KAJIAN HADIS TENTANG AMAL YANG DAPAT MEMASUKKAN KE SURGA



KAJIAN HADIS TENTANG AMAL YANG DAPAT MEMASUKKAN KE SURGA
 
A.      Teks Hadis
عن أبِي أيُّوبَ الأنْصَارِيِّ رضي الله عنه أنَّ رَجُلاً قال يا رَسُول الله أخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ فَقَالَ الْقَوْمُ ما لَهُ ما لَهُ فَقالَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَرَبٌ ما لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًاوَ تُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَ تَصِلُ الرَّحِمَ ذَرْهَا قَالَ كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ (أخرجه البخاري في كتاب الأ دب باب فضل صلة الرحم : 5983)
B.       Terjemah Hadis[1]
Abu Ayyub al-Anshari ra mengisahkan, “seseorang lelaki tiba-tiba mencegat Rasulullah saw dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.’ Para sahabat sontak bertanya-tanya, ‘ada apa, mengapa ia?’ Nabi saw pun menjawab, ‘Ia memiliki keperluan.’ Kemudian beliau bersabda, ‘beribadahlah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dirikan shalat, tunaikan zakat, dan sambunglah tali silaturrahim. Lepaskan tali kekang itu.” Abu Ayyub menjelaskan, “sepertinya beliau ketika itu sedang berada di atas kendaraannya.”
(HR. Bukhari, Kitab “Adab”, Bab Keutamaan Silaturrahim, no. 5983)

C.      Takhrij Hadis
1.      Al-Bukhari, kitab al-adab, bab keutamaan silaturrahim, no. 5983[2]
2.      Muslim, kitab al-iman, bab penjelasan mengenai iman yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga…, no. 12[3]
Hadis ini berkualitas shohih menurut Imam Bukhari dan Imam Muslim.

D.    Syarh Hadis
     أنَّ رَجُلاً  (bahwasanya seorang laki-laki) yang dimaksud adalah Abu Ayyub (perawi hadis itu sendiri), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitab Gharib al Hadis. [4]
     أَرَبٌ ما لَهُ  menurut Ibnu Baththal, kalimat tersebut berbentuk pertanyaan yang berfungsi sebagai penekanan karena disebutkan secara berulang-ulang. Adapun lafazh ‘arabun’ bermakna kepentingan atau kebutuhan. Sedangkan Ibnu al Jauzi menyatakan bahwa ia memiliki urusan penting yang mendorongnya untuk datang, karena dari pertanyaannya diketahui bahwa ia memiliki kepentingan. An Nadhr bin Syamuel berkata “Dikatakan araba rajulun fii amrin apabila seseorang melakukan suatu urusan dengan sungguh-sungguh”. Seakan-akan Nabi saw takjub atas kecerdikan orang itu serta tindakannya yang tepat mendatangi tempat yang dibutuhkannya. Hal ini diperkuat oleh riwayat Imam Muslim dimana Nabi saw bersabda “sungguh ia telah diberi taufik, atau sungguh ia telah diberi petunjuk”.[5]
     تُقِيْمُ الصَّلاَةَ  bermakna senantiasa menunaikan shalat, dengan menjaga dan memenuhi semua syarat dan rukunnya, termasuk memperhatikan segala adab dan sunahnya.[6]
     تُؤْتِي الزَّكَاةَ   yaitu memberikan bagian tertentu dari harta yang dimiliki kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat), ketika harta telah mencapai nishab (batas minimal wajib zakat) dan telah terpenuhi berbagai syarat wajib zakat. Zakat merupakan ibadah yang berhubungan dengan harta benda sehingga melalui zakat akan tercipta keseimbangan sosial, terhapusnya kemiskinan, terjalin kasih sayang, dan saling menghargai sesama muslim.[7]
     تَصِلُ الرَّحِمَ   yakni menyantuni kaum kerabat dalam kebaikan. Menurut an-Nawawi, maksudnya adalah berbuat baik terhadap semua kerabat yang memiliki hubungan darah denganmu sesuai keadaanmu serta kondisi mereka; baik dengan memberi nafkah, mengirim salam, mengunjungi mereka dan lain-lain.[8]
     Berdasarkan redaksi hadis tersebut, dapat ditarik pelajaran bahwa ada semangat keberagamaan dalam beribadah, sehingga sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang amal yang dapat mengantarkan ke surga. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sering ditanyakan oleh para sahabat nabi dengan cara yang berbeda-beda. Namun, semuanya menunjukkan betapa mereka merindukan surga. Berikut ini beberapa hadis yang menunjukkan hal tersebut.[9]
a.       Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshary yang hadisnya secara utuh dikutip dalam makalah ini dan menjadi rujukan utama.
b.      Riwayat Muslim disebutkan, “Tunjukkan kepadaku perbuatan yang bisa mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka”.
c.       Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah disebutkan ‘Puasa Ramadhan’ dan tidak disebut ‘Silaturrahim’.
d.      Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muntafiq ra. Ia berkata bahwa saya datang kepada Rasulullah saw. Pada saat itu beliau di Padang Arafah, lalu saya bertanya, “Dua hal yang akan saya tanyakan kepadamu, apakah yang bisa menyelamatkanku dari api neraka dan apa yang bisa memasukkanku ke surga?” Rasulullah saw menjawab, “Meskipun pertanyaanmu singkat, namun memiliki makna yang luas. Karenanya, dengarkan baik-baik. Sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya sedikit pun, tegakkan shalat wajib, tunaikan zakat, berpuasalah di bulan Ramadhan, dan bergaullah dengan orang lain secara baik.
     Dari beberapa hadis tersebut, dapat disimpulkan beberapa amal yang dapat mengantarkan ke surga secara luas selain yang terkandung dalam matan hadis di atas, yaitu
-          Beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan tidak musyrik
-          Menegakkan shalat
-          Menunaikan zakat
-          Silaturrahim
-          Puasa ramadhan
-          Pergaulan kepada sesama secara ihsan
     Disebutkannya amal-amal tersebut secara khusus di antara jenis kebaikan lainnya, karena nabi saw memperhatikan kondisi orang yang bertanya. Karena kelihatannya laki-laki yang bertanya disini kurang memperhatikan hubungan kekeluargaan, maka nabi saw memerintahkannya untuk memperhatikan hal tersebut. Dari sini dapat disimpulkan tentang bolehnya mengkhususkan sebagian amalan untuk seseorang sesuai dengan kondisinya, serta menekankan suatu perbuatan kepadanya di antara perbuatan yang lain, baik karena sulitnya perbuatan itu atau karena sikapnya yang suka meremehkan perbuatan itu.[10]
     Berdasarkan beberapa redaksi hadis tersebut, ada dua hal yang penulis garisbawahi untuk diteladani, yaitu pertama, tekad keberagamaan sahabat yang memiliki semangat yang tinggi, bukan hanya dalam melaksanakan ibadah semata, tetapi juga semangat dalam rangka mengetahui motivasi dalam beribadah. Setelah motivasi beribadah tersebut muncul, maka selanjutnya akan menjadi rasa kecintaan terhadap perintah Allah swt. Kedua, berdasarkan berbagai riwayat nabi saw yang menjelaskan tentang amal yang mengantarkan ke surga, jelaslah bahwa sikap Rasulullah menunjukkan kemudahan Islam dan Allah tidak membebani hamba-Nya dengan beban yang berat. Allah swt berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”[11]

