makalah al-Targhib dan al-Tarhib
al-Targhib wa al-Tarhib
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Pengantar
Hampir serupa kitab Al-Mujtaba
karya Imam An-Nasa’i dan kitab Al-Insyaf karya Al-Baqillani yang
penulisannya dilatar belakangi oleh permintaan atau perintah khalifah pada
masanya. Berbeda dengan kitab At-Targhib wa Al-Tarhib yang penulisannya
dilatar belakangi oleh permintaan para santri Al-Mundziri. Al-Mundziri diminta oleh para santrinya yang begitu perhatian terhadap
ilmu agama untuk menulis sebuah karya yang mencakup aspek-aspek al-Targhib dan al-Tarhib yang
berasal dari hadis-hadis Nabi Saw tanpa perlu berpanjang-panjang dalam
menuliskan sanad dan pembahasan kritiknya. Setelah berikhtiar kepada Allah Swt
seraya meyakini bahwa permintaan para santrinya tersebut memang tulus, maka ia
pun menulis al-Targhib wa al-Tarhib yang ia nilai dengan
ungkapan; صغير الحجم غزير العلم “kecil
namun dengan limpahan ilmu”.
Kitab
At-Targhib wa At-Tarhib merupakan sebuah kitab yang terdiri dari hadist-hadist Nabi Saw mengenai hal-hal yang layak diperoleh dan
patut diamalkan oleh seorang muslim serta konsekuensi baiknya. Hadis-hadis
semacam ini masuk pada kategori Targhib (ترغيب). Pada sisi lain kitab ini juga memuat hadis-hadis yang
menjelaskan hal-hal yang patut dijauhi oleh seorang muslim serta konsekuensi
tidak baiknya bila didekati atau dilakukan. Hadis-hadis semacam ini masuk pada
kategori Tarhib (ترهيب).
Dua kata ini yakni al-Targhib dan al-Tarhib dapat
kita temukan contohnya pada pendahuluan kitab ini. Al-Mundziri
menuliskan; إن ربك فعال لما يريد، ورغّب في
ثوابه ورهّب من عقابه “sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar melakukan apa saja yang Dia kehendaki, dan Dia menyukai (jika
hamba-Nya mengharapkan) pahala dari-Nya. Sebaliknya Dia mengantisipasi
(hamba-Nya) dari hukuman-Nya”.
Kitab
At-Targhib wa At-Tarhib adalah kitab yang membicarakan janji-janji Allah
terhadap orang yang taat kepadanya, dan ancaman-ancaman Allah terhadap orang
yang tidak taat kepadanya. Al-Mundziri dalam kitab ini berusaha menjelaskan
kepada umat Islam seberapa penting beribadah yang sesuai dengan ketentuan yang
ada dalam hadist. Untuk itu pada kitab ini menjelaskan keutamaan-keutamaan
perbuatan dengan memberikan penghargaan bagi yang taat pada ajaran syariat dan
memberi hukuman bagi yang melanggar ajaran syariat Islam.
Keberadaan
kitab ini juga hampir memiliki sub-tema dalam bahasan kitab Az-Zawajir
karangan Abdul Wahab As-Sy’roni dan kitab Ihya Ulumuddin karamgan Imam
Ghazali. Dan juga pada isi kitab yang merupakan sangat baik untuk membangkitkan
gairah dalam berperilaku yang baik dan tertib.
Dari uraian
di atas, lebih jauh lagi untuk mengetahui gambaran secara umum yang dikaji oleh
kelompok dua ini, maka timbulah beberapa rumusan masalah.
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah al-Mundziri itu?
2. Bagaimana sistematika penulisan kitab at-Targhib wa Tarhib?
3. Bagaimana kualitas hadist dalam kitab at-Targhib wa Tarhib?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui al-Mundziri lebih dekat.
2. Untuk
mengetahui sistematika penulisan kitab at-Targhib wa Tarhib?
3. Untuk
mengetahui kualitas hadist dalam kitab at-Targhib wa Tarhib?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Biografi al-Mundziri
Nama
lengkap beliau adalah Abdul Azhim bin Abul Qawi bin Abdullah bin Salamah bin
Sa’ad al-Mundziri. Dilahirkan di daerah Ghurrah pada bulan Sya’ban 581 H.
Seorang ahli hadist yang hebat, bahkan mendapat predikat al-Hafizh al-Kabir,
seorang penghapal hadist yang ulung, bermazhab Syafi’ie dalam bidang fikih.
Beliau juga digelari dengan Zakiyuddin—yang memiliki agama yang bersih.
a.
Guru-guru
al-Mundziri:
1. Abu Abdullah Muhammad bin Hamd al-Artahi, beliau adalah guru beliau yang
paling pertama.
2. Al-Imam Abu al-Qasim Abdurrahman bin Muhammad al-Qurasyi bin al-Warraq.
3. Umar bin Thabarzadz, beliau adalah guru al-Mundziri yang paling tinggi.
4. Abul Mujib bin Zuhair.
5. Muhammad bin Sa’id al-Ma’muni
6. Al-Muthahhar bin Abu Bakar al-Baihaqi
7. Rabi’ah al-Yumni
8. Al-Hafizh al-Kabir Ali bin Mufadhdhal al-Maqdisi.
Di samping
itu beliau juga sempat belajar pada ulama-ulama kota Mekkah, di antaranya Abu
Abdullah bin al-Banna’, Yunus bin Yahya al-Hasyimi dan ulama-ulama lain semasa
beliau.
Di kota
Damaskus, al-Mundziri berguru pada Umar bin Thabarzadz, Muhammad bin Wahab bin
az-Zanf, al-Khadr bin Kamil, Abu al-Yaman al-Kindi, dan lain-lain. beliau juga diketahui
pernah bertualang menuntut ilmu ke kota Harran, Ruha, Iskandariyah dan
kota-kota lainnya.
b.
Karya-karya al-Mundziri:
1. Mukhtashar Shahih Muslim.
2. Mukhtashar Sunan Abu Dawud, yang beliau sertakan
dengan membahas para rawi yang terdapat di dalamnya, bahkan mentakhrij
hadist-hadist di dalamnya dengan menisbahkan kepada Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim.
3. Beliau juga menulis Syarah yang besar terhadap at-Tanbih, kitab
fikih yang merupakan tujukan penting yang sarat faidah.
4. Al-Mu’jam
5. Al-Muwafaqat, dan lain-lain.
c. Murid-murid al-Mundziri
1. Abul Hasan al-Yunini
2. Al-Hafizh Abu Muhammad ad-Dimyathi.
3. Imam Taqiyuddin, Ibnu Daqiq al-Id
4. Muhammad al-Qazzaz.
5. Al-Fakhr bin Asakir
6. Alamuddin ad-Dawadari
7. Al-Husain bin Asad bin al-Atsir
8. Asy-Syarif Izzudin, dan lain-lain.
d. al-Mundziri dalam Kenangan Para Ulama
al-Hafidz
adz-Dzahabi berkata, “al-Mundziri adalah seorang Imam al-Allamah al-Hafizh
al-Muhaqqiq, Syaikhul Islam, (yang digelari dengan) Zakiyuddin.”
Asy-Syarif
Izzuddin berkata, “Guru kami Zakiyuddin (al-Mundziri) adalah yang alim
tentang hadist yang shahih dan yang dha’if, yang memiliki illat dan jalan-jalan
periwayatan hadist. Beliau memiliki ilmu yang luas dengan hukum-hukum hadist,
makna-makna, dan berbagai permasalahan pelik dalam ilmu hadist. Beliau adalah
seorang imam hujjah.” Al-Mundziri pun wafat menghadap Allah swt. pada 4
Dzulqa’dah 656 H. dan pada tahun itu Amirul Mukminin, al-Mu’tashim Billah juga
wafat, bersama putra-putra beliau dan juga menteri serta banyak tokoh kaum
muslim saat itu. Itu semua karena terjadinya fitnah hebat yang dilakukan
tentara tartar terhadap ibu kota kaum muslimin kala itu, Baghdad, yang
dikobarkan oleh api fitnah dari golongan syi’ah terhadap ulama-ulama
AhlusSunnah dan khalifah kaum Muslimin ketika itu.[1]
B. Sistematika at-Targhib wa Tarhib
Bab
|
No. Hadis
|
الاخلص
|
1-99
|
كتاب العلم
|
100-242
|
كتاب الطهارة
|
243-360
|
كتاب الصلاة
|
361-845
|
كتاب النوافل
|
846-1032
|
كتاب الجمعة
|
1033-1112
|
كتاب الصد
قات
|
1113-1461
|
كتاب الصوم
|
1462-1676
|
كتاب العدىن
و الضحىة
|
1677-1701
|
كتاب الحج
|
1702-1920
|
كتاب الجهاد
|
1921-2204
|
كتاب قراءة
القران
|
2205-2306
|
كتاب الدكر و
الدعاء
|
2307-2618
|
كتاب البيوع
و غيرها
|
2619-2953
|
كتاب
النكاحومابتعلق به
|
2954-3117
|
كتاب اللبا س
والزينة
|
3118-3236
|
كتاب
الطعاموغيره
|
3237-3320
|
كتاب
القضاءوغيره
|
3321-3517
|
كتاب الحدودوغيرهما
|
3518-3768
|
كتاب والصلة
و غير هما
|
3769-4009
|
كتاب
الأدبوغيره
|
4010-4711
|
كتاب التوبت
و الزهد
|
4712-5087
|
كتاب
الجنائزومايتقدمها
|
5089-5707
|
Contoh Hadis:
Bahwa hadist-hadist yang terhimpun dalam
kitab at-Targhib wa Tarhib ini Imam Hafidz al-Mundziri mencantumkan takhrij
hadisnya, seperti dalam hadis no.100 pada bab
kitab al-‘ilmi:
من يرد الله به
خيرا يفقه في الدين
Artinya: Barang
siapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya niscaya dia memahamkannya
dalam agama.
Takhrij dari hadis tersebut yakni
bahwa hadis tersebut juga ditemukan dalam riwayat lain, diantaranya: Dalam
riwayat Bukhari (71), Muslim (1037), Ibn Majjah (221), adapun dalam riwayat Abu
Ya’la (7343) matan hadis ada tambahan lafadz ومن
لم يفقهه لم يبال به .
Kemudian, dalam contoh hadis lain,
Imam Hafidz al-Mundziri juga menjelaskan kosa kata hadis yang dirasa perlu
penjabaran. Seperti yang tercantum dalam hadis no.243 pada kitab Thaharah:
اتقوا اللاعنين قالو وما اللاعنان
يارسول الله؟ قال الذي يتخلى في طرق الناس او في ظلمهم
Artinya : “Jauhilah dua penyebab
laknat”, Mereka bertanya “apa itu dua penyebab laknat ya Ras’ulullah?”, Rasul
menjawab “Orang yang buang hajat dijalan manusia atau tempat berteduh mereka.”
Adapun penjelasan kata اللاعنين
adalah dua perkara yang mendatangkan laknat, hal itu karena siapa yang
melakukannya akan dilaknat dan dicaci karena keduanya adalah pemicu, maka
perbuatan ini didasarkan pada keduanya, seolah-olah keduanya adalah pelaknat.
C. Kualitas Hadist at-Targhib wa Tarhib menurut para ulama
Bukan suatu yang samar bagi siapa
pun di kalangan ahli ilmu bahwa kitab at-Targhib wa at-Tarhib merupakan salah satu kitab yang paling komplit dam
bermanfaat di bidangnya. Ia mencakup atau hampir mencakup semua hadis tentang
keutamaan dan anacaman beramal yang berserakan di lembaran-lembaran Kutub
as-Sittah dan lain-lain
dalam berbagai bidang syaria’ah yang suci seperti ilmu, shalat, jual beli dan
muamalat, adab dan akhlak, zuhud, sifat surga dan neraka dan lain-lain yang
sangat diperlukan oleh setiap pendidik atau pemberi nasehat, khatib, atau guru.
Al-Hafizh al-Mundziri sangat memperhatikan takhrij hadis-hadis dan
penisbatannya kepada sumber-sumbernya dalam kitab-kitab sunnah yang dipercya
dan beliau menulis dan menyusunya dengan sangat baik.
Salah satu keutaman kitab ini
menurus syaikh nasiruddin al-albani adalah perhatian penulisnya dalam
menjelaskan derajat hadis, apakah hadis itu shahih atau doif dengan kata-kata
singkat dan isyarat yang jelas, sebagaimana perkataan al-Mundziri dalam mukadimah
kitab nya “kemudian saya menunjukkan apakah sanadnya shahih, hasan atau dhaif.[2]
Dari pernyataan diatas dapat kita
tarik kesimpulan bahwa hadai-hadis yang ada dalam kitab ini kualitas nya selalu
dijelaskan oleh penulis derajat nya sehingga memudahkan pembaca mengetahui
derajat hadis-hadist tersebut, ini adalah faidah yang penting dan berharga, karena jarang kita menemui dalam
kitab-kitab hadis dimana penulisnya hanya mengumpulkan hadis-hadis dan
mentakhrijnya tanpa memberi perhatian terhadap penjelasan tentang keshahihannya
atau kelemahannya, menguak ilat-ilatnya atau minimal membatasi hanya pada
hadis-hadis sahih saja, sebagiamana metode yang digunakan oleh penulis
kitab-kitab hadis terdahulu.
Tidak diragukan bahwa al-hafiz
al-munziri termasuk dalam deretan ulama-ulama terpercaya, bahkan sebagaimana
dikatakan oleh adz-zahabi, “tidak tertandingi dalam ilmu hadis denagn bebagai
cabang nya, dia mengetahui shahih hadist,dahai’ifnya dan jalan-jalan
periwayatannya”.[3]
Oleh karena itu dalam kitab nya targhib wa tarhib, beliu secara
konsisten membedakan antara hadis shahih dan dhaif.
Beliau menjelaskan dalam mukaddimah
kitabnya istilah beliau dalam membedakan sahih dan dhaif, yaitu:
A.
Jika sanad hadis itu shahih atau
hasan atau mendekati keduanya, maka membuka nya dengan kata (‘an- dari) begitu
pula jika hadist itu :
a.
Mursal
b.
Atau munqati’
c.
Atau mu’dal
d.
Atau pada sanadnya terdapat rawi yang
tidak dikenal
e.
Atau dhaif yang dikatakan Tsiqah
f.
Atau Tsiqah yang di
dahaifkan, sementar rawi-rawi yang lain Tsiqah
g.
Atau pada diri mereka terdapat
kritik yang tidak berpengaruh
h.
Atau diriwayatkan secara marfu’
padahal yang sahih adalah mauquf
i.
Atau muttasil padahal yang benar
adalah mursal
j.
Atau sanadnya daif, akan
tetapi ia dishahihkan atau dihasankan oleh sebagian yang mentakhrijnya,
dia berkata saya memulai dengan عن-dari kemudian saya menunjukkan nya mursal atau munqati’
atau mu’dalnya atau rawi yang di perselisihkan, maka saya
katakan,”diriwayatkan oelh fulan dari riwayat fulan atau dari jalan fulan, atau
pada sanadnya terdapat fulan atau ungkapan-unkapan seperti ini, dan
terkadang saya tidak menyebutkan rawi yang diperselisihkan maka apabila para
rawinya adalah orang-orang yang terpercaya (tsiqah) dan diantara mereka
ada yang diperselisihkan, saya katakan, “sanadnya hasan”, mustaqim
(lurus) atau tidak maslah dan ungkapan-ungkapn seperti itu sesuai dengan
tuntunman kondisi sanad matan dan banyaknya syahid.
B.
Apabila di dalam sanad hadist
bersangkutan terdapat rawi yang dinyatakan :
1.
“Kadzdzab” (pendusta besar)
atau “wadhdha’” (pembuat hadis palsu).
2.
Atau “Muttaham” (tertuduh
berdusta), atau “Mujma’Ala Tarkihi” (Disepakati untuk di tinggalkan
hadistnya), atau “mujma’ Ala Da’fihi” (disepakati kelemahannya) atauDzahib
al-hadits” (hadis nya lenyap), atau Halik (binasa), atau
saqith(tidak berharga) atau “laisa bisyai” (sama sekali tidak ada
apa-apa nya), atau Dha’if jiddan (Lemah sekali).
Atau “Dha’if”
(lemah) saja, atau “Lam Ara fihi Tautsiqan” (akau tidak melihat ada yang
menyatakan siqah), dimana tidak ada peluang untuk dinyatakan hasan, maka saya
(al-munziri) membuka nya dengan (Ruwiya- diriwayatkan) dan saya tidak
menyebutkan rawi nya dan tidak pula apa yang diktakan tentangnya sama sekali.
Jadi sanad da’if memiliki dua petunjuk,
pertama dimulai dengan lafaz ruwiya dan dibiarkan begitu
saja tanpa komemtar di akhirnya.[4]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama
lengkap beliau adalah Abdul Azhim bin Abul Qawi bin Abdullah bin Salamah bin
Sa’ad al-Mundziri. Dilahirkan di daerah Ghurrah pada bulan Sya’ban 581 H.
Seorang ahli hadist yang hebat, bahkan mendapat predikat al-Hafizh al-Kabir,
seorang penghapal hadist yang ulung, bermazhab Syafi’ie dalam bidang fikih.
Beliau juga digelari dengan Zakiyuddin—yang memiliki agama yang bersih.
Kitab yang disusun dengan 23 Bab yang dalam setiap babnya terdapat anjuran dan
ancamannya. Adapun berbicara kualitas hadist, maka tidak diragukan bahwa al-hafiz
al-munziri termasuk dalam deretan ulama-ulama terpercaya, bahkan sebagaimana
dikatakan oleh adz-zahabi, “tidak tertandingi dalam ilmu hadis denagn bebagai
cabang nya, dia mengetahui shahih hadist,dahai’ifnya dan jalan-jalan
periwayatannya”.[5]
Oleh karena itu dalam kitab nya at-Targhib wa Tarhib, beliau secara
konsisten membedakan antara hadis shahih dan dhaif.
B. Daftar Pustaka
Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. 2012. Shahih at Targib wa at-Tarhib. Riyadh:
Maktabah al-Maarif.
Tazkirat al-Huffazh. Bab 4.
Al-Hafizh al-Mundziri.pdf at-Targhib wa
Tarhib.
Tazkirat al-Huffazh. Bab 4.
C. Lampiran
Mukaddimah Cetakan Pertama
Nashiruddin al-Albani dalam shahih at-Targhib wa Tarhib
A.
Pujian terhadap al-Mundziri
Tak tanggung menanggung,
Nashiruddin al-Albani dalam mukaddimah pertamanya dalam menahqiq kitab targhib
wa tarhib karya al-Mundziri dituainya dengan pujian. Ia mengatakan dan mengakui
kitab targhib wa tarhib sebagai kitab yang berkualitas dan sangat berharga.
“bukan sesuatu yang samar bagi
siapa pun di kalangan ahli ilmu bahwa kitab at-Targhib wa Tarhib karya al-Hafiz
Zakiyuddin Abdul ‘Azhim bin Abdul Qawi al-Mundziri adalah termasuk kitab yang
paling komplit dan paling bermanfaat di bidangnya.”[6]
Sementara itu, al-Albani mengatakan
bahwa kitab ini termasuk kitab yang istimewa, sebab di dalamnya al-Mundziri
berusaha membedakan hadist kuat dari hadist lemah, sebagaimana hal itu dia
katakana secara terbuka di mukaddimah. “Kemudian saya menunjukkan apakah
sanadnya shahih atau hasan atau dha’if dan sebagainya.” Jarang kiranya ada
penulis kitab (saat itu) yang mengumpulkan hadist-hadist dan mentakhrijnya
tanpa memberi perhatian terhadap penjelasan tentang keshahihannya atau
kelemahannya, menguak illat-illatnya atau minimal membatasi hanya pada
hadist-hadist shahih saja sebagaimana hal itu menjadi kewajiban dalam kondisi
ini; di mana itu menjadi metode para penulis kitab-kitab shahih dan
lain-lainnya seperti asy-Syaikhain, dan al-Albani mengategorikan al-Mundziri
sebagai orang-orang yang istimewa posisinya berdasarkan perhatiannya di dalam
memperlakukan hadist-hadistnya. Al-Mundziri, selaku pengarang kitab at-Targhib
wa Tarhib, termasuk dalam deretan ulama-ulama yang terpercaya, sebagaimana
menurut adz-Dzahabi, “Tidak tertandingi dalam ilmu hadist dengan berbagai
cabangnya, dia mengetahui shahih hadist, dha’ifnya, illatnya dan jalan-jalan
periwayatannya.”[7]
B.
Cara al-Mundziri membedakan hadist
shahih dan dha’if
Al-Mundziri memang termasuk orang
yang konsisten dalam membedakan antara hadist shahih dan dha’if, hanya saja
al-Albani menilai bahwa di dalam kitabnya ini banyak ketidak jelasan dalam
membedakan antara yang shahih dan dha’if sehingga manfaat yang diinginkan oleh
al-Mundziri terasa minim bahkan lenyap.
Al-Mundziri berkata dalam
mukaddimah kitabnya, menjelaskan istilah yang membedakan yang shahih dan yang
dha’if yang telah diisyaratkan. Bahwa jika sanad hadist itu shahih atau hasan
atau mendekati keduanya, maka al-Mundziri membukanya dengan عَن
(dari), adapun penilaian al-Albani, begitu pula jika hadist itu
mursal, munqathi’, mu’dhal, hadist yang sanadnya terdapat rawi yang tidak
dikenal, dha’if yang dinyatakan tsiqah atau tsiqah yang didha’ifkan sementara
rawi-rawi lainnya tsiqah, atau pada diri perawi terdapat kritik yang tidak
berpengaruh, atau diriwayatkan secara marfu’, padahal yang shahih adalah
mauquf, atau hadist muttashil padahal yang benar adalah mursal, atau bahkan sanadnya
dhaif, akan tetapi hadist bersangkutan dishahihkan atau dihasankan oleh
sebagian pentakhrijnya, al-Mundziri berkata, “Saya memulainya dengan عن (dari)
kemudian saya menunjukkan mursalnya atau inqitha’nya atau mu’dhalnya atau rawi
itu diperselisihkan,” maka al-Albani katakan, “Diriwayatkan oleh fulan dari
riwayat fulan atau dari jalan fulan,” atau pada sanadnya terdapat fulan,” atau
ungkapan-ungkapan seperti ini, dan terkadang saya tidak menyebutkan rawi yang
diperselisihkan maka apabila para rawinya adalah orang-orang yang terpercaya
(tsiqah) dan di antara mereka ada yang diperselisihkan, saya katakan, “Sanadnya
hasan”, ungkapan-ungkapan seperti itu sesuai dengan tuntutan kondisi sanad
matan dan banyaknya syahid. Itu artinya, al-Albani dengan kapabilitasnya
melakukan cross-check hadist lewat jalur sanad lain atas sebuah hadist yang
didapatinya. Demikianlah apa yang dilakukan al-Albani dengan kualitasnya yang
ternyata menemukan beragam ketimpangan di dalam pengkategorian yang dilakukan
oleh al-Mundziri.
Adapun jika di dalam sanad hadist
bersangkutan terdapat rawi yang dinyatakan “Kadzdzab” (pendusta besar) atau
“Wadhdha” (pembuat hadist palsu). Atau “Muttaham” (tertuduh berdusta), atau
“Mujma’ ala tarkihi” (disepakati untuk ditinggalkan hadistnya), atau “Mujma’
ala dha’fihi” (disepakati kelemahannya), atau “Dzahib al-Hadist” (hadistnya
lenyap), atau “Halik” (binasa), atau “Saqith” (tidak berharga), atau “Laisa
Bisyai’” (sama sekali tidak ada apa-apanya), atau “Dha’if Jiddan” (lemah
sekali). Atau “Dha’if” (lemah) saja, atau “Lam Ara fihi tautsiqan” (aku melihat
ada yang menyatakannya tsiqah), di mana tidak ada peluang untuk dinyatakan
hasan; maka al-Mundziri membukanya dengan روي (diriwayatkan) dan saya tidak menyebutkan rawinya dan tidak
pula apa yang dikatakan tentangnya sama sekali. Jadi sanad yang dha’if memiliki
dua petunjuk: dimulainya ia dengan روي dan dibiarkan begitu saja tanpa komentar di akhirnya.[8]
Secara sederhana:
1.
Yang diawali dengan عَن
yang mengisyaratkan ia kuat.
2.
Yang diawali dengan روي
yang mengisyaratkan ia lemah.
Selanjutnya, maka al-Mundziri
memasukkan tiga macam hadist ke bagian pertama, yaitu: shahih, hasan, dan yang
mendekati keduanya. Kemudian dia memasukkan ke bagian kedua tiga macam hadist
juga yaitu: dha’if, dha’if sekali dan maudhu. Kemudian al-Albani pun menilai
bahwa pembagian tersebut membingungkan dan tak bisa dipahami, lebih dari itu
penilaiannya, itu akan membuat pembaca tersesat jalan di antara ketiga macam hadist dalam masing-masing dari
dua bagian tersebut, dia tidak mengetahui macam yang mana yang dimaksud.
B.1. Komentar al-Albani terkait
bagian pertama
Kemudian al-Albani pun mengomentari
dengan tiga argumen:
1.
Para pembaca tidak mungkin mengenal
derajat hadist apakah ia shahih atau hasan atau mendekati keduanya hanya dengan
dibukanya hadist dengan عَن. Ini jelas dan tidak samar.
2.
Al-Albani menilai al-Mundziri
membuat kategori baru, disamping hadist shahih, dha’if dan hasan. Yakni hadist
yang mendekati shahih dan hasan sekaligus. Padahal yang dikenal adalah hasan
yang mendekati shahih dan dha’if mendekati hasan. Maka makna hal ini dipahami
sebagai hadist dha’if yang tingkat kelemahannya tidak parah, yang bisa
dicalonkan untuk diangkat ke derajat hasan jika rawinya yang dha’if memiliki
orang lain yang ikut meriwayatkannya (mutabi’) atau hadistnya memiliki syahid
penguat yang dapat diterima. Lantas, mengapa kategori ini tidak dimasukkan pada
kategori yang diawali dengan روي? Seperti al-Mundziri melakukan kontradiksi manakala membuka
hadist no. 185 dengan عَن dan al-Mundziri mengatakan “sanadnya mungkin untuk dihasankan.”
3.
Al-Mundziri memasukkan hadist yang
menurut ulama hadist adalah dha’if seperti mursal dan sepuluh macam lainnya
yang digabungkan bersamanya.
Terkait bagian pertama, sebagai
contoh yang bisa dilihat pada hadist no. 2 dari Dha’if at-Targhib, al-Mundziri
mengawali hadist dengan عَن, walaupun begitu dia berkata pada takhrijnya, “Diriwayatkan
oleh al-Hakim dari jalan Ubaidillah bin Zahr, dia berkata, ‘sanadnya shahih’.
Begitulah yang dia katakan. Sementara Ubaidillah bin Zahr terkenal dengan
kelemahannya, oleh karena itu al-Mundziri mengisyaratkan kritiknya kepada
al-Hakim tentang tashhihnya terhadap hadist tersebut, walaupun begitu
al-Mundziri tetap membuka hadist dengan عَن. Maka, al-Albani mengomentari sikap al-Mundziri sebagai taklid
kepada orang-orang yang longgar dalam urusan tashhih padahal terkadang
al-Mundziri mengkritik mereka.[9]
B.2
Komentar al-Albani terkait bagian kedua
Di antara macam-macam hadist dha’if,
al-Mundziri tidak membedakan di antaranya di dalam kitab at-Targhib wa Tarhib.
Padahal dalam ungkapan al-Mundziri, ia membedakan hadist dha’if:
1.
Maudhu’ (palsu), ini bentuk
terburuk. Isyarat kepadanya dengan ucapannya, “Jika pada sanadnya terdapat
orang yang divonis, ‘kadzdzab’ (pendusta) atau wadhdha’ (pembuat hadist palsu)”.
2.
Dha’if jiddan (lemah sekali). Ini
diisyaratkan oleh ucapannya, “atau tertuduh, atau telah disepakati untuk
ditinggalkan, atau disepakati bahwa ia dha’if, atau hadistnya lenyap atau
celaka atau bukan apa-apa atau lemah sekali.”
3.
Dha’if (lemah) yaitu hadist yang
pada sanadnya terdapat rawi yang keadaannya lebih baik dari keadaan rawi
sebelumnya. Al-Mundziri mengisyaratkannya dengan ucapannya, “Atau dha’if
saja” atau “Saya tidak melihat ada yang mentsiqahkannya.”
Kemudian al-Albani pun
mengomentarinya. Bahwa akibat dengan tidak adanya pembedaan seperti yang
disebutkan, setidaknya ada dua dampak:
1.
Bisa jadi hadistnya termasuk maudhu
atau lemah sekali. Lalu sebagian pembaca menemukan hadist syahid untuknya, maka
dia menyangka hadist itu menjadi kuat dengannya padahal sebenarnya tidak
demikian, sebab ia sangat lemah atau maudhu’. Seandaninya al-Mundziri
menjelaskan hal ini, niscaya pembaca tidak kesulitan dan terjatuh kepada
kesalahan.
2.
Hadist bisa jadi diamalkan, padahal
hadist yang bersangkutan maudhu’.[10]
C.
Mengapa harus ada pengetatatan?
