kaidah penafsiran ilmiah al-Qur'an



Kaidah penafsiran ilmiah al-Qur’an

Kaidah penafsiran disini ialah aturan-aturan yang harus di perhatikan dalam menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan sains modern. Kita juga harus memahami bahwa setiap bentuk penafsiran dengan coraknya masing-masing tak ada yang bersifat mutlak dan final. Artinya model-model pemahaman terhadap kitab suci ini semuanya sangat relatif. Namun paradigma tafsir ‘ilmiy dalam oprasionalnya lebih menggunakan temuan-temuan sains modern sebagai perangkat pemahamannya. Inilah diantara penyebab kecaman tajam yang sering diajukan kepada tafsir ilmiy. Menurut mereka yang menolak tafsir ini bahwa bahaya yang ditimbulkan tentu lebih besar daripada manfaatnya. Sebab jika teori-teori itu terbukti kesalahhannya, apakah al-Qur’an yang bernota bene kitab wahyu yang mutlak kebenarannya harus menanggung resiko kesalahan yang ditimbulkan oleh penemuan sains tersebut.
Oleh karnanya disini perlu dikemukakan beberapa kaidah yang menjadi dasar penafsiran ilmiah al-Qur’an. Tujuannya agar apa yang selama ini menjadi kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir sedemikian rupa.
a.       Kaidah kebahasaan
Kaidah kebahasaan ini merupakan syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami al-Qur’an. Sehubungan dengan paradigma penafsiran tafsir ilmiy hendaknya sang mufasir tidak menyalahi atau menyimpang dari kaidah-kaidah kebahasaan yang sudah jelas, selain itu mufasir perlu memperhatikan dan mempertimbangkan tentang penafsiran arti dari suatu kata.
Terkadang walaupun al-Qur’an menggunakan kosakata yang digunakkan oleh orang arab pada masa turunnya, namun pengertian kosakata tersebut tidak selalu sama dengan pengertian yang populer dikalangan mereka. Karena itu kaidah kebahasaan ini sangatlah penting, karena ada sebagian orang yang berusaha memberikan legitumasi dari ayat al-Qur’an terhadap penemuan ilmian dengan mengabaikan kaidah kebahasaan.
b.      Memperhatikan korelasi ayat (Munasabah ayat)
Penyusunan ayat al-Qur’an tidak didasarkan pada kronologis masa turunnya melainkan didasarkan pada korelasi makna ayatnya, sehingga kandungan ayat satu selalu berkaitan dengan yang lain.
Mengabaikan korelasi ayat dapat menyesatkan pemahaman terhadap suatu teks, contohnya ayat 33 surah al-Rahman selama ini dipahami oleh sebagian ilmuan membicarakan tentang persoalan angkasa luar, yang artinya; Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan. Apabila ayat ini dikaitkan dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya jelas ayat ini berbicara tentang keadaan diakhirat kelak. Kalaulah ayat Ya ma’syar al-jinni wa al-insi tersebut dianggap membicarakan tentang kesanggupan manusia untuk melintasi angkasa luar, maka hendaknya ayat tersebut tidak segera dibenarkan setelah memperhatikan ayat selanjutnya yang artinya; dikiram kepada golongan kamu berdua (jin dan manusia) bunga api dan cairan tembaga sehingga kamu sekalian tidak dapat mempertahankan diri (tak dapat kabur dari lingkungan langit dan bumi) QS. Al-Rahman/55:35.
c.       Berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan
Seorang mufasir ilmiy seperti yang dikatakan oleh Quraish shihab dalam karyanya “membumikan al-Qur’an” tidak diperbolehkan menggunakan teori ilmiah yang belum mapan sebagai penafsiran atas ayat al-Qur’an. Karena hal ini akan mengakibatkan bahaya yang tidak kecil, sebagaimana yang pernah dialami oleh bangsa Eropa terhadap penafsiran kitab suci yang kemudian terbukti bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah sejati.
d.      Pendekatan tematik (Manhaj al-Maudhu’iy)
Kajian tafsir al-ilmy ini pembahasannya lebih bersifat persial dan tidak mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang suatu tema tertentu. Umpamanya ayat al-Quran yang berbicara tentang penciptaan manusia. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah namun di sisilain ia diciptakan dari air; atau air mani yang hina. Apabila ayat yang memiliki tema yang sama ini di kaji secara persial dan berdiri sendiri tentu konsep yang dihasilkannya pun bersifat persial dan tidak utuh. Akibatnya pemaknaannya akan terjadi perbedaan konsep dalam al-Qur’an. Padahal al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa didalamnya tidak akan ada pertentangan antara ayat yang satu dengan yang lain (QS. An-Nisa’/4: 82).
Oleh karnanya paradigma tafsir ilmiy harus menjadi bagian dan bahkan dalam pemahamannya harus menggunakan metode tafsir tematik (al-tafsir al-maudhu’iy), yang pembahasannya sama dengan kaidah pembahasan tafsir tematik. Dengan demikian bagi mufasir ilmiy harus menghimpun seluruh ayat al-qur’an yang memiliki kesamaan tema pembahasan, sehingga dapat sampai pada makna hakikat.

Comments

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil