KAJIAN HADIS TENTANG AMAL YANG DAPAT MEMASUKKAN KE SURGA
KAJIAN HADIS TENTANG AMAL YANG DAPAT MEMASUKKAN KE SURGA
A.
Teks Hadis
عن
أبِي أيُّوبَ الأنْصَارِيِّ رضي الله عنه أنَّ رَجُلاً قال يا رَسُول الله
أخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ فَقَالَ الْقَوْمُ ما لَهُ ما لَهُ
فَقالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَرَبٌ ما لَهُ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ
شَيْئًاوَ تُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَ تَصِلُ الرَّحِمَ ذَرْهَا
قَالَ كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ (أخرجه البخاري في كتاب الأ دب باب فضل
صلة الرحم : 5983)
B.
Terjemah Hadis[1]
Abu Ayyub al-Anshari ra mengisahkan, “seseorang lelaki tiba-tiba
mencegat Rasulullah saw dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku
suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’ Para sahabat sontak
bertanya-tanya, ‘ada apa, mengapa ia?’ Nabi saw pun menjawab, ‘Ia memiliki
keperluan.’ Kemudian beliau bersabda, ‘beribadahlah kepada Allah tanpa
menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dirikan shalat, tunaikan zakat, dan sambunglah
tali silaturrahim. Lepaskan tali kekang itu.” Abu Ayyub menjelaskan,
“sepertinya beliau ketika itu sedang berada di atas kendaraannya.”
(HR. Bukhari, Kitab “Adab”, Bab Keutamaan Silaturrahim, no. 5983)
C.
Takhrij Hadis
1.
Al-Bukhari, kitab al-adab, bab keutamaan silaturrahim, no.
5983[2]
2.
Muslim, kitab al-iman, bab penjelasan mengenai iman yang
dapat memasukkan seseorang ke dalam surga…, no. 12[3]
Hadis ini
berkualitas shohih menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim.
D.
Syarh Hadis
أنَّ
رَجُلاً (bahwasanya
seorang laki-laki) yang dimaksud adalah Abu Ayyub (perawi hadis itu
sendiri), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Gharib
al Hadis. [4]
أَرَبٌ
ما لَهُ menurut
Ibnu Baththal, kalimat tersebut berbentuk pertanyaan yang berfungsi sebagai
penekanan karena disebutkan secara berulang-ulang. Adapun lafazh ‘arabun’
bermakna kepentingan atau kebutuhan. Sedangkan Ibnu al Jauzi menyatakan bahwa
ia memiliki urusan penting yang mendorongnya untuk datang, karena dari pertanyaannya
diketahui bahwa ia memiliki kepentingan. An Nadhr bin Syamuel berkata
“Dikatakan araba rajulun fii amrin apabila seseorang melakukan suatu
urusan dengan sungguh-sungguh”. Seakan-akan Nabi saw takjub atas kecerdikan
orang itu serta tindakannya yang tepat mendatangi tempat yang dibutuhkannya.
Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Muslim dimana Nabi saw bersabda “sungguh
ia telah diberi taufik, atau sungguh ia telah diberi petunjuk”.[5]
تُقِيْمُ
الصَّلاَةَ bermakna
senantiasa menunaikan shalat, dengan menjaga dan memenuhi semua syarat dan
rukunnya, termasuk memperhatikan segala adab dan sunahnya.[6]
تُؤْتِي
الزَّكَاةَ yaitu
memberikan bagian tertentu dari harta yang dimiliki kepada mustahiq (orang
yang berhak menerima zakat), ketika harta telah mencapai nishab (batas
minimal wajib zakat) dan telah terpenuhi berbagai syarat wajib zakat. Zakat
merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta benda sehingga melalui zakat
akan tercipta keseimbangan sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalin kasih
sayang, dan saling menghargai sesama muslim.[7]
تَصِلُ
الرَّحِمَ yakni menyantuni kaum kerabat dalam kebaikan. Menurut an-Nawawi,
maksudnya adalah berbuat baik terhadap semua kerabat yang memiliki hubungan
darah denganmu sesuai keadaanmu serta kondisi mereka; baik dengan memberi
nafkah, mengirim salam, mengunjungi mereka dan lain-lain.[8]
Berdasarkan redaksi
hadis tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa ada semangat keberagamaan dalam
beribadah, sehingga sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang amal yang dapat
mengantarkan ke surga. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh
para sahabat nabi dengan cara yang berbeda-beda. Namun, semuanya menunjukkan
betapa mereka merindukan surga. Berikut ini beberapa hadis yang menunjukkan hal
tersebut.[9]
a.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshary yang
hadisnya secara utuh dikutip dalam makalah ini dan menjadi rujukan utama.
b.
Riwayat Muslim disebutkan, “Tunjukkan kepadaku perbuatan yang
bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka”.
c.
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah disebutkan ‘Puasa
Ramadhan’ dan tidak disebut ‘Silaturrahim’.
d.
Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muntafiq ra. Ia berkata bahwa saya
datang kepada Rasulullah saw. Pada saat itu beliau di Padang Arafah, lalu saya
bertanya, “Dua hal yang akan saya tanyakan kepadamu, apakah yang bisa
menyelamatkanku dari api neraka dan apa yang bisa memasukkanku ke surga?”
Rasulullah saw menjawab, “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun memiliki makna
yang luas. Karenanya, dengarkan baik-baik. Sembahlah Allah dan jangan
menyekutukan-Nya sedikit pun, tegakkan shalat wajib, tunaikan zakat,
berpuasalah di bulan Ramadhan, dan bergaullah dengan orang lain secara baik.
Dari beberapa hadis
tersebut, dapat disimpulkan beberapa amal yang dapat mengantarkan ke surga
secara luas selain yang terkandung dalam matan hadis di atas, yaitu
-
Beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tidak musyrik
-
Menegakkan shalat
-
Menunaikan zakat
-
Silaturrahim
-
Puasa ramadhan
-
Pergaulan kepada sesama secara ihsan
Disebutkannya amal-amal
tersebut secara khusus di antara jenis kebaikan lainnya, karena nabi saw
memperhatikan kondisi orang yang bertanya. Karena kelihatannya laki-laki yang
bertanya disini kurang memperhatikan hubungan kekeluargaan, maka nabi saw
memerintahkannya untuk memperhatikan hal tersebut. Dari sini dapat disimpulkan
tentang bolehnya mengkhususkan sebagian amalan untuk seseorang sesuai dengan
kondisinya, serta menekankan suatu perbuatan kepadanya di antara perbuatan yang
lain, baik karena sulitnya perbuatan itu atau karena sikapnya yang suka
meremehkan perbuatan itu.[10]
Berdasarkan beberapa
redaksi hadis tersebut, ada dua hal yang penulis garisbawahi untuk diteladani,
yaitu pertama, tekad keberagamaan sahabat yang memiliki semangat yang
tinggi, bukan hanya dalam melaksanakan ibadah semata, tetapi juga semangat
dalam rangka mengetahui motivasi dalam beribadah. Setelah motivasi beribadah
tersebut muncul, maka selanjutnya akan menjadi rasa kecintaan terhadap perintah
Allah swt. Kedua, berdasarkan berbagai riwayat nabi saw yang menjelaskan
tentang amal yang mengantarkan ke surga, jelaslah bahwa sikap Rasulullah
menunjukkan kemudahan Islam dan Allah tidak membebani hamba-Nya dengan beban
yang berat. Allah swt berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya…”[11]
E.
Kajian Tematik Hadis
Pertama,
beribadah kepada Allah tanpa ada unsur kemusyrikan di dalamnya. Sikap seperti
ini dalam beribadah sangat penting, karena akan menjadi syarat diterimanya amal
suatu ibadah yang dalam istilah teologi disebut dengan tauhid.
Ketauhidan dalam beribadah bermakna bahwa dalam beribadah seorang hamba hanya memohon
dan meminta kepada Allah tanpa ada sekutu baginya (syirik). Dalam salah
satu hadis qudsi Allah menyatakan akan meninggalkan atau mengabaikan
orang-orang yang menyekutukan-Nya. Firman-Nya:
عن
أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: قال الله تبارك
وتعالى: أنَا أَغْنَى الشُّرَكَاء عن الشِّرْكِ من عَمِلَ عَمَلاً أشْرَكَ فِيْهِ
مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.[12]
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda, “Allah Yang
Mahasuci dan Mahatinggi telah berfirman: ‘Aku adalah Maha Tidak Membutuhkan
para sekutu dalam hal apa pun. Barangsiapa yang melakukan amal (baik), tetapi
menyekutukan Aku dengan yang lain di dalamnya, niscaya Aku meninggalkannya
bersama sekutunya.”[13]
Sejarah Islam telah
mencatat, dengan kekuatan dan semangat beragama yang dilandasi dengan
ketauhidan, generasi Islam pertama berhasil meruntuhkan dua kekuasaan terbesar
dunia saat itu yaitu Imperium Romawi dan Kerajaan Sasania Iran.[14]
Oleh karena itu, salah satu pilar kebangkitan peradaban umat Islam saat ini
adalah dengan meniru semangat ketauhidan dalam beribadah seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Kedua, menegakkan shalat. Menarik
untuk disimak, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi saw, sejauh pengamatan
penulis, kata shalat selalu digandengkan dengan kata aqimu, tuqimu
dan semacamnya, begitu pula dalam hadis tersebut. Prof. Dr. Quraish Shihab[15]
menjelaskan kata aqimu bukan hanya sekedar bermakna mendirikan
–sebagaimana yang banyak berkembang di masyarakat-, tetapi kata itu bermakna
bersinambung dan sempurna, sehingga perintah tersebut berarti melaksanakannya
dengan baik, khusyuk, dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan
sunnahnya. Ketika shalat telah ditegakkan dengan benar dan menjadi ruh/spirit
dalam keseharian hidup, maka tingkah laku (out put) dari orang tersebut
adalah amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah berfirman:
ÉOÏ%r&ur… no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 …
“…dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…”[16]
Ketiga, menunaikan
zakat, seperti halnya shalat, jika diamati, kata zakat juga sering dirangkaikan
dengan kata atu. Menurut Prof. Quraish Shihab[17]
kata tersebut bermakna istiqamah (bersikap jujur dan konsekuen), cepat,
pelaksanaan secara sempurna, memudahkan jalan, mengantar kepada, seorang agung
dan bijaksana dan lain-lain. Jika makna-makna yang dikandung oleh kata tersebut
dipahami dan dihayati lebih dalam, maka akan terungkaplah suatu mekanisme zakat
yang professional dan tepat sasaran. Penggunaan kata atu tersebut
menuntut agar: (1) zakat dikeluarkan dengan sikap istiqamah sehingga tidak
terjadi kecurangan baik dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya, (2)
bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluarannya, sehingga tidak menunda-nunda
hingga waktunya berlalu, (3) mempermudah jalan penerimaannya, bahkan lebih baik
lagi kalau langsung mengantarkannya kepada mustahiq sehingga tidak terjadi
semacam ‘pameran’ kemiskinan, (4) mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk
tersebut merupakan seorang yang agung lagi bijaksana.
Oleh karena itu,
pelaksanaan zakat yang professional dan tepat sasaran, seharusnya akan memiliki
dampak kemanusiaan yang sangat berarti, karena zakat merupakan salah satu wujud
dari ekonomi Islam yang menyempurnakan ekonomi liberal/sosialis dan ekonomi
kapitalis yang individualis. Dengan berzakat, maka fungsi harta dalam sosialnya
akan tercapai, tetapi disisi lain, hak harta sebagai kemilikan individu juga
tetap terjaga. Selain dampak kemanusiaan, zakat juga berdampak secara
psikologis serta keimanan sang pemberi (muzakki), sebagaimana firman
Allah swt:
…
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka…”[18]
Keempat,
bersilaturrahim, Rasulullah saw bersabda:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تَحَاسَدُوا,
ولا تَنَاجَشُوا, ولا تَبَاغَضُوا, ولا تَدَابَرُوا, ولا يَبْعِ بَعْضُكُمْ على بَيْعِ
بَعْضٍ, وكُوْنُوا عِبَادَالله إخْوَانًا, المُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ لا
يَظْلِمُهُ, ولا يَكْذِبُهُ, ولا يَحْقِرُهُ ...[19]
Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jangan saling
menghasud, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan jangan
membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara. Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, karenanya tidak
menzaliminya, tidak menelantarkannya, tidak membohonginya, dan tidak melecehkannya…”[20]
Imam Nawawi berkomentar tentang hadis tersebut dengan mengatakan ‘Alangkah
besar dan banyaknya manfaat hadis ini.’[21]
Sebab, dalam hadis ini mengajarkan nilai yang sangat penting yaitu sesama
muslim adalah bersaudara, dan persaudaraan tersebut harus dipupuk dan dibangun
dengan etika seperti tidak menzalimi, melecehkan, dll. Persaudaraan -dalam
istilah agamanya ukhuwwah- dapat dikembangkan dengan bersilaturrahim, karena
silaturrahim bertujuan untuk menghubungkan tali persaudaraan dengan kasih sayang
kepada sesama sebagaimana tujuan Rasulullah diutus tiada lain adalah untuk
membawa rahmatan lil ‘alamin.[22]
Hadis
tersebut juga menjadi penguat dari firman Allah yang menyatakan bahwa sesama
muslim itu bersaudara[23].
Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa salah satu barometer dari ukhuwwah
yang kuat adalah dengan terjalinnya hubungan silaturrahim di antara sesama,
sehingga perlu dipahami terlebih dahulu esensi dari ukhuwwah itu sendiri, agar
silaturrahim dapat terjalin dengan baik. Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan
Hadis, maka paling tidak ada empat macam ukhuwwah[24]
yaitu
(1)
Ukhuwwah fil ‘Ubudiyyah (persaudaraan
sesama makhluk hidup)
(2)
Ukhuwwah fil Insaniyah (persaudaraan
sesama manusia)
(3)
Ukhuwwah fil wathaniyah wan nasab (persaudaraan
sebangsa dan seketurunan)
(4)
Ukhuwwah fi dinil Islam (persaudaraan
seagama)
Jika keempat hal tersebut dapat
dipahami secara bijak dan berpikiran inklusif, maka akan tercipta hubungan yang
harmonis di antara sesama manusia bahkan makhluk hidup. Inilah hasil akhir yang
diharapkan dari tashil ar-rahim.
Jika diamati dari amal-amal yang
mengantarkan ke surga, maka penulis menyimpulkan bahwa semua amal tersebut
tidak terlepas dari trilogi keislaman seseorang, yaitu iman, islam dan ihsan.
Lebih lanjut dapat dilihat dalam skema berikut ini:
PENUTUP
Islam merupakan agama yang berisi nilai sekaligus norma/aturan yang
mengantarkan kehidupan manusia menuju kehidupan yang hakiki di akhirat kelak.
Makna kehidupan dunia ini dalam Islam sebagai ladang amal untuk ‘memanennya’ di
akhirat kelak, sehingga umat Islam harus ‘menanam’ sebanyak mungkin ladang amal
yang dapat mengantarkan ke surga.
Berkaitan dengan hal
tersebut, Nabi saw telah memberikan gambaran amal-amal yang dapat mengantarkan
menuju surga, maka sebagai umat Islam sudah sewajarnya untuk memahami,
menghayati dan membumikannya dalam keseharian tingkah laku sebagai wujud ittiba’
rasul. Amal-amal tersebut di antaranya adalah beribadah dengan ketauhidan,
shalat, zakat, puasa, silaturrahim dan pergaulan terhadap sesama secara ihsan. Amal-amal
tersebut haruslah dipahami dan dikerjakan bukan semata-mata menggugurkan
kewajiban atau ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, amal tersebut
seharusnya dapat berimplikasi pada predikat khoiru ummah yang bercirikan
amar ma’ruf dan nahi munkar.
Oleh karena itu, menjadi ‘PR’ dan catatan bersama, agar amal-amal ibadah
dapat berimplikasi kepada sosial kemasyarakatan, karena saat ini kelihatannya
telah terjadi dikotomi antara ibadah ritual dengan sikap sosial, sehingga boleh
jadi shalat, puasa dan zakat, tetapi maksiat seperti korupsi tetap jalan. Naudzubillah.
Wallahu a’lam bishshowwab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2009. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari.
Terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Bukhari.
2010. Shahih al-Bukhari. Terj. Imam Mudzakir dan Makruf Abdul Jalil. Jakarta:
Pustaka As-Sunnah.
Al- Bugha, Musthafa Dieb dan Muhyiddin Mistu. 2013. Al-Wafi fi
Syarhil Arba’in an-Nawawiyah. Terj. Muhil Dhofir. Jakarta: Al-I’tishom.
Awwamah,
Muhammad. 2013. Min Shihah al-Hadis al-Qudsiyyah: Mi’ah Hadis Qudsi Ma’a
Syarhiha. Terj. Toto Edidarmo. Jakarta: Noura Books.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 2011. Al-Lu’lu wal Marjan fiima
ittafaqa ‘alaihi asy syaikhani al Bukhari wa muslim, Terj. Tim Penerjemah
Aqwam. Penerbit Ummul Qura.
______________ 2010. Shahih Muslim lil Imam Abul Husain Muslim
bin al-Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi, Terj. Dede Ishaq Munawar. Jakarta:
Pustaka As-Sunnah.
Rasyid,
Daud. 2000. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab, M. Quraish. 2008. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan.
______________.
2007. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Mizan.
[1]
Dikutip dari kitab Al-Lu’lu wal Marjan fiima ittafaqa ‘alaihi asy syaikhani
al Bukhari wa muslim, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit Ummul Qura, hlm.
74.
[2]
Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Terj. Imam Mudzakir dan Makruf Abdul
Jalil (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010), hlm. 150.
[3]
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih
Muslim lil Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi,
Terj. Dede Ishaq Munawar (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010), hlm. 86.
[4] Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) , hlm.11.
[5] Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin,
hlm. 13-14.
[6]
Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in
an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir (Jakarta: Al-I’tishom, 2013), hlm. 14.
[7] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarhil
Arba’in an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir, hlm. 15.
[8] Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin,
hlm. 15.
[9] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarhil
Arba’in an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir, hlm. 167.
[11] QS.
Al-Baqarah ayat 286.
[12]
Hadis ini dirawikan oleh Imam Muslim di dalam Kitab Al-Zuhd Wa Al-Raqa’iq,
Bab Al-Riya’, juz 4, hal. 2289, hadis no. 46.
[13]
Muhammad Awwamah. Min Shihah al-Hadis al-Qudsiyyah: Mi’ah Hadis Qudsi Ma’a
Syarhiha. Terj. Toto Edidarmo (Jakarta:Noura Books, 2013), hlm. 51.
[14]
Daud Rasyid. Islam dalam Berbagai Dimensi. (Jakarta: Gema Insani Press,
2000) hlm. 20.
[15] M.
Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. (Bandung:
Mizan, 2008) hlm. 133.
[16] QS.
Al-Ankabut ayat 45.
[17] M.
Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. hlm. 158.
[18] QS. At-Taubah ayat 103.
[19] Shahih
Muslim, Kitabul Bir wash-Shillah, Bab Tahrimudz Dzan wat Tajassus wat
Tanafus. Hadis no. 2563.
[20]
Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi SYarhil Arba’in an-Nawawiyah
Terj. Muhil Dhofir, hlm. 308.
[21]
Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi SYarhil Arba’in
an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir, hlm. 309.
[22] QS.
Al-Anbiya ayat 107.
[23] QS.
Al-Hujurat ayat 10.
[24] M.
Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. (Bandung: Mizan, 2007) hlm. 561-562.
Comments