Bila ada pertanyaan, mengapa perlu
adanya perincian dan pengetatan seperti ini dalam meriwayatkan hadist dha’if,
padahal al-Mundziri telah mengatakan di dalam muqaddimah kitabnya, “Bahwa para
ulama membolehkan bersikap longgar dalam masalah anjuran (targhib) dan ancaman
(tarhib), bahkan banyak di antara mereka yang menyebutkan hadist maudhu’ tanpa
menjelaskan keadaannya.”[11]
Maka al-Albani mengkritisi sikap
longgar para ulama yang dijadikan landasan al-Mundziri dalam memaparkan
hadistnya. Barangkali, al-Mundziri mensalah-artikan sikap longgar para ulama
menyikapi hadist, terutama dha’if.
Sikap longgar ulama dimaksudkan
adalah dengan menyebutkan hadist dengan sanadnya.sebab dengan cara itulah para
ulama dahulu menjaga keutuhan as-Sunnah dan hadist-hadistnya. Sebab dengan
begitu akan memberikan stimulus bagi pembaca untuk meneliti sanad hadist. Maka
makna kelonggaran itulah dengan menyebutkan sanad seharusnya al-Mundziri
memaknakan kelonggaran ulama yang dimaksud.[12]
Sebab dengan mencantumkan sanad hadist, maka dia telah terbebas dari tanggung
jawab dan tidak bisa disalahkan, karena dia telah memberikan cara kepadamu yang
dengan cara itu orang yang berilmu dalam bidang ini bisa mengetahui keadaan
hadist dari sisi keshahihan dan kedha’ifannya, lain halnya dengan yang membuang
sanad dan tidak menyinggung keadaannya sedikitpun, maka dia telah
menyembunyikan sesuatu yang semestinya disampaikan. Sebab dengan tidak
dijelaskan hal itu, al-Albani berpendapat dengan mendiamkan hadist dha’if hal
itu menjadi pemicu yang kuat yang mendorong orang-orang melakukan bid’ah di
dalam agama.
D.
Sebab Banyak Kekeliruan al-Mundziri
dalam at-Targhib
Petunjuk itu adalah ucapan dari
al-Mundziri sendiri, “Waktunya yang sempit, persoalan-persoalannya yang
datang dan pergi, pikirannya yang sibuk, dan kitab-kitabnya yang tidak bersama
(nya).”
Yang terpenting adalah
kitab-kitabnya yang tidak bersamanya. Ini berarti dia dalam menyusun kitabnya
ini hanya mengandalkan hafalannya.
E.
Kekeliruan Penting al-Mundziri
secara Global
1.
Al-Mundziri mengawali hadist-hadist
dha’if dengan “dari” عن. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 161.
2.
Kontradiksi al-Mundziri dalam
menerapkan istilahnya. Misalnya dia menurunkan hadist-hadist dengan ucapan
“Dari” padahal sanadnya terdapat Baqiyyah bin al-Walid yang dikenal rawi
mudallis terkenal. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 185, 7, 320, 377.
3.
Riwayat-riwayat di mana dia tidak
mengawalinya dengan sesuatu yang menunjukkan keadaannya padahal di antaranya
terdapat yang shahih, dha’if, dan maudhu’. Al-Mundziri menurunkan
riwayat-riwayat tanpa diawali dengan “Dari” atau “Diriwayatkan”. Hal ini
menyelisihi istilahnya sendiri. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 189, 415,
417, 645.
4.
Riwayat-riwayat Tambahan atas
hadist-hadist Shahih yang terkesan shahih padahal sebenarnya Dha’if, Lihat
dha’if at-Targhib hadist no. 230, 232, 267.
5.
Sikap longgar dalam menshahihkan
secara jelas hadist-hadist Dha’if. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 116, 118,
119.
6.
Mendha’ifkan hadist-hadist yang
dikiranya lemah padahal ia kuat. Lihat dha’if at-Targhib hadist no. 72, 91,
110, 114, 188, 203. Dan lain-lain yang menurut al-Albani terdapat 11 kekeliruan
secara global.
[1]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. v – viii.
[2]Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 37.
[6]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 36
[7]
Lihat Tadzkirat al-Huffadz (4/271), lihat halaman 40.
[8]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 42.
[9]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 44 – 45.
[10]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 47.
[11]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm. 50.
[12]
Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih at Targib wa at-Tarhib. (Riyadh:
Maktabah al-Maarif , 2012), hlm 50.
Comments