implikasi qira'at terhadap tafsir



A.    PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan bacaan yang mana diturunkan secara mutawatir melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw dan bernilai ibadah bagi yang membacanya. Cara baca terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut berbeda-beda, dikarenakan untuk mempermudah umat Islam dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan dialek (lahjah) masing-masing kabilah mereka. Hal itu merupakan salah satu fadhal berupa kemudahan yang dilimpahkan oleh Allah kepada kita karena agama Islam tidak lain merupakan agama yang mudah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.
Variasi cara baca al-Qur’an atau yang disebut dengan qira’at merupakan ilmu yang membahas tentang cara pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an dan cara penyampaiannya, baik itu sudah disepakati maupun yang masih diperselisihkan dengan menyandarkan masing-masing perbedaan tersebut kepada penukilnya. Selanjutnya, perbedaan dialek dalam membaca al-Qur’an itu nantinya akan berpengaruh pada kaidah bahasa, nahwu, sharaf, i'rab, fi’il, isim, harakat, dan lainnya sehingga berimplikasi pula pada maknanya. Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan lebih dari itu, perbedaan qiraat tidak hanya berpengaruh pada makna saja melainkan dapat berpengaruh pada tafsir.
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh (implikasi) qira’at terhadap penafsiran al-Qur’an, penulis kemudian memetakan rumusan masalah ke dalam dua hal, yakni bagaimana macam-macam qira’at dilihat dari pengaruh atau tidaknya terhadap penafsiran dan bagaimana contoh aplikasinya dalam tafsir. Berangkat dari dua hal tersebut, maka penulis akan paparkan dalam bagian pembahasan berikut.

B.     PEMBAHASAN
Mufassir dalam upayanya memahami ayat al-Qur’an menggunakan sumber-sumber riwayat dan ra’yu. Diantaranya adalah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan sunnah, al-Qur’an dengan qaul sahabat, al-Qur’an dengan qaul tabi’in, dengan lughah arab, dan qira’at adalah salah satu sumber yang digunakan mufassir dalam memahami kandungan al-Qur’an.[1] Sehingga menjadi wajar bagi sebagian mufassir yang menggunakan analisis qira’at dalam menyingkap makna di balik teks al-Qur’an. Sebab hakikatnya bahwa perbedaan qira’at itu dapat menghasilkan makna baru yang berbeda.
Variasi bacaan qira’at adakalanya berkaitan dengan substansi lafadz (morfologi) dan adakalanya yang berhubungan dengan artikulasi bahasa dan lahjah (fonologi). Perbedaan qira’at yang berkaitan dengan substansi lafadz bisa menimbulkan perbedaan tafsir, sedangkan yang berkaitan dengan lahjah ini tidak sampai menimbulkan perbedaan tafsir.          
a.      Qira’at yang Berimplikasi Terhadap Tafsir
Adapun qira’at yang berkaitan dengan substansi lafadz atau dalam ilmu linguistik disebut dengan morfologi ini dapat berimplikasi terhadap penafsiran. Morfologi merupakan sub disiplin linguistik yang mempelajari tentang seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata tersebut, baik fungsi gramatik maupun semantik.[2] Dalam hal ini ada lima macam qira’at dari aspek morfologi yang berimplikasi terhadap penafsiran ayat[3], yaitu sebagai berikut:
1.      Berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain, mendahulukan atau mengakhirkan kata atas kata lain (taqdim dan ta’khir). Perbedaan semacam ini dapat berdampak pada hasil penafsiran yang berbeda. Contohnya:
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ[4]
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.”
Dalam satu riwayat, Abu Bakar dan Ibn Mas’ud membacanya dengan mengakhirkan kata al-maut, sehingga berbunyi:
وجاءت  سكرة الحق بالموت
“Dan datanglah sakratul haq dengan maut. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.”
Pada contoh perbedaan qira’at di atas yang terjadi adalah penekanan ayat ketika menafsirkan. Ketika mengakhirkan kata الموت, setelah didahului olehالحق  sebagai mudhaf ‘ilaih dari lafadz سكرة  memberi makna ta’kid (penegasan) dibandingkan dengan bacaan  الموت سكرة.
2.      Perbedaan dalam i’rab (harakat) yang merubah makna untuk menentukan kedudukan kalimat apakah kalam insya’i atau khabari dengan tidak merubah bentuk tulisannya, yaitu seperti contoh:
فَقَالُوا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ أَسْفَارِنَا وَظَلَمُوا[5]
Para Imam Qira’at berbeda pendapat, diantaranya menurut Imam Nafi’, imam ‘Asim, imam Ibnu ‘Amir, Imam Hamzah dan Imam al-Kisa’i membaca dalam bentuk fi’il amar yakni أَسْفَارِنَا رَبَّنَا بَاعِدْ بَيْنَ, maka penafsirannya adalah permohonan agar Allah menjauhkan jarak perjalanan mereka supaya kota-kota yang berdekatan itu dihapuskan agar perjalanan menjadi panjang dan mereka dapat melakukan monopoli dalam perdagangan itu, sehingga keuntungan yang didapatkan lebih besar.
Sementara Hasan al-Bashri dan Ya’qub membaca dalam bentuk fi’il madhi أَسْفَارِنَا رَبَّنَا بَاعَدَ بَيْنَ yang bermakna suatu berita bahwa Allah menjauhkan jarak perjalanan mereka.
3.      Perbedaan pada huruf-huruf kata yang merubah makna yaitu perbedaan seputar penentuan titik-titik pembeda huruf atau harakat yang semuanya itu tidak merubah bentuk tulisan. Contohnya:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging
Lafadz ننشزها  ada yang membacanya dengan ننشرها (kami menyebarkannya).
Contoh lainnya seperti:
هُنَالِكَ تَبْلُو كُلُّ نَفْسٍ مَا أَسْلَفَتْ[6]
Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu”.
Lafadz تبلو oleh Imam al-Kisa’i dan Hamzah dibaca تتلو (membaca), maksudnya bahwa ketika di padang mashsyar manusia akan membaca dari hasil apa yang telah dikerjakannya dahulu dengan tanpa merasakan pembalasan. Sedangkan makna yang pertama menunjukkan proses merasakan pembalasan. Kedua jenis qira’at tersebut jelas menimbulkan hasil yang berbeda dalam penafsirannya.
4.      Perbedaan dengan menambah dan mengurangi. Penambahan dan pengurangan ini salah satunya disebabkan karena adanya sebagian dari al-Qur’an yang tidak ditulis oleh sebagian sahabat dalam masing-masing mushaf yang mereka miliki. Selain itu juga karena adanya penulisan selain al-Qur’an dalam mushaf milik mereka seperti qira’at yang berfungsi sebagai tafsir terhadap ayat-ayat tertentu. Contohnya dapat dilihat dalam mushaf milik Sayyidah ‘Aisyah ra pada surat al-Baqarah ayat 238 ada tambahan lafadz صلاة العصر, sehingga berbunyi:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَهِيَ صَلاَةُ الْعَصْرِ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Berdasarkan perbedaan qira’at tersebut kemudian menjadikan perbedaan pula di kalangan ulama’ dalam memahami makna صلاة الوسطى. Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa itu adalah salat asar (jika merujuk pada mushaf ‘Aisyah). Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang itu adalah salat subuh (dengan merujuk pada ayat setelahnya “وقوموا لله قانتين” karena menurut mereka ada penyebutan lafadz qunut).
5.      Perbedaan tempat-tempat waqaf. Perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap kedudukan sebuah kalimat, apakah sebagai mubtada’ ataupun khabar, isti’naf atau ‘ataf, dan sebagainya. Perbedaan penafsiran juga akan lahir jika cara memenggal ayatnya berbeda. Contohnya:
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
 إِلا أُولُوالألْبَابِ [7]
Dalam hal ini ada dua pendapat mengenai kedudukan lafadz والراسخون. Pendapat pertama mengatakan bahwa lafadz tersebut berkedudukan sebagai mubtada’ yang mana khabarnya adalah lafadz يقولون dengan huruf wawu sebagai huruf isti’naf. Kemudian implikasi tafsirnya adalah bahwa hanya Allah lah yang mengetahui ta’wil ayat-ayat yang mutasyabihat. Pendapat pertama ini diikuti oleh Ubay bin Ka’ab, ‘Urwah, Malik bin Anas, al-Kisa’i, al-Akhfasy dan lain-lain. Mereka berargumen bahwa ada riwayat dari Ubay bin Ka’ab dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang membaca :
وما يعلم تأويله إلا الله و يقولو الراسخون في العلم امنّا به

Selain itu juga qira’at Ibnu Mas’ud yang membaca dengan :
وابتغاء تأويله ان تأويله الا عند الله
Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa lafadz والراسخون itu di’athafkan pada lafadz Allah dengan wawu sebagai huruf ‘athaf. Tafsirannya akan berbeda dengan yang pendapat pertama dimana pada konteks ini tidak hanya Allah saja yang mengetahui ta’wil ayat-ayat mutasyabihat, akan tetapi orang-orang yang telah mendalam ilmunya pun mampu menakwilkannya. Pendapat ini didasarkan atas riwayat Mujahid dari Ibnu Abbas yang berkata, “saya termasuk dari sekian orang yang mengetahui takwilnya.”
b.      Qira’at yang Tidak Berimplikasi Terhadap Tafsir
Qira’at yang tidak berimplikasi terhadap penafsiran ini berkaitan dengan artikulasi bahasa atau lahjah atau dalam ilmu linguistik disebut dengan fonologi. Fonologi adalah sub disiplin ilmu linguistik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa dalam tutur kata serta bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia.[8] Fonologi jika dikaitkan dengan qira’at meliputi bacaan imalah, isymam, tarqiq, tafkhim, ghunnah, ikhfa’, dan sebagainya. Perbedaan semacam ini menurut ‘Umar bin Salim tidak memiliki implikasi terhadap penafsiran meskipun jika dilihat dari sudut pandang lain perbedaan aspek fonologi ini merupakan implikasi dari suatu bentuk keringanan (ruhshoh) dari Allah terhadap umat Islam dalam melafalkan al-Qur’an.[9] Adapun variasi qira’at dalam aspek fonologi ini seperti:
1.      Perbedaan pada cara membacanya, seperti takaran mad, imalah, isymam, cara membaca hukum nun mati atau tanwin (seperti iqlab, ikhfa’, idzhar, dll) serta  persoalan-persoalan dialek atau lahjah lainnya. Contohnya:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Kata الصراط memiliki empat macam versi bacaan, yakni,الزراط, الصراط ,السراط¸ dan dengan membaca antara bunyi sad dengan za’ (isymam). Mayoritas penduduk arab membacanya dengan السراط karena demikianlah asal katanya, menurut kaidah tulisan arab huruf shad dibacanya shu yang sifatnya isti’la (meninggikan lidah ke langit-langit), tetapi
 disini ada beberapa kata yang dalam tulisannya shad di baca sin, misalnya سُ yang bersifat istifal (merendahkan lidah dari langit-langit). Sementara suku Quraisy membaca الصراط , karena mereka enggan mengucapkan sesuatu yang diawali dengan suara rendah (sin) lalu dengan  suara tinggi (ta’) di akhir kalimah.[10]
2.      Perbedaan kata-kata yang merubah bentuk tulisan dan tidak merubah makna. Biasanya perubahan yang terjadi adalah suatu kata diganti dengan kata lain yang masih sinonim dengannya. Contohnya:
إِنْ كَانَتْ إِلا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ (٢٩) [11]
Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; Maka tiba-tiba mereka semuanya mati.
Lafadz صيحة ada yang membacanya dengan  زَقْيَةً واحدةً  yang juga memiliki arti satu teriakan.[12]
Baik qira’at mutawatir maupun syadz keduanya dapat digunakan sebagai penafsiran. Sebab keduanya sama-sama menghasilkan makna yang berbeda dan dikatakan pula bahwa qira’at itu sendiri merupakan ayat yang independen. Penggunaan qira’at mutawatir dan syadz dalam penafsiran dapat dilihat misalnya dalam tafsir At Thabari, Ibn ‘Arobi, Qurthubi, al-Jashash, dan sebagainya.[13] Contoh penggunaan qira’at syadz dalam penafsiran adalah:
             Imam at Thabari menyebutkan contoh qiraat syaddah:[14]
خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ[15]
Pada lafadz (غشاوة)  apabila dirafa’kan maka itu adalah termasuk qiraat mutawatirrah. Sedangkan yang termasuk ke dalam qiraat syaddah menurut At Thabari  ialah apabila lafadz (غشاوة)  dinashabkan.
Sedangkan contoh penggunaan qira’at mutawatir dalam penafsiran adalah:
Imam At Thabari menyebutkan contoh qiraat mutawatirah:[16]
                                                                      { قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ} [الحجر: 56]
Imam Ath Thabari mengatakan bahwa Pada lafadz (يقنط), para imam qiraat  berbeda  pendapat dalam cara membacanya. Apabila pada lafadz    وَمَنْ يَقْنَطdibaca fathah Nunnya maka itu adalah merupakan keumuman yang dibaca oleh penduduk Kufah dan Madinah, kecuali Imam Al  A’masy dan Imam Al Kisai pada lafadz (يقنط), kedua imam tersebut membacanya dengan dibaca kasrahkan Nunnya. kemudian Imam At Thabari membenarkan pada bacaan يقنط yang dikasrahkan Nunnya.kemudian, sepuluh Imam qiraat yaitu Nafi’, Ibnu Katsir, Ibnu ‘Amir, ‘Asim, Ja’far, dll. menetapkannya dengan memfathahkan Nunnya.
C.    KESIMPULAN
Implikasi qira’at terhadap penafsiran ini digolongkan ke dalam dua macam yaitu morfologi dan fonologi. Adapun morfologi ini akan berpengaruh terhadap penafsiran, sedangkan fonologi tidak berpengaruh terhadap penafsiran. Inilah hikmah dari variasi qira’at yakni dapat saling memperjelas pengertian sebuah maksud ayat diantara berbagai macam bacaan tersebut.  Dan implikasi qira’at terhadap penafsiran al-Qur’an ini sudah digunakan sejak era tafsir masa sahabat. Para sahabat menggunakan variasi qira’at baik yang mutawatir maupun syadz sebagai sumber penafsiran disamping merujuk pada al-Qur’an, hadis Nabi, akal (ijtihad), dan ahlu
 kitab. Tafsir al-Thabari, al-Kasyaf  merupakan salah satu dari sekian produk tafsir yang menggunakan variasi qira’at sebagai salah satu sumber untuk memahami kandungan makna al-Qur’an.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Mu’in, Abdul. Analisis Kotrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia; Telaah Terhadap Fonetik dan Morfologi. Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004.
Nabil ibn Muhammad Ibrahim Ali Ismail. Ilmu al-Qira’at; Nasyatuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-‘Ulum al-Syari’ah. Riyadl: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah. 2000.
Humam, Abdul Wadud Kasyful. Pandangan al-Zamakhsyari Tentang Qira’at Dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Surat al-Baqarah (Studi Atas Kitab al-Kasyaf Karya al-Zamkhsyari). Skripsi Ushuluddin Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2011.
https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/17/perbedaan-qiraat-dan-pengaruhnya-terhadap-penafsiran/


[1] Nabil ibn Muhammad Ibrahim Ali Ismail, Ilmu al-Qira’at; Nasyatuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-‘Ulum al-Syari’ah, (Riyadl: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2000) hlm.329.
[2] Abdul Mu’in, Analisis Kotrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia; Telaah Terhadap Fonetik dan Morfologi, (Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004), hlm.87.
[3] Abdul Wadud Kasyful Humam, Pandangan al-Zamakhsyari Tentang Qira’at Dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Surat al-Baqarah (Studi Atas Kitab al-Kasyaf Karya al-Zamkhsyari), Skripsi Ushuluddin Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, hlm. 74-79.
[4] Qs. Qaf ayat 19
[5] Qs. Saba’ ayat 19.                                                                                                                             
[6] Qs. Yunus ayat 30.
[7] Qs. Ali ‘Imran ayat 7
[8] Abdul Mu’in, Analisis Kotrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia; Telaah Terhadap Fonetik dan Morfologi,… hlm.87.
[9] Abdul Wadud Kasyful Humam, Pandangan al-Zamakhsyari Tentang Qira’at Dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Surat al-Baqarah (Studi Atas Kitab al-Kasyaf Karya al-Zamkhsyari),... hlm. 78.
[10] Abdul Wadud Kasyful Humam, Pandangan al-Zamakhsyari Tentang Qira’at Dan Implikasinya Terhadap Penafsiran Surat al-Baqarah (Studi Atas Kitab al-Kasyaf Karya al-Zamkhsyari),... hlm.80
[11] Qs. Yasin ayat 29.
[12]https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/17/perbedaan-qiraat-dan-pengaruhnya-terhadap-penafsiran/
[13]Nabil ibn Muhammad Ibrahim Ali Ismail, Ilmu al-Qira’at; Nasyatuhu Athwaruhu Atsaruhu fi al-‘Ulum al-Syari’ah, (Riyadl: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 2000),hlm. 356.
[14] Nabil ibn Muhammad Ibrahim Ali Ismail, Ilmu al-Qira’at; Nasyatuhu Athwaruhu Atsaruhu fi.....,hlm. 351.
[15] QS. Al Baqarah: 7.
[16] Nabil ibn Muhammad Ibrahim Ali Ismail, Ilmu al-Qira’at; Nasyatuhu Athwaruhu Atsaruhu fi.....,hlm. 332..

Comments

Anonymous said…
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi Suara

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil