Gharar

GHARAR
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah hadits ahkam
Dosen pengampu: Afdawaiza


Oleh: Mulyadi (13530085)

Risa Hidayah (135300)
Dela (135300)

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik, serta Hidayahnya sehingga pemakalah dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isi yang sederhana. Semoga makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami kajian Hadits Ahkam tentang Gharar.
Harapan kami makalah ini mampu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca maupun pemakalah sendiri, apabila terdapat kekurangan dalam makalah ini kami berharap kepada para pembaca untuk memberi masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................... iii
BAB I PEMBUKAAN.......................................................................... 4
A.    Latar Belakang......................................................................... 4
B.     Rumusan Masalah.................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 5
A.    Pengertian gharar.......................................................................................... 5
B.    Macam-macam kisah dag............................................................................. 5
C.     Karakteristik kisah al-qur’an.......................................................................... 6
D.    Tujuan kisah al-qur’anj.................................................................................. 6
E.     Relevansi kisah al-qur’an............................................................................... 7
BAB III PENUTUP............................................................................... 9
A.    KESIMPULAN.................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 10

BAB I
PENBAHULUAN
A.   Latar belakang
Setiap orang mesti harus dan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala kemampuan dan cara yang ada. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang lain, sehinga diperlukan satu cara yang mengatur mereka dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, salah satunya adalah jual beli. Karena itulah Allah karunia hamba-hambaNya kemampuan dan naluri untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan dan menuntun hamba Nya tersebut dengan aturan dan arahan yang dapat menjauhkan mereka dari kemurkaanNya.
Namun dalam prakteknya terdapat penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan ketidak jelasan dan kedzoliman. Oleh karena itu dilaranglah beberapa jenis jual beli, diantaranya jual beli Al Ghoror.
B.   Rumusan masalah



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Gharar
DEFINISI GHARAR
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr (pertaruhan).[1] Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah)[2]. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian[3].

Sehingga , dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.

HUKUM GHARAR
Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ أَنْبَأَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَبَيْعِ الْحَصَاةِ

1230. Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abu Salamah mengabarkan kepada kami, dari Ubaidillah bin Umar, dari Abu Zinad, dari A'raj dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "RasuluIIah SAW melarang jual-beli gharar dan hashaat." Shahih: Ibnu Majah (2194) Muslim

Ia berkata, "Pada bab ini ada riwayat lain dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Sa'id dan Anas." Abu Isa berkata, "Status hadits Abu Hurairah ini adalah hasan shahih." Ulama mengamalkan hadits ini; mereka memakruhkan jual-beli gharar. Asy-Syafi'i berpendapat, "Di antara bentuk jual-beli gharar adalah menjual ikan di dalam air, menjual budak yang sudah lari, menjual burung di angkasa dan yang semisalnya." Sedangkan maksud jual-beli hashat, misalnya penjual berkata kepada pembeli, "Jika lemparanku tepat sasaran, maka transaksi jual-beli harus dilaksanakan." Jual-beli ini mirip dengan jual-beli munabadzah (jual-beli dua barang dengan cara masing-masing melemparkan barang dagangannya kepada yang lain tanpa memperhatikan dan menelitinya) yang mana keduanya termasuk di antara bentuk jual-beli Jahiliyah.
 Jual-Beli Habalul Habalah
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ
1229. Qutaibah menceritakan kepada kami, Hammad bin Zaid menceritakan kepada kami dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW melarang jual-beli habalul habalah." Shahih:  Ibnu Majah (2197) Muslim dan Al Bukhari.
Ia berkata, "Pada bab ini ada riwayat lain dari Abdullah bin Abbas dan Abu Said Al Khudri." Abu Isa berkata, "Status hadits Ibnu Umar ini adalah hasan shahih". Ulama mengamalkan hadits ini. Habalul Habalah adalah anak hewan yang masih dalam kandungan. Menurut ulama, jual-beli ini tidak sah dan termasuk bai'al gharar (jual beli yang di dalamnya ada unsur tipuan-penj).
Syu'bah meriwayatkan hadits ini dari Ayub, dari Sa'id bin Jubair dan dari Ibnu Abbas Abdul Wahab Ats-Tsaqafi dan yang lainnya meriwayatkan hadits ini dari Abu Ayub, Sa'id bin Jubair, Nafi', dari Umar dan dari Nabi SAW. Inilah yang paling benar
Tidak Disukai Menjual Buah Hingga Tampak Masak
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ
1226. Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Ismail bin Ibrahim menceritakan kepada kami dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar: Bahwa Rasulullah SAW melarang menjual kurma hingga tampak masak. Shahih: Ahadits Al Buyu'

وَبِهَذَا الْإِسْنَادِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ السُّنْبُلِ حَتَّى يَبْيَضَّ وَيَأْمَنَ الْعَاهَةَ نَهَى الْبَائِعَ وَالْمُشْتَرِيَ
1227. Dengan sanad seperti di atas: Bahwa Rasulullah SAW melarang menjual tanaman yang masih ditangkainya hingga memutih (masak) dan bebas dari cacat. Beliau melarang penjual dan pembeli. Shahih: Ahadits Al Buyu'
Ia berkata, "Pada bab ini ada riwayat lain dari Anas, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Jabir, Abu Sa'id dan Zaid bin Tsabit." Abu Isa berkata, "Status hadits Ibnu Umar ini adalah hasan shahih. Ulama dari kalangan sahabat Nabi dan yang lainnya mengamalkan hadits ini; mereka memakruhkan jual-beli buah sebelum masak. Inilah pendapat Asy-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ وَعَفَّانُ وَسُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
1228. Hasan bin Ali Al Khallal menceritakan kepad kami, Abu Walid, Affan dan Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami, mereka berkata, dari Hammad bin Sulaiman, dari Humaid, dari Anas: "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang menjual anggur hingga menghitam dan menjual biji gandum hingga keras." Shahih: Ibnu Majah (2217).
Abu Isa berkata, "Status hadits ini hasan gharib. Kami tidak mengenal bahwa hadits ini marfu', kecuali dari hadits Hammad bin Salamah."[4]
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil. Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firmanNya.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah / 2 : 188]
Ghoror Yang Diperbolehkan
Jual beli yang mengandung unsur gharar menurut hukumnya ada tiga macam :
1.      yang disepakati larangannya dalam jual beli, seperti jual beli yang belum ada wujudnya (Ma’dum)
2.      Desepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya tidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma’, semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah”
3.       Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua? Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka –diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi jelaslah, bahwa tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Permasalahan ini, sebagaimana nampak dari pandangan para ulama, karena permasalahan yang menyangkut gharar ini sangat luas dan banyak. Dengan mengetahui pandangan para ulama, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala membimbing kita dalam tafquh fiddin, dan lebih dalam mengenai persoalan halal dan haram. Wabillahit Taufiq.




[1] Lihat tarjamah Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648
[2] Ibid. hal 685
[3] Bahjah Qulub Al Abror Wa Qurratu ‘Uyuuni Al Akhyaar Fi Syarhi Jawaami’ Al Akhbaar, Abdurrahman bin Naashir Al Sa’di, tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, cetakan kedua tahun 1992 M, Dar Al jail hal. 164.
[4] Muhammad Nashruddin Al-Albani,  Shahih Sunan At-Tirmidzi Seleksi Hadits Shahih Dari Kitab Sunan Tirmidzi. Hal:

Comments

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil