makalah al-Targhib dan al-Tarhib



al-Targhib wa al-Tarhib
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pengantar

Hampir serupa kitab Al-Mujtaba karya Imam An-Nasa’i dan kitab Al-Insyaf karya Al-Baqillani yang penulisannya dilatar belakangi oleh permintaan atau perintah khalifah pada masanya. Berbeda dengan kitab At-Targhib wa Al-Tarhib yang penulisannya dilatar belakangi oleh permintaan para santri Al-Mundziri. Al-Mundziri diminta oleh para santrinya yang begitu perhatian terhadap ilmu agama untuk menulis sebuah karya yang mencakup aspek-aspek al-Targhib dan al-Tarhib yang berasal dari hadis-hadis Nabi Saw tanpa perlu berpanjang-panjang dalam menuliskan sanad dan pembahasan kritiknya. Setelah berikhtiar kepada Allah Swt seraya meyakini bahwa permintaan para santrinya tersebut memang tulus, maka ia pun menulis al-Targhib wa al-Tarhib yang ia nilai dengan ungkapan; صغير الحجم غزير العلم kecil namun dengan limpahan ilmu”.
Kitab At-Targhib wa At-Tarhib merupakan sebuah kitab yang terdiri dari hadist-hadist Nabi Saw mengenai hal-hal yang layak diperoleh dan patut diamalkan oleh seorang muslim serta konsekuensi baiknya. Hadis-hadis semacam ini masuk pada kategori Targhib (ترغيب). Pada sisi lain kitab ini juga memuat hadis-hadis yang menjelaskan hal-hal yang patut dijauhi oleh seorang muslim serta konsekuensi tidak baiknya bila didekati atau dilakukan. Hadis-hadis semacam ini masuk pada kategori Tarhib (ترهيب). Dua kata ini yakni al-Targhib dan al-Tarhib dapat kita temukan contohnya pada pendahuluan kitab ini. Al-Mundziri menuliskan; إن ربك فعال لما يريد، ورغّب في ثوابه ورهّب من عقابه sesungguhnya Tuhanmu benar-benar melakukan apa saja yang Dia kehendaki, dan Dia menyukai (jika hamba-Nya mengharapkan) pahala dari-Nya. Sebaliknya Dia mengantisipasi (hamba-Nya) dari hukuman-Nya”.
Kitab At-Targhib wa At-Tarhib adalah kitab yang membicarakan janji-janji Allah terhadap orang yang taat kepadanya, dan ancaman-ancaman Allah terhadap orang yang tidak taat kepadanya. Al-Mundziri dalam kitab ini berusaha menjelaskan kepada umat Islam seberapa penting beribadah yang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam hadist. Untuk itu pada kitab ini menjelaskan keutamaan-keutamaan perbuatan dengan memberikan penghargaan bagi yang taat pada ajaran syariat dan memberi hukuman bagi yang melanggar ajaran syariat Islam.
Keberadaan kitab ini juga hampir memiliki sub-tema dalam bahasan kitab Az-Zawajir karangan Abdul Wahab As-Sy’roni dan kitab Ihya Ulumuddin karamgan Imam Ghazali. Dan juga pada isi kitab yang merupakan sangat baik untuk membangkitkan gairah dalam berperilaku yang baik dan tertib.
Dari uraian di atas, lebih jauh lagi untuk mengetahui gambaran secara umum yang dikaji oleh kelompok dua ini, maka timbulah beberapa rumusan masalah.



B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah al-Mundziri itu?
2.      Bagaimana sistematika penulisan kitab at-Targhib wa Tarhib?
3.      Bagaimana kualitas hadist dalam kitab at-Targhib wa Tarhib?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui al-Mundziri lebih dekat.
2.      Untuk mengetahui sistematika penulisan kitab at-Targhib wa Tarhib?
3.      Untuk mengetahui kualitas hadist dalam kitab at-Targhib wa Tarhib?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi al-Mundziri

Nama lengkap beliau adalah Abdul Azhim bin Abul Qawi bin Abdullah bin Salamah bin Sa’ad al-Mundziri. Dilahirkan di daerah Ghurrah pada bulan Sya’ban 581 H. Seorang ahli hadist yang hebat, bahkan mendapat predikat al-Hafizh al-Kabir, seorang penghapal hadist yang ulung, bermazhab Syafi’ie dalam bidang fikih. Beliau juga digelari dengan Zakiyuddin—yang memiliki agama yang bersih.

a.      Guru-guru al-Mundziri:

1.      Abu Abdullah Muhammad bin Hamd al-Artahi, beliau adalah guru beliau yang paling pertama.
2.      Al-Imam Abu al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad al-Qurasyi bin al-Warraq.
3.      Umar bin Thabarzadz, beliau adalah guru al-Mundziri yang paling tinggi.
4.      Abul Mujib bin Zuhair.
5.      Muhammad bin Sa’id al-Ma’muni
6.      Al-Muthahhar bin Abu Bakar al-Baihaqi
7.      Rabi’ah al-Yumni
8.      Al-Hafizh al-Kabir Ali bin Mufadhdhal al-Maqdisi.
Di samping itu beliau juga sempat belajar pada ulama-ulama kota Mekkah, di antaranya Abu Abdullah bin al-Banna’, Yunus bin Yahya al-Hasyimi dan ulama-ulama lain semasa beliau.
Di kota Damaskus, al-Mundziri berguru pada Umar bin Thabarzadz, Muhammad bin Wahab bin az-Zanf, al-Khadr bin Kamil, Abu al-Yaman al-Kindi, dan lain-lain. beliau juga diketahui pernah bertualang menuntut ilmu ke kota Harran, Ruha, Iskandariyah dan kota-kota lainnya.





b.      Karya-karya al-Mundziri:

1.      Mukhtashar Shahih Muslim.
2.      Mukhtashar Sunan Abu Dawud, yang beliau sertakan dengan membahas para rawi yang terdapat di dalamnya, bahkan mentakhrij hadist-hadist di dalamnya dengan menisbahkan kepada Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
3.      Beliau juga menulis Syarah yang besar terhadap at-Tanbih, kitab fikih yang merupakan tujukan penting yang sarat faidah.
4.      Al-Mu’jam
5.      Al-Muwafaqat, dan lain-lain.

c.       Murid-murid al-Mundziri

1.      Abul Hasan al-Yunini
2.      Al-Hafizh Abu Muhammad ad-Dimyathi.
3.      Imam Taqiyuddin, Ibnu Daqiq al-Id
4.      Muhammad al-Qazzaz.
5.      Al-Fakhr bin Asakir
6.      Alamuddin ad-Dawadari
7.      Al-Husain bin Asad bin al-Atsir
8.      Asy-Syarif Izzudin, dan lain-lain.

d.      al-Mundziri dalam Kenangan Para Ulama

al-Hafidz adz-Dzahabi berkata, “al-Mundziri adalah seorang Imam al-Allamah al-Hafizh al-Muhaqqiq, Syaikhul Islam, (yang digelari dengan) Zakiyuddin.”
Asy-Syarif Izzuddin berkata, “Guru kami Zakiyuddin (al-Mundziri) adalah yang alim tentang hadist yang shahih dan yang dha’if, yang memiliki illat dan jalan-jalan periwayatan hadist. Beliau memiliki ilmu yang luas dengan hukum-hukum hadist, makna-makna, dan berbagai permasalahan pelik dalam ilmu hadist. Beliau adalah seorang imam hujjah.” Al-Mundziri pun wafat menghadap Allah swt. pada 4 Dzulqa’dah 656 H. dan pada tahun itu Amirul Mukminin, al-Mu’tashim Billah juga wafat, bersama putra-putra beliau dan juga menteri serta banyak tokoh kaum muslim saat itu. Itu semua karena terjadinya fitnah hebat yang dilakukan tentara tartar terhadap ibu kota kaum muslimin kala itu, Baghdad, yang dikobarkan oleh api fitnah dari golongan syi’ah terhadap ulama-ulama AhlusSunnah dan khalifah kaum Muslimin ketika itu.[1]




B.     Sistematika at-Targhib wa Tarhib

Bab
No. Hadis
الاخلص
1-99
كتاب العلم
100-242
 كتاب الطهارة
243-360
كتاب الصلاة
361-845
كتاب النوافل
846-1032
كتاب الجمعة
1033-1112
كتاب الصد قات
1113-1461
كتاب الصوم
1462-1676
كتاب العدىن و الضحىة
1677-1701
كتاب الحج
1702-1920
كتاب الجهاد
1921-2204
كتاب قراءة القران
2205-2306
كتاب الدكر و الدعاء
2307-2618
كتاب البيوع و غيرها
2619-2953
كتاب النكاحومابتعلق به
2954-3117
كتاب اللبا س والزينة
3118-3236
كتاب الطعاموغيره
3237-3320
كتاب القضاءوغيره
3321-3517
كتاب الحدودوغيرهما
3518-3768
كتاب والصلة و غير هما
3769-4009
كتاب الأدبوغيره
4010-4711
كتاب التوبت و الزهد
4712-5087
كتاب الجنائزومايتقدمها
5089-5707

Contoh Hadis:
Bahwa hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab at-Targhib wa Tarhib ini Imam Hafidz al-Mundziri mencantumkan takhrij hadisnya, seperti dalam hadis no.100 pada bab  kitab al-‘ilmi:
من يرد الله به خيرا يفقه في الدين
Artinya: Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya niscaya dia memahamkannya dalam agama.
Takhrij dari hadis tersebut yakni bahwa hadis tersebut juga ditemukan dalam riwayat lain, diantaranya: Dalam riwayat Bukhari (71), Muslim (1037), Ibn Majjah (221), adapun dalam riwayat Abu Ya’la (7343) matan hadis ada tambahan lafadz ومن  لم يفقهه  لم يبال به .
Kemudian, dalam contoh hadis lain, Imam Hafidz al-Mundziri juga menjelaskan kosa kata hadis yang dirasa perlu penjabaran. Seperti yang tercantum dalam hadis no.243 pada kitab Thaharah:
اتقوا اللاعنين قالو وما اللاعنان يارسول الله؟ قال الذي يتخلى في طرق الناس او في ظلمهم
Artinya : “Jauhilah dua penyebab laknat”, Mereka bertanya “apa itu dua penyebab laknat ya Ras’ulullah?”, Rasul menjawab “Orang yang buang hajat dijalan manusia atau tempat berteduh mereka.
Adapun penjelasan kata اللاعنين adalah dua perkara yang mendatangkan laknat, hal itu karena siapa yang melakukannya akan dilaknat dan dicaci karena keduanya adalah pemicu, maka perbuatan ini didasarkan pada keduanya, seolah-olah keduanya adalah pelaknat.

C.    Kualitas Hadist at-Targhib wa Tarhib menurut para ulama
Bukan suatu yang samar bagi siapa pun di kalangan ahli ilmu bahwa kitab at-Targhib wa at-Tarhib merupakan  salah satu kitab yang paling komplit dam bermanfaat di bidangnya. Ia mencakup atau hampir mencakup semua hadis tentang keutamaan dan anacaman beramal yang berserakan di lembaran-lembaran Kutub as-Sittah dan lain-lain dalam berbagai bidang syaria’ah yang suci seperti ilmu, shalat, jual beli dan muamalat, adab dan akhlak, zuhud, sifat surga dan neraka dan lain-lain yang sangat diperlukan oleh setiap pendidik atau pemberi nasehat, khatib, atau guru. Al-Hafizh al-Mundziri sangat memperhatikan takhrij hadis-hadis dan penisbatannya kepada sumber-sumbernya dalam kitab-kitab sunnah yang dipercya dan beliau menulis dan menyusunya dengan sangat baik.
Salah satu keutaman kitab ini menurus syaikh nasiruddin al-albani adalah perhatian penulisnya dalam menjelaskan derajat hadis, apakah hadis itu shahih atau doif dengan kata-kata singkat dan isyarat yang jelas, sebagaimana perkataan al-Mundziri dalam mukadimah kitab nya “kemudian saya menunjukkan apakah sanadnya shahih, hasan atau dhaif.[2]
Dari pernyataan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa hadai-hadis yang ada dalam kitab ini kualitas nya selalu dijelaskan oleh penulis derajat nya sehingga memudahkan pembaca mengetahui derajat hadis-hadist tersebut, ini adalah faidah yang penting dan  berharga, karena jarang kita menemui dalam kitab-kitab hadis dimana penulisnya hanya mengumpulkan hadis-hadis dan mentakhrijnya tanpa memberi perhatian terhadap penjelasan tentang keshahihannya atau kelemahannya, menguak ilat-ilatnya atau minimal membatasi hanya pada hadis-hadis sahih saja, sebagiamana metode yang digunakan oleh penulis kitab-kitab hadis terdahulu.
Tidak diragukan bahwa al-hafiz al-munziri termasuk dalam deretan ulama-ulama terpercaya, bahkan sebagaimana dikatakan oleh adz-zahabi, “tidak tertandingi dalam ilmu hadis denagn bebagai cabang nya, dia mengetahui shahih hadist,dahai’ifnya dan jalan-jalan periwayatannya”.[3] Oleh karena itu dalam kitab nya targhib wa tarhib, beliu secara konsisten membedakan antara hadis shahih dan dhaif.
Beliau menjelaskan dalam mukaddimah kitabnya istilah beliau dalam membedakan sahih dan dhaif, yaitu:
A.    Jika sanad hadis itu shahih atau hasan atau mendekati keduanya, maka membuka nya dengan kata (‘an- dari) begitu pula jika hadist itu :
a.      Mursal
b.      Atau munqati’
c.        Atau mu’dal
d.       Atau pada sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal
e.       Atau dhaif yang dikatakan Tsiqah
f.       Atau Tsiqah yang di dahaifkan, sementar rawi-rawi yang lain Tsiqah
g.      Atau pada diri mereka terdapat kritik yang tidak berpengaruh
h.      Atau diriwayatkan secara marfu’ padahal yang sahih adalah mauquf
i.        Atau muttasil padahal yang benar adalah mursal
j.        Atau sanadnya daif, akan tetapi ia dishahihkan atau dihasankan oleh sebagian yang mentakhrijnya, dia berkata saya memulai dengan عن-dari kemudian saya menunjukkan nya mursal atau munqati’ atau mu’dalnya atau rawi yang di perselisihkan, maka saya katakan,”diriwayatkan oelh fulan dari riwayat fulan atau dari jalan fulan, atau pada sanadnya terdapat fulan atau ungkapan-unkapan seperti ini, dan terkadang saya tidak menyebutkan rawi yang diperselisihkan maka apabila para rawinya adalah orang-orang yang terpercaya (tsiqah) dan diantara mereka ada yang diperselisihkan, saya katakan, “sanadnya hasan”, mustaqim (lurus) atau tidak maslah dan ungkapan-ungkapn seperti itu sesuai dengan tuntunman kondisi sanad matan dan banyaknya syahid.
B.     Apabila di dalam sanad hadist bersangkutan terdapat rawi yang dinyatakan :
1.      Kadzdzab” (pendusta besar) atau “wadhdha’” (pembuat hadis palsu).
2.      Atau “Muttaham” (tertuduh berdusta), atau “Mujma’Ala Tarkihi” (Disepakati untuk di tinggalkan hadistnya), atau “mujma’ Ala Da’fihi” (disepakati kelemahannya) atauDzahib al-hadits” (hadis nya lenyap), atau Halik (binasa), atau saqith(tidak berharga) atau “laisa bisyai” (sama sekali tidak ada apa-apa nya), atau Dha’if jiddan (Lemah sekali).
Atau “Dha’if” (lemah) saja, atau “Lam Ara fihi Tautsiqan” (akau tidak melihat ada yang menyatakan siqah), dimana tidak ada peluang untuk dinyatakan hasan, maka saya (al-munziri) membuka nya dengan (Ruwiya- diriwayatkan) dan saya tidak menyebutkan rawi nya dan tidak pula apa yang diktakan tentangnya sama sekali. Jadi sanad da’if  memiliki dua petunjuk, pertama dimulai dengan lafaz ruwiya dan dibiarkan begitu saja tanpa komemtar di akhirnya.[4]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Nama lengkap beliau adalah Abdul Azhim bin Abul Qawi bin Abdullah bin Salamah bin Sa’ad al-Mundziri. Dilahirkan di daerah Ghurrah pada bulan Sya’ban 581 H. Seorang ahli hadist yang hebat, bahkan mendapat predikat al-Hafizh al-Kabir, seorang penghapal hadist yang ulung, bermazhab Syafi’ie dalam bidang fikih. Beliau juga digelari dengan Zakiyuddin—yang memiliki agama yang bersih. Kitab yang disusun dengan 23 Bab yang dalam setiap babnya terdapat anjuran dan ancamannya. Adapun berbicara kualitas hadist, maka tidak diragukan bahwa al-hafiz al-munziri termasuk dalam deretan ulama-ulama terpercaya, bahkan sebagaimana dikatakan oleh adz-zahabi, “tidak tertandingi dalam ilmu hadis denagn bebagai cabang nya, dia mengetahui shahih hadist,dahai’ifnya dan jalan-jalan periwayatannya”.[5] Oleh karena itu dalam kitab nya at-Targhib wa Tarhib, beliau secara konsisten membedakan antara hadis shahih dan dhaif.

B.     Daftar Pustaka
Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. 2012. Shahih at Targib wa at-Tarhib. Riyadh:
Maktabah al-Maarif.
Tazkirat al-Huffazh. Bab 4.
Al-Hafizh al-Mundziri.pdf at-Targhib wa Tarhib.
Tazkirat al-Huffazh. Bab 4.

C.    Lampiran

Mukaddimah Cetakan Pertama Nashiruddin al-Albani dalam shahih at-Targhib wa Tarhib
A.    Pujian terhadap al-Mundziri
Tak tanggung menanggung, Nashiruddin al-Albani dalam mukaddimah pertamanya dalam menahqiq kitab targhib wa tarhib karya al-Mundziri dituainya dengan pujian. Ia mengatakan dan mengakui kitab targhib wa tarhib sebagai kitab yang berkualitas dan sangat berharga.
“bukan sesuatu yang samar bagi siapa pun di kalangan ahli ilmu bahwa kitab at-Targhib wa Tarhib karya al-Hafiz Zakiyuddin Abdul ‘Azhim bin Abdul Qawi al-Mundziri adalah termasuk kitab yang paling komplit dan paling bermanfaat di bidangnya.”[6]
Sementara itu, al-Albani mengatakan bahwa kitab ini termasuk kitab yang istimewa, sebab di dalamnya al-Mundziri berusaha membedakan hadist kuat dari hadist lemah, sebagaimana hal itu dia katakana secara terbuka di mukaddimah. “Kemudian saya menunjukkan apakah sanadnya shahih atau hasan atau dha’if dan sebagainya.” Jarang kiranya ada penulis kitab (saat itu) yang mengumpulkan hadist-hadist dan mentakhrijnya tanpa memberi perhatian terhadap penjelasan tentang keshahihannya atau kelemahannya, menguak illat-illatnya atau minimal membatasi hanya pada hadist-hadist shahih saja sebagaimana hal itu menjadi kewajiban dalam kondisi ini; di mana itu menjadi metode para penulis kitab-kitab shahih dan lain-lainnya seperti asy-Syaikhain, dan al-Albani mengategorikan al-Mundziri sebagai orang-orang yang istimewa posisinya berdasarkan perhatiannya di dalam memperlakukan hadist-hadistnya. Al-Mundziri, selaku pengarang kitab at-Targhib wa Tarhib, termasuk dalam deretan ulama-ulama yang terpercaya, sebagaimana menurut adz-Dzahabi, “Tidak tertandingi dalam ilmu hadist dengan berbagai cabangnya, dia mengetahui shahih hadist, dha’ifnya, illatnya dan jalan-jalan periwayatannya.”[7]
B.     Cara al-Mundziri membedakan hadist shahih dan dha’if
Al-Mundziri memang termasuk orang yang konsisten dalam membedakan antara hadist shahih dan dha’if, hanya saja al-Albani menilai bahwa di dalam kitabnya ini banyak ketidak jelasan dalam membedakan antara yang shahih dan dha’if sehingga manfaat yang diinginkan oleh al-Mundziri terasa minim bahkan lenyap.
Al-Mundziri berkata dalam mukaddimah kitabnya, menjelaskan istilah yang membedakan yang shahih dan yang dha’if yang telah diisyaratkan. Bahwa jika sanad hadist itu shahih atau hasan atau mendekati keduanya, maka al-Mundziri membukanya dengan عَن (dari), adapun penilaian al-Albani, begitu pula jika hadist itu mursal, munqathi’, mu’dhal, hadist yang sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal, dha’if yang dinyatakan tsiqah atau tsiqah yang didha’ifkan sementara rawi-rawi lainnya tsiqah, atau pada diri perawi terdapat kritik yang tidak berpengaruh, atau diriwayatkan secara marfu’, padahal yang shahih adalah mauquf, atau hadist muttashil padahal yang benar adalah mursal, atau bahkan sanadnya dhaif, akan tetapi hadist bersangkutan dishahihkan atau dihasankan oleh sebagian pentakhrijnya, al-Mundziri berkata, “Saya memulainya dengan عن (dari) kemudian saya menunjukkan mursalnya atau inqitha’nya atau mu’dhalnya atau rawi itu diperselisihkan,” maka al-Albani katakan, “Diriwayatkan oleh fulan dari riwayat fulan atau dari jalan fulan,” atau pada sanadnya terdapat fulan,” atau ungkapan-ungkapan seperti ini, dan terkadang saya tidak menyebutkan rawi yang diperselisihkan maka apabila para rawinya adalah orang-orang yang terpercaya (tsiqah) dan di antara mereka ada yang diperselisihkan, saya katakan, “Sanadnya hasan”, ungkapan-ungkapan seperti itu sesuai dengan tuntutan kondisi sanad matan dan banyaknya syahid. Itu artinya, al-Albani dengan kapabilitasnya melakukan cross-check hadist lewat jalur sanad lain atas sebuah hadist yang didapatinya. Demikianlah apa yang dilakukan al-Albani dengan kualitasnya yang ternyata menemukan beragam ketimpangan di dalam pengkategorian yang dilakukan oleh al-Mundziri.
Adapun jika di dalam sanad hadist bersangkutan terdapat rawi yang dinyatakan “Kadzdzab” (pendusta besar) atau “Wadhdha” (pembuat hadist palsu). Atau “Muttaham” (tertuduh berdusta), atau “Mujma’ ala tarkihi” (disepakati untuk ditinggalkan hadistnya), atau “Mujma’ ala dha’fihi” (disepakati kelemahannya), atau “Dzahib al-Hadist” (hadistnya lenyap), atau “Halik” (binasa), atau “Saqith” (tidak berharga), atau “Laisa Bisyai’” (sama sekali tidak ada apa-apanya), atau “Dha’if Jiddan” (lemah sekali). Atau “Dha’if” (lemah) saja, atau “Lam Ara fihi tautsiqan” (aku melihat ada yang menyatakannya tsiqah), di mana tidak ada peluang untuk dinyatakan hasan; maka al-Mundziri membukanya dengan روي (diriwayatkan) dan saya tidak menyebutkan rawinya dan tidak pula apa yang dikatakan tentangnya sama sekali. Jadi sanad yang dha’if memiliki dua petunjuk: dimulainya ia dengan روي dan dibiarkan begitu saja tanpa komentar di akhirnya.[8]
Secara sederhana:
1.      Yang diawali dengan عَن yang mengisyaratkan ia kuat.
2.      Yang diawali dengan روي yang mengisyaratkan ia lemah.
Selanjutnya, maka al-Mundziri memasukkan tiga macam hadist ke bagian pertama, yaitu: shahih, hasan, dan yang mendekati keduanya. Kemudian dia memasukkan ke bagian kedua tiga macam hadist juga yaitu: dha’if, dha’if sekali dan maudhu. Kemudian al-Albani pun menilai bahwa pembagian tersebut membingungkan dan tak bisa dipahami, lebih dari itu penilaiannya, itu akan membuat pembaca tersesat jalan di antara  ketiga macam hadist dalam masing-masing dari dua bagian tersebut, dia tidak mengetahui macam yang mana yang dimaksud.
B.1. Komentar al-Albani terkait bagian pertama
Kemudian al-Albani pun mengomentari dengan tiga argumen:
1.      Para pembaca tidak mungkin mengenal derajat hadist apakah ia shahih atau hasan atau mendekati keduanya hanya dengan dibukanya hadist dengan عَن. Ini jelas dan tidak samar.
2.      Al-Albani menilai al-Mundziri membuat kategori baru, disamping hadist shahih, dha’if dan hasan. Yakni hadist yang mendekati shahih dan hasan sekaligus. Padahal yang dikenal adalah hasan yang mendekati shahih dan dha’if mendekati hasan. Maka makna hal ini dipahami sebagai hadist dha’if yang tingkat kelemahannya tidak parah, yang bisa dicalonkan untuk diangkat ke derajat hasan jika rawinya yang dha’if memiliki orang lain yang ikut meriwayatkannya (mutabi’) atau hadistnya memiliki syahid penguat yang dapat diterima. Lantas, mengapa kategori ini tidak dimasukkan pada kategori yang diawali dengan روي? Seperti al-Mundziri melakukan kontradiksi manakala membuka hadist no. 185 dengan عَن dan al-Mundziri mengatakan “sanadnya mungkin untuk dihasankan.”
3.      Al-Mundziri memasukkan hadist yang menurut ulama hadist adalah dha’if seperti mursal dan sepuluh macam lainnya yang digabungkan bersamanya.
Terkait bagian pertama, sebagai contoh yang bisa dilihat pada hadist no. 2 dari Dha’if at-Targhib, al-Mundziri mengawali hadist dengan عَن, walaupun begitu dia berkata pada takhrijnya, “Diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalan Ubaidillah bin Zahr, dia berkata, ‘sanadnya shahih’. Begitulah yang dia katakan. Sementara Ubaidillah bin Zahr terkenal dengan kelemahannya, oleh karena itu al-Mundziri mengisyaratkan kritiknya kepada al-Hakim tentang tashhihnya terhadap hadist tersebut, walaupun begitu al-Mundziri tetap membuka hadist dengan عَن. Maka, al-Albani mengomentari sikap al-Mundziri sebagai taklid kepada orang-orang yang longgar dalam urusan tashhih padahal terkadang al-Mundziri mengkritik mereka.[9]
            B.2 Komentar al-Albani terkait bagian kedua
Di antara macam-macam hadist dha’if, al-Mundziri tidak membedakan di antaranya di dalam kitab at-Targhib wa Tarhib. Padahal dalam ungkapan al-Mundziri, ia membedakan hadist dha’if:
1.      Maudhu’ (palsu), ini bentuk terburuk. Isyarat kepadanya dengan ucapannya, “Jika pada sanadnya terdapat orang yang divonis, ‘kadzdzab’ (pendusta) atau wadhdha’ (pembuat hadist palsu)”.
2.      Dha’if jiddan (lemah sekali). Ini diisyaratkan oleh ucapannya, “atau tertuduh, atau telah disepakati untuk ditinggalkan, atau disepakati bahwa ia dha’if, atau hadistnya lenyap atau celaka atau bukan apa-apa atau lemah sekali.”
3.      Dha’if (lemah) yaitu hadist yang pada sanadnya terdapat rawi yang keadaannya lebih baik dari keadaan rawi sebelumnya. Al-Mundziri mengisyaratkannya dengan ucapannya, “Atau dha’if saja” atau “Saya tidak melihat ada yang mentsiqahkannya.”
Kemudian al-Albani pun mengomentarinya. Bahwa akibat dengan tidak adanya pembedaan seperti yang disebutkan, setidaknya ada dua dampak:
1.      Bisa jadi hadistnya termasuk maudhu atau lemah sekali. Lalu sebagian pembaca menemukan hadist syahid untuknya, maka dia menyangka hadist itu menjadi kuat dengannya padahal sebenarnya tidak demikian, sebab ia sangat lemah atau maudhu’. Seandaninya al-Mundziri menjelaskan hal ini, niscaya pembaca tidak kesulitan dan terjatuh kepada kesalahan.
2.      Hadist bisa jadi diamalkan, padahal hadist yang bersangkutan maudhu’.[10]

C.    Mengapa harus ada pengetatatan?
Bila ada pertanyaan, mengapa perlu adanya perincian dan pengetatan seperti ini dalam meriwayatkan hadist dha’if, padahal al-Mundziri telah mengatakan di dalam muqaddimah kitabnya, “Bahwa para ulama membolehkan bersikap longgar dalam masalah anjuran (targhib) dan ancaman (tarhib), bahkan banyak di antara mereka yang menyebutkan hadist maudhu’ tanpa menjelaskan keadaannya.”[11]
Maka al-Albani mengkritisi sikap longgar para ulama yang dijadikan landasan al-Mundziri dalam memaparkan hadistnya. Barangkali, al-Mundziri mensalah-artikan sikap longgar para ulama menyikapi hadist, terutama dha’if.
Sikap longgar ulama dimaksudkan adalah dengan menyebutkan hadist dengan sanadnya.sebab dengan cara itulah para ulama dahulu menjaga keutuhan as-Sunnah dan hadist-hadistnya. Sebab dengan begitu akan memberikan stimulus bagi pembaca untuk meneliti sanad hadist. Maka makna kelonggaran itulah dengan menyebutkan sanad seharusnya al-Mundziri memaknakan kelonggaran ulama yang dimaksud.[12] Sebab dengan mencantumkan sanad hadist, maka dia telah terbebas dari tanggung jawab dan tidak bisa disalahkan, karena dia telah memberikan cara kepadamu yang dengan cara itu orang yang berilmu dalam bidang ini bisa mengetahui keadaan hadist dari sisi keshahihan dan kedha’ifannya, lain halnya dengan yang membuang sanad dan tidak menyinggung keadaannya sedikitpun, maka dia telah menyembunyikan sesuatu yang semestinya disampaikan. Sebab dengan tidak dijelaskan hal itu, al-Albani berpendapat dengan mendiamkan hadist dha’if hal itu menjadi pemicu yang kuat yang mendorong orang-orang melakukan bid’ah di dalam agama.
D.    Sebab Banyak Kekeliruan al-Mundziri dalam at-Targhib
Petunjuk itu adalah ucapan dari al-Mundziri sendiri, “Waktunya yang sempit, persoalan-persoalannya yang datang dan pergi, pikirannya yang sibuk, dan kitab-kitabnya yang tidak bersama (nya).
Yang terpenting adalah kitab-kitabnya yang tidak bersamanya. Ini berarti dia dalam menyusun kitabnya ini hanya mengandalkan hafalannya.
E.     Kekeliruan Penting al-Mundziri secara Global

1.      Al-Mundziri mengawali hadist-hadist dha’if dengan “dari” عن. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 161.
2.      Kontradiksi al-Mundziri dalam menerapkan istilahnya. Misalnya dia menurunkan hadist-hadist dengan ucapan “Dari” padahal sanadnya terdapat Baqiyyah bin al-Walid yang dikenal rawi mudallis terkenal. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 185, 7, 320, 377.
3.      Riwayat-riwayat di mana dia tidak mengawalinya dengan sesuatu yang menunjukkan keadaannya padahal di antaranya terdapat yang shahih, dha’if, dan maudhu’. Al-Mundziri menurunkan riwayat-riwayat tanpa diawali dengan “Dari” atau “Diriwayatkan”. Hal ini menyelisihi istilahnya sendiri. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 189, 415, 417, 645.
4.      Riwayat-riwayat Tambahan atas hadist-hadist Shahih yang terkesan shahih padahal sebenarnya Dha’if, Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 230, 232, 267.
5.      Sikap longgar dalam menshahihkan secara jelas hadist-hadist Dha’if. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 116, 118, 119.
6.      Mendha’ifkan hadist-hadist yang dikiranya lemah padahal ia kuat. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 72, 91, 110, 114, 188, 203. Dan lain-lain yang menurut al-Albani terdapat 11 kekeliruan secara global.



[1] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. v – viii.
[2]Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 37.
[3] Tazkirat al-Huffazh. Bab 4, hlm. 271
[4]Al-Hafizh al-Mundziri.pdf at-Targhib wa Tarhib, hlm. 24
[5] Tazkirat al-Huffazh. Bab 4, hlm. 271
[6] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 36
[7] Lihat Tadzkirat al-Huffadz (4/271), lihat halaman 40.
[8] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 42.
[9] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 44 – 45.
[10] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 47.
[11] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 50.
[12] Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh: Maktabah al-Maarif , 2012), hlm 50.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Ulumul Qur'an | Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits

contoh hasil penelitian ilmu rijal al-hadis