E.     Kajian Tematik Hadis
      Pertama, beribadah kepada Allah tanpa ada unsur kemusyrikan di dalamnya. Sikap seperti ini dalam beribadah sangat penting, karena akan menjadi syarat diterimanya amal suatu ibadah yang dalam istilah teologi disebut dengan tauhid. Ketauhidan dalam beribadah bermakna bahwa dalam beribadah seorang hamba hanya memohon dan meminta kepada Allah tanpa ada sekutu baginya (syirik). Dalam salah satu hadis qudsi Allah menyatakan akan meninggalkan atau mengabaikan orang-orang yang menyekutukan-Nya. Firman-Nya:
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: قال الله تبارك وتعالى: أنَا أَغْنَى الشُّرَكَاء عن الشِّرْكِ من عَمِلَ عَمَلاً أشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.[12]
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda, “Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi telah berfirman: ‘Aku adalah Maha Tidak Membutuhkan para sekutu dalam hal apa pun. Barangsiapa yang melakukan amal (baik), tetapi menyekutukan Aku dengan yang lain di dalamnya, niscaya Aku meninggalkannya bersama sekutunya.”[13]
     Sejarah Islam telah mencatat, dengan kekuatan dan semangat beragama yang dilandasi dengan ketauhidan, generasi Islam pertama berhasil meruntuhkan dua kekuasaan terbesar dunia saat itu yaitu Imperium Romawi dan Kerajaan Sasania Iran.[14] Oleh karena itu, salah satu pilar kebangkitan peradaban umat Islam saat ini adalah dengan meniru semangat ketauhidan dalam beribadah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
     Kedua, menegakkan shalat. Menarik untuk disimak, baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadis Nabi saw, sejauh pengamatan penulis, kata shalat selalu digandengkan dengan kata aqimu, tuqimu dan semacamnya, begitu pula dalam hadis tersebut. Prof. Dr. Quraish Shihab[15] menjelaskan kata aqimu bukan hanya sekedar bermakna mendirikan –sebagaimana yang banyak berkembang di masyarakat-, tetapi kata itu bermakna bersinambung dan sempurna, sehingga perintah tersebut berarti melaksanakannya dengan baik, khusyuk, dan bersinambung sesuai dengan syarat rukun dan sunnahnya. Ketika shalat telah ditegakkan dengan benar dan menjadi ruh/spirit dalam keseharian hidup, maka tingkah laku (out put) dari orang tersebut adalah amar ma’ruf dan nahi munkar. Allah berfirman:
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3
“…dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…”[16]
     Ketiga, menunaikan zakat, seperti halnya shalat, jika diamati, kata zakat juga sering dirangkaikan dengan kata atu. Menurut Prof. Quraish Shihab[17] kata tersebut bermakna istiqamah (bersikap jujur dan konsekuen), cepat, pelaksanaan secara sempurna, memudahkan jalan, mengantar kepada, seorang agung dan bijaksana dan lain-lain. Jika makna-makna yang dikandung oleh kata tersebut dipahami dan dihayati lebih dalam, maka akan terungkaplah suatu mekanisme zakat yang professional dan tepat sasaran. Penggunaan kata atu tersebut menuntut agar: (1) zakat dikeluarkan dengan sikap istiqamah sehingga tidak terjadi kecurangan baik dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya, (2) bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluarannya, sehingga tidak menunda-nunda hingga waktunya berlalu, (3) mempermudah jalan penerimaannya, bahkan lebih baik lagi kalau langsung mengantarkannya kepada mustahiq sehingga tidak terjadi semacam ‘pameran’ kemiskinan, (4) mereka yang melakukan petunjuk-petunjuk tersebut merupakan seorang yang agung lagi bijaksana.
     Oleh karena itu, pelaksanaan zakat yang professional dan tepat sasaran, seharusnya akan memiliki dampak kemanusiaan yang sangat berarti, karena zakat merupakan salah satu wujud dari ekonomi Islam yang menyempurnakan ekonomi liberal/sosialis dan ekonomi kapitalis yang individualis. Dengan berzakat, maka fungsi harta dalam sosialnya akan tercapai, tetapi disisi lain, hak harta sebagai kemilikan individu juga tetap terjaga. Selain dampak kemanusiaan, zakat juga berdampak secara psikologis serta keimanan sang pemberi (muzakki), sebagaimana firman Allah swt:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka…”[18]
     Keempat, bersilaturrahim, Rasulullah saw bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تَحَاسَدُوا, ولا تَنَاجَشُوا, ولا تَبَاغَضُوا, ولا تَدَابَرُوا, ولا يَبْعِ بَعْضُكُمْ على بَيْعِ بَعْضٍ, وكُوْنُوا عِبَادَالله إخْوَانًا, المُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ لا يَظْلِمُهُ, ولا يَكْذِبُهُ, ولا يَحْقِرُهُ ...[19]
Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda, “Jangan saling menghasud, saling menipu, saling membenci, saling membelakangi, dan jangan membeli barang yang telah dibeli orang lain. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, karenanya tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya, tidak membohonginya, dan tidak melecehkannya…”[20]
     Imam Nawawi berkomentar tentang hadis tersebut dengan mengatakan ‘Alangkah besar dan banyaknya manfaat hadis ini.’[21] Sebab, dalam hadis ini mengajarkan nilai yang sangat penting yaitu sesama muslim adalah bersaudara, dan persaudaraan tersebut harus dipupuk dan dibangun dengan etika seperti tidak menzalimi, melecehkan, dll. Persaudaraan -dalam istilah agamanya ukhuwwah- dapat dikembangkan dengan bersilaturrahim, karena silaturrahim bertujuan untuk menghubungkan tali persaudaraan dengan kasih sayang kepada sesama sebagaimana tujuan Rasulullah diutus tiada lain adalah untuk membawa rahmatan lil ‘alamin.[22]
     Hadis tersebut juga menjadi penguat dari firman Allah yang menyatakan bahwa sesama muslim itu bersaudara[23]. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa salah satu barometer dari ukhuwwah yang kuat adalah dengan terjalinnya hubungan silaturrahim di antara sesama, sehingga perlu dipahami terlebih dahulu esensi dari ukhuwwah itu sendiri, agar silaturrahim dapat terjalin dengan baik. Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis, maka paling tidak ada empat macam ukhuwwah[24] yaitu
(1)   Ukhuwwah fil ‘Ubudiyyah (persaudaraan sesama makhluk hidup)
(2)   Ukhuwwah fil Insaniyah (persaudaraan sesama manusia)
(3)   Ukhuwwah fil wathaniyah wan nasab (persaudaraan sebangsa dan seketurunan)
(4)   Ukhuwwah fi dinil Islam (persaudaraan seagama)
Jika keempat hal tersebut dapat dipahami secara bijak dan berpikiran inklusif, maka akan tercipta hubungan yang harmonis di antara sesama manusia bahkan makhluk hidup. Inilah hasil akhir yang diharapkan dari tashil ar-rahim.
     Jika diamati dari amal-amal yang mengantarkan ke surga, maka penulis menyimpulkan bahwa semua amal tersebut tidak terlepas dari trilogi keislaman seseorang, yaitu iman, islam dan ihsan. Lebih lanjut dapat dilihat dalam skema berikut ini:

PENUTUP


     Islam merupakan agama yang berisi nilai sekaligus norma/aturan yang mengantarkan kehidupan manusia menuju kehidupan yang hakiki di akhirat kelak. Makna kehidupan dunia ini dalam Islam sebagai ladang amal untuk ‘memanennya’ di akhirat kelak, sehingga umat Islam harus ‘menanam’ sebanyak mungkin ladang amal yang dapat mengantarkan ke surga.

          Berkaitan dengan hal tersebut, Nabi saw telah memberikan gambaran amal-amal yang dapat mengantarkan menuju surga, maka sebagai umat Islam sudah sewajarnya untuk memahami, menghayati dan membumikannya dalam keseharian tingkah laku sebagai wujud ittiba’ rasul. Amal-amal tersebut di antaranya adalah beribadah dengan ketauhidan, shalat, zakat, puasa, silaturrahim dan pergaulan terhadap sesama secara ihsan. Amal-amal tersebut haruslah dipahami dan dikerjakan bukan semata-mata menggugurkan kewajiban atau ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, amal tersebut seharusnya dapat berimplikasi pada predikat khoiru ummah yang bercirikan amar ma’ruf dan nahi munkar.

     Oleh karena itu, menjadi ‘PR’ dan catatan bersama, agar amal-amal ibadah dapat berimplikasi kepada sosial kemasyarakatan, karena saat ini kelihatannya telah terjadi dikotomi antara ibadah ritual dengan sikap sosial, sehingga boleh jadi shalat, puasa dan zakat, tetapi maksiat seperti korupsi tetap jalan. Naudzubillah. Wallahu a’lam bishshowwab.























DAFTAR PUSTAKA



Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2009. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Terj. Amiruddin. Jakarta: Pustaka Azzam.

Al-Bukhari. 2010. Shahih al-Bukhari. Terj. Imam Mudzakir dan Makruf Abdul Jalil. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

Al- Bugha, Musthafa Dieb dan Muhyiddin Mistu. 2013. Al-Wafi fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyah. Terj. Muhil Dhofir.  Jakarta: Al-I’tishom.

Awwamah, Muhammad. 2013. Min Shihah al-Hadis al-Qudsiyyah: Mi’ah Hadis Qudsi Ma’a Syarhiha. Terj. Toto Edidarmo. Jakarta: Noura Books.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 2011. Al-Lu’lu wal Marjan fiima ittafaqa ‘alaihi asy syaikhani al Bukhari wa muslim, Terj. Tim Penerjemah Aqwam. Penerbit Ummul Qura.

______________ 2010. Shahih Muslim lil Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi, Terj. Dede Ishaq Munawar. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

Rasyid, Daud. 2000. Islam dalam Berbagai Dimensi. Jakarta: Gema Insani Press.

Shihab, M. Quraish. 2008. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan.

______________. 2007. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.



[1] Dikutip dari kitab Al-Lu’lu wal Marjan fiima ittafaqa ‘alaihi asy syaikhani al Bukhari wa muslim, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Penerbit Ummul Qura, hlm. 74.
[2] Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Terj. Imam Mudzakir dan Makruf Abdul Jalil (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010), hlm. 150.
[3] Muhammad Fuad Abdul Baqi,  Shahih Muslim lil Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi An-Naisaburi, Terj. Dede Ishaq Munawar (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010), hlm. 86.
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) , hlm.11.
[5] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin, hlm. 13-14.
[6] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir (Jakarta: Al-I’tishom, 2013), hlm. 14.
[7] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir, hlm. 15.
[8] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin, hlm. 15.
[9] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir, hlm. 167.
[10] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Terj. Amiruddin, hlm. 15.
[11] QS. Al-Baqarah ayat 286.
[12] Hadis ini dirawikan oleh Imam Muslim di dalam Kitab Al-Zuhd Wa Al-Raqa’iq, Bab Al-Riya’, juz 4, hal. 2289, hadis no. 46.
[13] Muhammad Awwamah. Min Shihah al-Hadis al-Qudsiyyah: Mi’ah Hadis Qudsi Ma’a Syarhiha. Terj. Toto Edidarmo (Jakarta:Noura Books, 2013), hlm. 51.
[14] Daud Rasyid. Islam dalam Berbagai Dimensi. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) hlm. 20.
[15] M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. (Bandung: Mizan, 2008) hlm. 133.
[16] QS. Al-Ankabut ayat 45.
[17] M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. hlm. 158.

[18]  QS. At-Taubah ayat 103.
[19] Shahih Muslim, Kitabul Bir wash-Shillah, Bab Tahrimudz Dzan wat Tajassus wat Tanafus. Hadis no. 2563.
[20] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi SYarhil Arba’in an-Nawawiyah Terj. Muhil Dhofir, hlm. 308.
[21] Musthafa Dieb Al- Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi SYarhil Arba’in an-Nawawiyah, Terj. Muhil Dhofir, hlm. 309.
[22] QS. Al-Anbiya ayat 107.
[23] QS. Al-Hujurat ayat 10.
[24] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung: Mizan, 2007) hlm. 561-562.
 hadis aqidah,

Comments

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil