Makalah Abu Ya'la

1 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
BAGIAN I
Selayang Pandang
Memahami bukanlah suatu proses dari tidak tahu menjadi tahu. Namun, hal itu berangkat dari satu pemahaman pada suatu pemahaman yang baru. Dalam memahami sesuatu, seseorang tidak mungkin berangkat dari ruang kosong. Sebab bagaimanapun, seseorang pasti memiliki pra-pemahaman dan itulah yang sangat mempengaruhi seseorang dalam memahami sesuatu. Pra-pemahaman adalah suatu keniscayaan. Oleh karenanya, memahami tidaklah berangkat dari ruang kosong atau dari tidak tahu menjadi tahu, akan tetapi dari satu pemahaman kepada pemahaman yang lebih baru.
Berbasis asumsi di atas, pemahaman adalah kesepakatan. Dengan bahasa lain, sebenarnya, ketika seseorang mengaku sudah paham akan sesuatu, itu berarti dia sepakat terhadapnya. Adapun mengenai parameter kesepakatan, hal itu tergantung pada sejauh mana dia memahami asumsi dasar si pemilik pengetahuan. Mudahnya, seseorang baru bisa dikatakan paham ketika dia sudah mengetahui apa saja asumsi dasar atau pra-pemahaman si pemilik pengetahuan.
Termasuk dalam wilayah pemahaman juga adalah pemahaman muslim terhadap Islam atau lebih tepatnya hukum Islam. Bagaimanapun juga, kesadaran akan adanya keterpengaruhan sejarah—adanya pra pemahaman—dalam setiap pemahaman muslim merupakan satu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Selain itu, kesadaran atas perlunya memahami asumsi-asumsi yang mendasari setiap hukum juga tidak kalah penting. Sehingga, masyarakat muslim bisa paham dalam arti yang sebenarnya.
Sebagai konsekuensinya, masyarakat muslim akan tertuntut untuk mengkaji apa saja yang melatarbelakangi diputuskannya suatu hukum. Dan dalam hal ini yang dimaksud adalah Quran dan Hadis. Dengan kalimat lain,
2 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
berbasis asumsi—terkait konsep pemahaman—di atas, masyarakat muslim tidak akan mudah untuk menerima suatu hukum sebelum mengetahui Quran dan Hadisnya. Sehingga, tidak bisa tidak, dalam keadaan seperti itu, salah satu hal yang sangat dibutuhkan adalah suatu kitab hadis yang cukup komprehensif. Dan di sinilah mengapa kajian suatu kitab hadis diperlukan.
Sebagai salah satu dari kitab-kitab hadis primer, Musnad Abu Ya’la adalah salah satunya. Kitab ini memuat banyak sekali hadis sesuai dengan periwayat pertamanya masing-masing. Dengan lain ucapan, kitab tersebut merumuskan beberapa nama periwayat dari sahabat, lantas mengumpulkan semua hadis yang pernah diriwayatkan olehnya. Sehingga, dengan memahami dulu hadis-hadis—yang posisinya sebagai asumsi dasar suatu hukum—dalam kitab Musnad Abu Ya’la, masyarakat muslim akan mendapatkan pemahaman dalam arti yang sebenarnya. Terkait kitab, lebih detailnya bisa didiskusikan di bawah ini.
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana memahami Kitab Musnad Abu Ya’la dengan baik dan benar?
3 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
BAGIAN II
Menyelami Persoalan
1. Sekilas Tentang Abu Ya’la
Adalah Abu Ya’la Ahmad bin Ali bin Masna bin Yahya al-Tamimi al-Mushali. Gelar al-Mushali disandarkan pada daerah tempat dia lahir, yaitu di Mushal, Baghdad, Irak pada 210 H di masa-masa akhir pemerintahan al-Ma’mun. Abad itu adalah abad keemasan Islam, yaitu masa 1001 malam Baghdad. Banyak sekali cabang keilmuan yang berkembang di masa itu. Dan tidak bisa tidak, semangat untuk mengembangkan keilmuan ketika itu berdampak pada sosok Abu Ya’la kecil.
Dalam kepribadian, Abu Ya’la adalah sosok yang murah senyum, ceria, suka ilmu, terbuka, cerdas, dan lain sebagainya. Di masa mudanya dia usai belajar banyak disiplin keilmuan, seperti hadis, tafsir, fikih, sastra, budaya, dan lainnya. Sosok Abu Ya’la yang sedemikian itu tidak bisa tidak lepas dari keadaan keluarganya. Dengan lain ucapan, sedari kecil, dia usai dididik untuk mencintai ilmu. Bahkan di umurnya yang ke—15 dia sudah berani memutuskan untuk menggembara demi ilmu dan termasuk darinya adalah pencariannya akan hadis-hadis nabi. Abu Ya’la meninggal pada tahun 307 H di masa khalifah al-Muktadir.
2. Latar Belakang Penulisan Kitab
Secara eksplisit, latar belakang penulisan tidak ditemukan sebab belum ditemukannya mukaddimah dari penulisnya. Akan tetapi, secara analisis, latar belakangnya adalah untuk mengembangkan keilmuan hadis ketika itu, mengetahui betapa sukanya dia terhadap ilmu. Itu bisa dibuktikan dengan
4 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
keberanian Abu Ya’la untuk mengembara demi menimba ilmu.1 Berdasarkan keinginannya yang kuat untuk ikut serta meramaikan perkembangan ilmu hadis di masa itu, Abu Ya’la memutuskan untuk menghimpun hadis-hadis dan menjadi satu kitab musnad. Kira-kira itu.
3. Metode dan Sistematika Penulisan Kitab
a. Metode Penulisan
Secara umum, metode yang dipakai Abu Ya’la dalam menuliskan kitab hadisnya tersebut adalah metode sunan. Itu bisa dibuktikan dengan beberapa hal, yaitu atas penamaan kitabnya sendiri sebagai “Musnad Abi Ya’la” dan atas bagaimana kitab itu disusun. Kitab itu disusun atas urutan nama sahabat bukan urutan hadis. Melalui metode musnad, seseorang dituntut untuk membuat skema sahaba terlebih dahulu, baru kemudian dicari hadis-hadis yang pernah diriwayatkan oleh sahabat tersebut. Adapun tentang ketentuan pengurutan, itu tergantung pada pengarang. Hal itu bisa berupa kumpulan sahabat satu daerah, kumpulan sahabat sesuai urutan umur atau tanpa ketentuan ketat sama sekali. Dan secara analisis, Abu Ya’la memilih poin yang ketiga dalam memberikan ketentuan. Untuk lebih detailnya, bisa diamati setelah ini.
- Ditulis sesuai urutan nama
sahabat dari khulafaurrasyidin—
kecuali Usman karena memang
dia tidak meriwayatkan hadis—
kemudian al-sabiqun al-
awwalun—seperti Talhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awam,
Saad bin Waqas, Abdurrahman
1 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 1 (Beirut: Dar el-Ma’mun li al-Turats, 1990) hlm. 14.
5 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
bin Auf. Adapun urutan selanjutnya, tidak ditemukan ketentuan tertentu dalam penulisannya.2
- Dalam satu bab yang berupa nama sahabat, di dalamnya tercakup banyak hadis sesuai apa yang pernah dia riwayatkan.3
2 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 2, hlm. 541.
3 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 2, hlm. 5—8.
6 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
- Ada beberapa bab musnad yang tidak berupa nama sahabat, tetapi kalimat yang majhul. Contoh: “rajul min ashab al-nabi”. Halaman 221 jilid 2. Kalimat “Ukht Abdullah bin rawahah”, 75 jilid 13. Kalimat “hadis Imraat”, 78 jilid 13, dan sebagainya (jilid 3 halaman 166, 167, 176).4
- Ada juga bab yang menyebut nama-nama sahabat yang meriwayatkan dari sahabat lainnya (sahabat yang lebih banyak meriwayatkan hadis). Dalam redaksinya, itu menggunakan kalimat “’an diakhir kalimat” kemudian diikuti nama sahabat yang hadisnya diriwayatkan olehnya. Contoh: “Abu Qilabah bin Zaid, ‘an Anas”, 178 jilid 5.5 Selain itu, ada juga yang langsung menggunakan kalimat “Tabi’” kemudian diikuti nama sahabat yang hadisnya diriwayatkan. Dalam satu bab model kedua ini mencakup banyak nama yang bersama-sama meriwayatkan dari satu perowi sesama sahabat. Contoh: “Tabi’ musnad Abdullah bin Umar”, di dalamnya ada beberapa hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang sama dari Ibnu Umar, yaitu Zaid bin Aslam, 13 jilid 10.6 Untuk sahabat yang mempunyai tabi’ adalah sahabat-sahabat yang meriwayatkan banyak sekali hadis, seperti Anas bin Malik, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Maimunah zauj al-nabi, dan sebagainya.
4 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 13, hlm. 78.
5 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 5, hlm. 178.
6 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 10, hlm. 5
7 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
- Tidak ditemukan ketentuan tertentu dalam mengurutkan nama sahabat. Bukan dari siapa yang pertama masuk islam (480 jilid 13), bukan dari asal daerah (jilid 13: 438 dan 467, keduanya adalah perawi dari dua daerah yang berbeda), bukan dari umur siapakah yang lebih tua (489 jilid 13), bukan dari klasifikasi jenis kelamin.7 (33 jilid 13. Andai pakai klasifikasi ini, maka urutan nama sampai akhirnya adalah perempuan. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak seperti itu)
7 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 13, hlm. 33.
8 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
b. Sistematika Penulisan
9 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
10 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
4. Kualitas dan Kuantitas Hadis
Abu Ya’la dalam kitabnya tersebut berhasil mengumpulkan 201 nama sahabat. Adapun mengenai patokan hadis dalam setiap sahabatnya, Abu Ya’la tidak memberikan ketentuan apapun. Dengan lain ucapan, jumlah hadis pada setiap sahabat berbeda satu sama lain, mulai dari delapan sampai ratusan hadis.
Dari 201 nama sahabat yang usai terkumpul, Abu Ya’la berhasil menghimpun 7555 hadis dalam musnadnya. Hadis-hadis tersebut memiliki kualitas yang beragam. Sebagian darinya termasuk hadis yang makbul, dan sebagian lainnya mardud. Hadis-hadis yang makbul termasuk di dalamnya
11 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
adalah hadis sahih, hasan, dan sebagainya. Dalam persen—berbasis penelitian yang pernah dilakukan dalam 1000 hadis awal—hadis mardud dalam kitab ini mencapai 15, 3%. Sedangkan dalam nominalnya, itu sekitar 153 hadis dari total 1000 hadis awal.8 Adapun hadis yang bisa dikatakan sahih berjumlah sekitar 226 hadis.9
Salah satu contoh hadis yang memiliki kualitas rendah adalah hadis nomer 136 dalam Abu Bakar. Ada dua periwayat yang kualitasnya tidak bisa diterima dalam hadis tersebut, yaitu Usman bin Matar dan gurunya, Abdul Gafur bin Abdul Aziz.10
5. Analisis Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
- Kaya informasi, sehingga memungkinkan untuk diketahui banyak hadis yang tidak dimuat dalam kitab Sembilan.
- Ditulis dengan metode sunan, sehingga memudahkan untuk dicari siapa saja sahabat yang meriwayatkan hadis dan apa saja yang diriwayatkannya.
Kekurangan
- Banyak memuat hadis yang berualitas rendah.
- Pengurutan nama sahabat yang dihimpun tidak sistematis.
- Tidak mencantumkan kualitas hadi
8 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 1, hlm. 21.
9 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 1, hlm. 21.
10 Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Jus 1, hlm. 123.
12 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
BAGIAN III
Kapita Selekta
Penulis kitab Musnad Abi Ya’la adalah Ahmad bin Ali bin Masna al-Mushili. Sebagaimana nama penulisnya, kitab tersebut populer dengan sebutan Musnad Abi Ya’la. Kitab tersebut muncul pada pertengahan abad ke—3 H atau abad ke—9 M. Pada abad itu, Islam berhasil mendapatkan masa keemasannya. Banyak sekali cabang keilmuan yang berkembang pesat ketika itu. Itu semua berpusat di Baghdad, Irak. Dan disitu pulalah penulis kitab ini besar dan berkembang.
Musnad Abi Ya’la ditulis—berbasis beberapa analisa—karena keinginan Abu Ya’la sendiri untuk turut ikut serta dalam pengembangan cabang keilmuan di masa itu. Selain itu, Abu Ya’la jugalah seorang yang begitu menyukai ilmu, sehingga wajar jika dia menulis kitab musnad ini.
Sebagaimana namanya, kitab ini ditulis dengan metode musnad. Melalui metode tersebut, Abu Ya’la dituntut untuk mengklasifikasi terlebih dahulu siapa sajakah nama periwayat hadis yang ingin dia himpun. Segera setelah itu, dia menghimpun satu-persatu hadis yang pernah diriwayatkan oleh daftar nama periwayat hadis yang usai diklasifikasikan.
Kitab ini memuat 7555 hadis dan 201 nama periwayat dari kelompok sahabat saja. Dalam setiap nama sahabat, jumlah hadisnya berbeda satu sama lain: ada yang sedikit dan ada yang begitu banyak. Adapun tentang kualitas, banyak hadis dalam kitab ini yang kualitasnya rendah.
13 | M u s n a d A b i Y a ’ l a
Daftar Pustaka
Ali, Ahmad bin. 1990. Musnad Abi Ya’la. Beirut: Dar el-Ma’mun li al-Turats.

Comments

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil