kisah dalam al-Qur'an | Makalah Ulumul Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kisah merupakan bagian penting yang termuat dalam berbagai kitab wahyu, seperti perjanjian lama (taurat), perjanjian baru (injil), dan al-Qur’an. Salah satu kisah popular yang sering kita dengar dapat kita lihat dalam dua kitab wahyu yaitu; tentang iblis yang berubah menjadi ular masuk ke surga untuk menggoda Adam dan Hawa untuk memakan buah terlarang  hingga keduanya terusir dari surga.
Kisah lainnya, misalnya, tentang Habil (symbol cahaya, kebajikan) dan Kabil (symbol kegelapan, kejahatan), selain di muat dalam dua kitab wahyu pertama juga dimuat dalam al-Qur’an. Bahkan al-Qur’an menempatkan kisah-kisah sebagai sesuatu yang amat penting dan salah satunya sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW. Tidak mengherankan apabila Allah menamai surah dalam al-Qur’an dengan nama al-Qashsash.
Untuk menetahui berbagai macam cerita dan hikmah dalam al-Qur’an, maka marilah kita pelajari bersama salah satu cabang dari Ulumul Qur’an yaitu ilmu Qashash al-Qur’an.
B.    RUMUSAN MASALAH
a.      Apakah pengertian kisah?
b.      Ada berapa macam kisah dalam al-qur’an?
c.       Apa karakteristik kisah dalam al-Qur’an?
d.      Apakah tujuan kisah dalam al-Qur’an?
e.      Bagaimana relevansi kisah dengan sejarah?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kisah
Kata qashash merupakan bentuk jamak dari kata qishshoh, yang berarti mengikuti jejak, pengulangan kembali masa lalu atau cerita. Di dalam al-Qur’an, kata qashash juga memiliki tiga pengertian tersebut ( QS. Al-Kahfi ayat 64, QS. Al-Qashash ayat 11, Ali ‘Imran ayat 62 dan QS. Yusuf ayat 111 ).
            Secara terminologis, qashash adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an yang menceritakan hal ihwal umat-umat terdahulu dan Nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan akan terjadi. Mencermati batasan qashash ini, tampak bahwa qashash dalam al-Qur’an tidak hanya memuat kisah yang telah terjadi saja, melainkan hal yang sedangdan akan terjadi sekalipun. Ini merupakan indikasi bahwa kisah al-Qur’an sangat luar biasa. Pantas jika orang-orang Musyrikin mempermasalahkan kisah-kisah dalam al-Qur’an. Bahkan, al-Qur’an, yang terkadang menceritakan manusia pertama, Adam, dan kehidupanya; surga dan neraka dan balasanya; maupun nama dan tugas malaikat, menjadi bahan pertanyaan mereka, bahkan ejekan, dari mana Muhammad mendapatkan cerita-cerita itu. Oleh karena itu, sikap mereka dijelaskan dalam al-Qur’an ( QS. Al-Mukminun:69 )
            Manna Al-Qaththan mengatakan bahwa kesusasteraan kisah ( adab al-qishah ) telah menjadi seni khas di antara seni-seni bahasa dan sastera. Dan kisah yang benar telah membuktika kondisi ini dalam gaya bahasa secara jelas dan menggambarkan dalam bentuk yang paling tinggi, yakni kisah al-Qur’an. Pernyataan ini patut diakui mengingat gaya bahasa al-Qur’an jauh lebih tinggi nilai sasteranya disbanding bentuk kisah lainnya.[1]
B.    Macam-macam kisah dalam al-Qur’an
Kisah-kisah yang tercantum dalam al-Qur’an ada tiga macam.
Pertama, kisah para nabi terdahulu yang memuat informasi tentang misi dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang mereka miliki untuk merperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya, serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan yang mendustakan. Misalnya, kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun dan Isa.[2]
Kedua, kisah-kisah yang menyangkut pribadi-pribadi dan golongangolongan dengan segala kejadiannya yang dinukil oleh Allah untuk menjadi bahan renungan dan pelajaran. Misalnya, Kisah Siti Maryam, Lukman, Dzulqarnain, Qarun dan Ashabul Kahfi.
Ketiga, kisah-kisah yang menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa Rosulullah SAW., seperti Perang Badar, Perang Uhud, Perang Ahzab, Bani Quraizah, Bani Nadzir dan Zaid bin Haritsah dengan Abu Lahab.[3]
C.     Karakteristik kisah dalam al-Qur’an
al-Qur’an tidak menceritakan sebuah kejadian dan peristiwa-peristiwa tertentu secara berurutan ( kronologis ), dan tidak pula memaparkannya secara panjang lebar.
Sebagai produk wahyu, kisah-kisah al-Qur’an tentu berbeda dengan kisah-kisah atau dongeng buatan manusia. Karena karakteristik yang dimilikinya. Fenomena kisah dalam al-Quran yang diyakini kebenarannya sangat erat kaitannya dengan sejarah. Tetapu al-Qur’an bukan merupakan kitab sejarah, kendati di dalamnya banyak terdapat sejarah.
Al-qur’an juga mengandung berbagai kisah yang diungkapkan secara berulang dalam beberapa tempat. Sebuah kisah terkadang secara berulang disebutkan dalam al-Qur’an, dan dikemukakan dalam berbagai bentuk gaya, tutur, wicara yang berbeda-beda. Disatu tempat, ada bagian-bagian yang didahulukan, sedangkan di tempat lainya justru diakhirkan. Pun, di satu tempat, terkadang dikemukakan secara ringkas, dan kadang-kadang secara panjang lebar. Gaya tutur wicara yang berbeda inilah yang sering menimbulkan perdebatan dikalangan orang-orang yang meyakini dan orang-orang yang meragukan al-Qur’an. Mereka yang selalu meragukan acapkali mempertanyakan mengapa kisah-kisah tersebut tidak tersusun secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami. Bagi mereka, pengulangan kisah-kisah dalam al-Qur’an seperti menunjukkan inefektivitas dan inefisiensi.[4]
D.    Tujuan kisah dalam al-Qur’an
Kisah al-Qur’an bukanlah karya seni yang tanpa adanya tujuan, melainkan salah satu dari metode al-Qur’an dalam menuntun dan mewujudkan tujuan keagamaan ketauhidannya dan salah satu cara menyampaikan dan mengokohkan dakwah islam.
Adapun tujuan umum dari kisah al-Qur’an ialah pengambilan pelajaran (ibrah dan mau’idzah), dalam buku terjemah khadijah Nasution tujuan umum kisah al-Quran ialah kebenaran dan semata-mata untuk keagamaan.[5] Adapun tujuan khusus dari kisah al-Qur’an ialah;
1.      Mengungkapkan kemantapan wahyu dan risalah serta mewujudkan rasa puas dalam menerima wahyu bahwa Muhammad yang ummi telah menyampaikan kisah-kisah tersebut kepada umatnya. Sebagian kisah disampaikan secara mendalam sehingga tidak seorang pun yang meragukannya.(QS. Yusuf: 2-3)
2.      Menjelaskan perinsip dakwah kepada agama Allah dan keterangan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh masing-masing Nabi.[6](QS. Al-Anbiya’:25)
3.      Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mengasihani Rasul beserta orang-orang yang beriman dan menyelamatkan mereka dari bencana.(QS. Al-Anbiya’:87-92)
4.      Memantabkan kedudukan kaum mukminin, menghibur mereka dari kesedihan, meneguhkan hati Nabi serta sebagai peringatan bagi para pendusta agama.(QS. Hud:120)
5.      Menunjukkan kebenaran al-Qur’an melalui kisah-kisahnya.(QS. Al-Kahfi:13)
6.      Mengoreksi pendapat para ahli-kitab yang suka menyembunyikan keterangan dan petunjuk kitab sucinya dan membantahnya dengan argument-argumen yang terdapat dalam kitab sucinya sebelum diubah olehnya.[7](QS. Ali Imran:93)
7.      Menanamkan pendidikan ahlakul karimah kepada para pengkajinya.
E.     Relevansi kisah dengan sejarah
Seperti yang telah kita ketahui diatas bahwa kisah kisah dalam al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat-ayat yang diturunkan dari sisi Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Sebagai kitab suci, al Qur’an bukanlah kitab sejarah, sehingga tidaklah adil jika al Qur’an dianggap mandul hanya karena kisah-kisah yang ada didalamnya tidak dipaparkan secara gamblang. Akan tetapi berbeda dengan cerita fiksi, kisah-kisah tersebut tidak didasarkan pada khayalan yang jauh dari realitas.
Kisah kisah dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli, yaitu tujuan keagamaan yang meriwayatkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
Al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang hukum Allah SWT dalam kehidupan sosial serta pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
Sebagian kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan berarti menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkapkan kisah dalam al-Qur’an dalam kerangka pengetahuan modern.
Kisah tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah seperti halnya buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan oleh kisah al-Qur’an adalah memberi nasehat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan bangsa-bangsa.
Namun, jika dalam memahami kisah-kisah al Qur’an harus dipakai metode sejarah selengkap-lengkapnya, sperti kalau memahami dokumendokumen sejarah, maka akan banyak dihadapi kesulitan-kesulitan, maka banyak ulama dan mufassir yang menganggap kisah-kisah al Qur’an sebagai ayat-ayat mutasyabihat.[8]



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Kata qashash merupakan bentuk jamak dari kata qishshoh, yang berarti mengikuti jejak, pengulangan kembali masa lalu atau cerita. Secara terminologis, qashash adalah kisah-kisah dalam al-Qur’an yang menceritakan hal ihwal umat-umat terdahulu dan Nabi-nabi mereka serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, yang sedang terjadi dan akan terjadi.
Kisah dalam al-Qur’an dibagi menjadi tiga yaitu; kisah para nabi, kisah dalam al-Qur’an yang bersangkutan dengan peristiwa yang sudah kabur (tidak jelas lagi), dan terakhir kisah yang berkaitan dengan kejadian di zaman rasul.
Al-Qur’an tidak menceritakan sebuah kejadian dan peristiwa-peristiwa tertentu secara berurutan ( kronologis ), dan tidak pula memaparkannya secara panjang lebar.
Adapun tujuan umum dari kisah al-Qur’an ialah pengambilan pelajaran (ibrah dan mau’idzah).
Kisah tidak bermaksud mengajarkan peristiwa-peristiwa sejarah seperti halnya buku-buku sejarah. Yang sangat dipentingkan oleh kisah al-Qur’an adalah memberi nasehat, bukan mensejarahkan perorangan atau golongan bangsa-bangsa.



DAFTAR PUSTAKA
Supiana. Ulumul Qur’an : Dan Pengenalan Metodologi Tafsir. Bandung, Pustaka Islamika, 2002
Asy-Shiddieqy, M. Hasbi. Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-Media Pokok Dalam Menafsirkan Al-Qur’an. Jakarta, Bulan Bintang, 1988
Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an: Tela’ah Tekstualitas Dan Kontekstulitas Al-Qur’an. Bandung Humaniora, 2011
Qutb, Sayyid, Seni Penggambaran Dalam Al-Qur’an, Terjemah Khadijah Nasution Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981
Quthan Mana’ul. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. Jakarta, Renika Cipta, 1993
Hanafi, A. Segi-Segi Kesusasteraan Pada Kisah-Kisah Al Qur’an, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1983




[1] Supiana. Ulumul qur’an : dan pengenalan metodologi tafsir. (Bandung, pustaka islamika. 2002). Hal:243
[2] M. hasbi asy-shiddieqy.ilmu-ilmu al-Qur’an: media-media pokok dalam menafsirkan al-Qur’an. (Jakarta, bulan bintang,1988), Hal: 188
[3] Ahmad izzan. Ulumul qur’an: tela’ah tekstualitas dan kontekstulitas al-qur’an. (Bandung humaniora 2011). Hal: 213
[4] Ibid, Hal: 214
[5] Sayyid Qutb, Seni Penggambaran dalam al-Qur’an, Terjemah Khadijah Nasution (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1981), Hal: 138.
[6] M. hasbi asy-shiddieqy.ilmu-ilmu al-Qur’an: media-media pokok dalam menafsirkan al-Qur’an. (Jakarta, bulan bintang,1988), Hal: 188
[7] Mana’ul quthan. Pembahasan ilmu al-Qur’an. (Jakarta, renika cipta, 1993). Hal: 147
[8] A. Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan Pada kisah-kisah Al Qur’an, (Pustaka al Husna, Jakarta, 1983), hlm. 26

Comments

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat