimaksud, maka jelas sudah. Namun jika bukan, maka masih belum jelas.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis yang dinilai shahih oleh Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibban dari Rifa’ah al-Juhani, dia berkata (kami datang bersama Rasulullah SAW, beliau bersabda “Tuhanku menjanjikan kepadaku untuk memasukkan ke surga dari umatku sebanyak tujuh puluh ribu orang tanpa hisab, dan seseungguhnya aku mengharap agar mereka tidak memasukinya dahulu sehingga kalian dan para istri serta anak keturunan kalian yang shalih telah menempati tempat-tempat di surga).
Ini menunjukkan bahwa kelebihan tujuh uluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab ini tidak memastikan bahwa mereka lebih utama daripada yang lain, bahkan di antara yang dihisab ada yang lebih utama dari mereka. Sedangkan yang belakangan masuk surga dapat dipastikan keselamatannya dan diketahui tempatnya di surga dapat memintakan syafaat bagi lainnya yang lebih utama daripada mereka.
لاَ يَتَطَيَّرُونَ (tidak meyakini melakukan tathayyur). Maksudnya mereka tidak bersikap pesimistis atau berkeyakinan bahwa sesuatu dapat mendatangkan kesialan sebagaimana yang biasanya dilakukan oleh orang Jahiliyah.
عَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (hanya kepada Tuhan merekalah, mereka bertawakkal). Kemungkinan redaksi ini sebagai penafsiran redaksi sebelumnya, yaitu tidak meminta diruqyah, tidak berobat dengan besi panas serta tidak melakukan tathayyur. Kemungkinan juga ini merupakan bentuk perengakaian kalimat yang umum setelah kalimat yang khusus (induksi) karena sifat yang sama dari itu semua adalah tawakkal.
Abu al-Qasim al-Qusyairi berkata, “Tawakkal letakya di dalam hati, sedangkan lahir tidak menafikannya bila seorang hamba benar-benar meyakini bahwa segala sesuatu dari Allah. Jika ada sesuatu yang mudah maka itu karena Allah memudahkannya, namun jika ada sesuatu yang sulit maka itu karena sudah ditakdirkan-Nya.”
Al-Karmani memaparkan sifat-sifat tersebut dengan menakwilkannya:
-                      لاَ يَكْتَوُونَ (tidak berobat dengan besi panas) maknanya adalah tidak berobat dengan besi panas kecuali dalam keadaan darurat akan tetapi tetap meyakini bahwa kesembuhan datangnya dari Allah bukan karena pengobatan tersebut.
-                      لاَ يَسْتَرْقُونَ (tidak meminta diruqyah) maknanya adalah tidak meminta diruqyah dengan ruqyah yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an maupun hadis shahih, seperti ruqyah jahiliyah atau yang terjamin bebas dari syirik.
-                      لاَ يَتَطَيَّرُونَ (tidak melakukan tathayyur), maksudnya adalah tidak bersikap pesimis karena sesuatu. Seakan-akan maksud yang diinginkan adalah orang-orang yang meninggalkan perbuatan jahiliyah dalam keyakinan mereka.
Dia berkata lebih lanjut, “jika ada yang mengatakan bahwa jumlah orang yang seperti itu lebih banyak dari tujuh puluh ribu, lalu apa arti pembatasan itu?” Ia menjawab bahwa kemungkinan maksudnya adalah untuk menunjukkan jumlah yang banyak, bukan mengkhususkan jumlah tersebut.
فَقَامَ إِلَيْهِ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ (kemudian Ukaysah bin Mihshan berdiri menghampiri beliau). Ukasyah bin Mihshan adalah Ibn Hurtsan yang berasal dari Bani Asad bin Khuaimah dan termasuk sekutu Bani Umaiyah. Ukasyah adalah sosok yang tampan dan termasuk golongan yang lebih dahulu memluk Islam. Julukannya adalah Abu Mihshan. Dia ikut berhijrah dan perang Badar serta peperangan sengit lainnya. Dia gugur saat memerangi kaum murtad bersama Khalid bin Walid pada tahun 12 Hijriyah.
فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، قَالَ: «اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ مِنْهُمْ» (Ukasyah kemudian berkata “Berdoalah agar Allah menjadikanku termasuk bagian dari mereka.” Beliau berdoa “Ya Allah jadikanlah dia termasuk bagian dari mereka”). Dalam riwayat Hushain bin Numair disebutkan قَالَ أَمِنْهُمْ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ (ia berkata “Apakah aku termasuk bagian dari mereka, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda kepadanya, “ya”). Kesimpulannya, Ukkasyah lebih dahulu minta didoakan, lalu Nabi mendoakannya, kemudain dia menanyakan apakah dikabulkan.
ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ آخَرُ (kemudian berdiri pula orang lain kepada beliau). Ada perbedaan riwayat mengenai orang ini, apakah dia mengatakan ادْعُ لِى atau أَمِنْهُمْ أَنَا. Dalam jalur periwayatan yang sangat lemah disebutkan bahwa orang tersebut adalah Sa’ad bin Ubadah.
سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ (Engkau telah didahului oleh Ukkasyah). Semua riwayat sepakat menyebutkan demikian, kecuali dalam riwayat Ibn Abi Syaibah, al-Bazzar dan Abu Ya’la.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai hikmah dari sabda سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ. Ibn al-Jauzi meriwayatkan dalam kitab Kasfy al-Musykil dari jalur Abu Umar al-Zahid, bahwa dia pernah menanyakan hal itu kepada Abu al-Abbas Ahmad bin Yahya yang dikenal dengan nama Tsa’lab, dia berkata “Ia adalah orang munafik”. Demikian juga yang dinukil oleh al-Daraquthni dari al-Qadhi Abu al-Abbas al-Birti, dia berkata “Orang keduanya adalah seorang munafik, karena Nabi tidak pernah dimintai sesuatu kecuali beliau memberikannya. Maka saat itu beliau menjawabnya demikian.”
Ibn Baththal berkata “ Makna sabda سَبَقَكَ adalah untuk mendapatkan sifat-sifat seperti tawakkal, tidak meyakini bahwa sesuatu mendatangkan kesialan karena sesuatu dan sebaginya yang disebutkan bersamanya. Lalu beliau beralih dengan mengatakan (engkau tidak termasuk mereka) atau (engkau tidak memiliki akhlak seperti mereka). Ini adalah salah satu bentuk kelembutan hati dan kesantunan beliau terhadap para sahabatnya”.
Ibn al-Jauzi berkata, “Menurutku, sahabat yang pertama meminta dengan ketulusan hatinya sehingga permintaanya dikabulkan oleh Nabi, namun sahabat kedua kemungkinan hanya menginginkan intinya saja. Seandainya Nabi mengiyakan sahabat yang kedua, bukan tidak mungkin akan berdiri sahabat ketiga, keempat dan seterusnya, padahal tidak setiap orang layak memperolehnya.”
Al-Qurthubi berkata, “Orang kedua ini tidak memiliki kriteriakriteria yang ada pada Ukkasyah, karen itulah tidak diperkenankan. Sebab jika Nabi memperkenankan, sangat mungkin setiap yang hadir saat itu meminta juga sehingga terus bersambung, maka beliau menutup pintu itu dengan perkataan tersebut.”
F.   Kajian Hadis Tematik
Surga merupakan balasan atas perbuatan baik yang dilakukan oleh seorang hamba. Sebaik-baik tempat kembali adalah surga ini. Amalan-amalan ahli surga pun terpaparkan secara jelas di dalam al-Qur'an maupun hadis.
Menurut hadis ini, terdapat kelompok yang istimewa dimana mereka dapat masuk surga tanpa hisab. Mereka berjumlah 70.000 orang di antara umat Nabi Muhammad. Mereka adalah:
  1. Orang-orang yang tidak pernah ber-tathayyur (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal).
  2. Orang-orang yang tidak pernah meminta untuk diruqyah
  3. Orang-orang yang tidak mau menggunakan Kay (pengobatan dengan besi panas).
  4. Orang-orang yang hanya bertawakal kepada Allah.
Penjelasannya sebagai berikut:
a.    Tidak ber-Tathayyur
Tathayyur merupakan mashdar dari lafal tathayyara-yatathayyaru yang artinya rasa pesimis. Asal kata tathayyur adalah bahwa mereka di zaman jahiliyah berpedoman kepada thaa’ir (burung). Apabila seseorang keluar untuk suatu urusan, jika dia melihat burung terbang ke arah kanan, maka dia merasa optimis dan meneruskan urusannya. Namun jika melihat burung terbang ke arah kiri, dia merasa pesimis dan mengurungkan urusannya. Terkadang mereka mengusik burung yang sedang bertengger agar dijadikan pegangan dalam melakukan sesuatu atau tidak. Kemudian syariat Islam melarang perbuatan itu.[4]
Mayoritas masyarakat jahiliyah melakukan tathayyur  dan berpegang kepadanya. Terkadang petunjuk burung itu menjadi kenyataan karena dihias setan. Kemudian keyakinan semacam ini masih tersisa pada sejumlah kaum muslimin.
Tathayyur merupakan salah satu bentuk kesyirikan yang dialami oleh sebagian orang jahil yang dapat menghilangkan keimanannya kepada Allah, tidak ada yang dapat memberikan manfaat kecuali Allah pun tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah.[5]
b.    Tidak minta diruqyah
Ruqyah secara bahasa merupakan jampi-jampi atau mantera.[6] Dengan kata lain, ruqyah yaitu membacakan sesuatu pada orang yang sakit, bisa jadi karena terkena ‘ain (mata hasad), sengatan, sihir, racun, rasa sakit, sedih, gila, kerasukan dll. Dalam ruang lingkup syar’i, ruqyah dilakukan dengan membaca ayat-ayat suci al-Qur'an atau nama dan sifat Allah dan atau dengan doa-doa yang bersumber dari hadis-hadis Nabi[7].
Menurut sebagian ulama, ruqyah ini dapat memberikan cacat pada tawakkal.[8] Namun, jika memenuhi tiga syarat berikut (Fathul Majid) maka diperbolehkan:
1)      Bacaan ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an atau nama dan sifat serta doa-doa dari Nabi.
2)      Menggunakan Bahasa Arab atau kalimat yang mempunyai makna.
3)      Harus yakin bahwa ruqyah dapat berpengaruh dengan izin Allah.
c.    Tidak berobat dengan besi panas
Berobat menggunakan besi panas tidak dianjurkan ketika belum menjadi alternatif utama. Larangan menggunakan besi panas sebagai obat pun tidak sampai pada taraf haram, namun Nabi tidak menyukainya.
Menurut Ibnu Qutaibah, pengobatan menggunakan besi panas ini ada dua macam, yaitu pertama digunakan pada orang yang sehat untuk mencegah penyakit, dan inilah yang dimaksud orang tersebut tidak bertawakkal kepada Allah. Kedua, besi panas digunakan untuk luka yang membusuk dan anggota badan yang dipotong, inilah yang dianjurkan untuk menggunkan besi panas.
Dalam beberapa hadis, terkadang Nabi melakukan pengobatan dengan menggunakan besi panas ini, namun di hadis yang lain Nabi tidak menganjurkan atau tidak menyukainya. Begitulah, nabi tidak melarang pun juga tidak menganjurkan. Hukum menggunakan besi panas sebagai obat ini adalah makruh sebelum benar-benar menjadi solusi satu-satunya.
Kesembuhan dapat diperolah dengan tiga cara; meminum madu, pembekaman dan dengan besi panas. Sedang aku melarang umatku melakukan kay (penyembuhan dengan besi panas)”. (HR. Bukhari dan Muslim.
Menurut hadis di atas, jenis enyakit yang menyerang darah dapat diobati dengan cara mengeluarkan darah yang tersumbat. Adapun cara mengobati penyakit yang lainnya adalah dengan mengkonsumsi obat pencahar yang cocok dengan jenisnya (madu). Kemudian terapi bekam untuk mengeluarkan darah kotor. Sedangkan besi panas digunakan ketika kedua solusi di atas tidak membuahkan hasil.[9]
d.   Tawakkal kepada Allah
Dengan bertawakkal kepada Allah, juga dapat mengangkat derajat seseorang di surga. Orang yang bertawakkal kepada Allah tidak akan berharap kecuali hanya kepada-Nya, tidak berkeinginan kecuali hanya kepada-Nya, tidak memohon kebutuhannya kecuali dari-Nya, tidak berharap kecuali hanya kepada-Nya dan tidak meminta kecuali hanya kepada-Nya.[10]
Harus dipahami, bahwa ketika kita bertawakkal kepada Allah, maka kita tetap melakukan hukum sebab-akibat tapi tanpa pasrah kepada sebab-akibat tersebut. Selain itu Allah pun akan memberi kecukupan pada mereka yang bertawakkal, seperti firman-Nya dalam QS. Al-Thalaq: 3.
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“... dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya....”
Inti dari keempat kriteria orang yang masuk surga tanpa hisab ini adalah orang-orang yang benar-benar memurnikan ketawakkalannya kepada Allah. Tidak bergantung dengan sesuatu yang lain. Tidak menodai tawakkalnya dengan yang lain pula.
G. Kesimpulan
Dari sekian banyak umat Nabi Muhammad, terdapat umat yang dapat memasuki surga tanpa dihisab terlebih dahulu. Pertama, orang yang tidak pernah ber-tathayyur (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal. Kedua, orang yang tidak pernah minta diruqyah. Ketiga, orang yang tidak mau menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas). Keempat, orang yang bertawakal kepada Allah SWT. Intinya, orang-orang itu adalah orang yang benar-benar tawakkal kepada Allah dan tidak menodai tawakkalnya dengan sesuatu apapun.
H.  Daftar Pustaka
Al-Asqalani, Al-Hafidh Al-Imam Ibnu Hajar. Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari. terj. Amir Hamzah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Keperawatanreligionrisaluthfita.wordpress.com/2013/06/03/terapi-dengan-madu-bekam-dan-kay-besi-panas-2/
Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist.
An-Nu’aim, Muhammad bin Ibrohim. Memesan Kursi Tertinggi di Surga. Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2011.
www.muslim.or.id/aqidah/syarat-ruqyah-yang-dibolehkan.html




[1] Lihat QS. Al-Waqi’ah
[2] Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist.
[3] Al-Hafidh al-imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, terj. Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), jilid 31, hlm. 604-525.
[4] Al-Hafidh al-imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 17, hlm. 349-350.
[5] Muhammad bin Ibrohim an-Nu’aim, Memesan Kursi Tertinggi di Surga (Surakarta: Wacana Ilmiah Press, 2011), hlm. 260.
[6] www.rawatanislam.com/pengertian-ruqyah.html diakses tanggal 1 November 2014 pukul 22.13.
[7] www.muslim.or.id/aqidah/syarat-ruqyah-yang-dibolehkan.html diakses tanggal 01 November 2014 pukul 22.19.
[8] Lihat Al-Hafidh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 17 hlm. 346-347.
[9] Keperawatanreligionrisaluthfita.wordpress.com/2013/06/03/terapi-dengan-madu-bekam-dan-kay-besi-panas-2/ diakses tanggal 03 November 2014 pukul 07.54.
[10] Muhammad bin Ibrohim an-Nu’aim, Memesan Kursi Tertinggi di Surga, hlm. 75-77.

Comments

Popular posts from this blog

contoh hasil penelitian ilmu rijal al-hadis

Makalah Ulumul Qur'an | Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty