makalah epistimologi dan metodologi syi'ah dalam menafsirkan al-Qur'an
makalah epistimologi dan metodologi syi'ah dalam menafsirkan al-Qur'an
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al Qur`an
secara harfiyah berarti bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan. Kesempurnaan
al Qur`an ini tidak hanya dipahami oleh para pakar, tetapi juga semua orang
yang menggunakan ‘sedikit’ pikirannya.[1]
Senada dengan hal tersebut, penulis meyakini bahwa segala problematika
kehidupan dijelaskan solusinya di dalam al Qur`an sehingga hal tersebut menyiratkan
kesempurnaan al Qur`an sebagai kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia (hudan
al linnas).
Upaya
menggali pemahaman terhadap al Qur`an di kalangan umat Islam sejak awal telah dilakukan
secara masif sehingga melahirkan berbagai macam pemikiran dan pemahaman yang
kemudian dikenal dengan istilah madzahib at tafsir. Sebenarnya
kemunculan madzahib at tafsir merupakan suatu keniscayaan sejarah (min
lawazim at tarikh), karena setiap generasi ingin ‘mengkonsumsi’ dan
memahami al Qur`an sebagai pedoman hidup yang selaras dengan perkembangan zaman
dan tempat (shalih likulli zaman wa makan), bahkan tak jarang al Qur`an
dijadikan sebagai alat legitimasi bagi sikap dan tindakan perilakunya.[2] Hal
tersebut diperkuat dengan ungkapan Ingrid Mattson yang menyatakan bahwa berbagai
riwayat memperlihatkan bahwa selama pertarungan meraih otoritas dan stabilitas
politik pada awal abad pertama Islam, al Qur`an biasanya dikutip untuk
memotivasi dan dijadikan dalil yang membenarkan aneka perilaku yang kerap
saling bertentangan.[3] Salah
satu contoh sejarah Islam yang menggambarkan adanya pertarungan otoritas dan
stabilitas politik adalah konflik antara Ali dan Muawiyah yang berujung kepada
tahkim (arbitrase) yang tidak diterima oleh sebagian kelompok yang
kemudian dikenal dengan khawarij serta sebagian kelompok yang tetap
mendukung posisi Ali yang kemudian dikenal dengan syiah.
Oleh karena
itu, menarik untuk kembali dikaji, seperti apa metode dan karakteristik
penafsiran dari beberapa kelompok tersebut yang juga menggunakan al Qur`an
sebagai dalil dan justifikasi dalam melakukan segala tindakan. Tak jarang pula
al Qur`an digunakan sebagai alat untuk mendukung pendapat mereka, termasuk
didalamnya adalah kelompok syiah. Oleh karena itu, sebagai pemantik awal yang
patut direnungkan adalah ‘siapakah yang punya wewenang untuk menegaskan
makna yang dikehendaki al Qur`an?’[4]
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana
epistemologi dan metode syiah dalam menafsirkan al Qur`an?
C.
Tujuan Penulisan
Mengetahui
epistemologi dan metode syiah dalam menafsirkan al Qur`an.
PEMBAHASAN
A.
Syiah
Ditinjau dari Segi Historisitas
Kata
syiah secara
etimologi merupakan bentuk isim mashdar dari lafadz fi’il madhi شاع,
fi’il mudhari’ يشيع isim mashdar شيعة
yang berarti “penolong” dan “pengikut”.[5] Sedangkan secara
terminologis, menurut al
Dzahabi[6], syiah
merupakan kelompok yang mengagungkan Ali beserta ahl bait-nya dan
menganggap bahwa Ali adalah imam setelah Rasulullah, dan orang yang berhak
mewarisi kekhalifahan. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa syiah memiliki sikap yang memuliakan ahl bait sehingga dalam
penafsirannya banyak mengambil
pendapat-pendapat dari ahl bait.
Istilah syiah pada mulanya diterapkan bagi kumpulan orang-orang yang
senantiasa berhimpun di sekitar seorang Nabi, wali, atau seorang sahabat. Arti
kata syiah secara lughowi ini terdapat dalam al Qur`an surah ash Shaffat ayat 83:
وَإِنَّ مِنْ
شِيعَتِهِ لإبْرَاهِيمَ (٨٣)
dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar
Termasuk golongannya (Nuh).
Sedangkan
tentang historisitas kemunculan
kelompok syiah, terdapat beberapa pendapat para ahli yang menyatakan awal mula munculnya kelompok
syiah.
Pendapat pertama, yaitu
pendapat para mutakallim dan penulis-penulis syiah.
Mereka berpendapat bahwa syiah lahir di
masa Nabi saw dan ke-syiah-annya sejak semula telah berjalan berdampingan dengan Islam.
Pendapat kedua, yaitu syiah lahir pada Hari Tsaqifah.
Pendapat ketiga, yaitu
syiah lahir pada saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan. Hal ini senada dengan pendapat dari al
Dzahabi yang menyatakan bahwa syiah muncul di akhir
pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan dan berkembang dengan pesat pada
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[7]
Pendapat
keempat, yaitu syiah
bermula pada saat perang berunta (jamal).
Pendapat
kelima, yaitu syiah
lahir pada Yaumu al-Tahkim (Hari arbitrase
antara pihak ‘Ali dan Mu’awiyah dalam perang Siffin).
Berdasarkan sejarah tersebut, kelompok syiah sendiri
telah berselisih pendapat sesama mereka di dalam masalah-masalah madzhab dan
akidah. Sehingga mereka terpecah belah menjadi beberapa kelompok, sebagian dari
mereka ada yang bersikap ekstrim dan sebagian lagi ada yang bersikap moderat
sehingga hampir menyerupai golongan ahlu sunnah wal jama’ah.[8]
Secara umum, terdapat tiga
sekte besar dalam aliran syiah, yaitu itsna ‘asyariyah, ismailiyah,
dan zaidiyah. Setidaknya ada dua sebab polarisasi di dalam syiah, yaitu
pertama, perbedaan dalam soal prinsip. Sebagian kelompok telah mengikuti ajaran
Ali bin Abi Thalib secara ekstrem hingga mengkultuskannya. Tetapi, diantara
mereka juga ada yang moderat. Kedua, perbedaan dalam hal kepemimpinan
dari keturunan Ali bin Abi Thalib.[9]
Kelompok syiah yang mengakui
imamah ke dua belas imam disebut syiah itsna ‘asyariyah. Adapula aliran
syiah yang menganggap tujuh orang imam saja, yaitu sampai pada putra dari imam
ke enam Ja’far Shadiq yaitu Ismail, sehingga sekte ini dinamakan syiah
Ismailiyah atau syiah sab’iyah. Sedangkan syiah yang mengikuti Imam Zaid, cucu
dari al Husayn, putra dari Ali Zainal Abidin, disebut syiah zaidiyah.
Syiah inilah yang dianggap paling dekat dengan kelompok sunni dan dalam
beberapa hal paling toleran. Bahkan menurut al Dzahabi, syiah zaidiyah merupakan
sekte syiah yang paling dekat dengan mayoritas umat Islam (jama’ah islamiyah),
sebab, mereka tidak berlebihan dalam urusan aqidahnya, tidak mengkafirkan
sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw serta tidak mengangkat para imam ke dalam
tingkatan ketuhanan atau kenabian.[10]
Sedangkan kelompok itsna ‘asyariyah berada di tengah-tengah antara
kelompok Zaidiyah dengan kelompok Ghullah.[11]
Syiah ghullah tersebut
merupakan kelompok-kelompok radikal yang berpandangan ekstrim dan sesat,
seperti mengaburkan keagungan Tuhan, bahkan menganggap Ali sebagai Tuhan serta
menolak kenabian Muhammad saw. Kelompok ini diantaranya terdiri dari kelompok Nusairis,
Hasyasyin, Druwis, Qaramitah, dll, yang seluruhnya
merupakan pecahan dari aliran Ismailiyah.[12]
Dalam karakteristik
penafsirannya, aliran Ismailiyah tersebut memiliki pandangan yang cukup
radikal. Mereka menggunakan metode batiniyah (esoteris) dalam menafsirkan
al Qur’an, sehingga menurut mereka al Qur`an harus ditafsirkan secara alegoris
dan kebenaran agama bisa didapatkan melalui penelusuran makna batin yang
ditutupi oleh bentuk luar (zhahir).[13]
B.
Syiah
Ditinjau dari Sudut Pandang Madzhab Tafsir
Ignaz Goldziher
membagi klasifikasi madzhab tafsir ke dalam enam bagian, yaitu tafsir
tahap awal, tafsir bil ma’tsur, tafsir perspektif teologi rasional, tafsir
perspektif tasawuf, tafsir perspektif sekte keagamaan, dan tafsir era
kebangkitan Islam.[14]
Menurut Ignaz, munculnya tafsir sekte keagamaan disebabkan oleh tokoh-tokoh
agama dari golongan sekte keagamaan tersebut belum mengupayakan secara
sungguh-sungguh dan proporsional untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar yang
membedakan keyakinan keagamaan dan politik mereka sebagai sebuah ketetapan
secara definitif dalam al Qur`an.[15]
Ignaz memasukkan tiga sekte keagamaan dalam pembahasan tersebut, yaitu syiah,
khawarij dan ahlu sunnah.
Sebelum lebih jauh memahami tafsir syiah,
perlu diketahui terlebih dahulu substansi dari tafsir syiah. Secara bahasa,
kata tersebut terdiri dari dua term yaitu tafsir dan syiah. Tafsir –telah
menjadi pengetahuan umum- secara bahasa merupakan bentuk isim mashdar
dari kata fassara yufassriru tafsiiran yang berarti keterangan yang
memberikan penjelasan. Sedangkan secara istilah tafsir yaitu suatu
pemahaman atau penjelasan seorang penafsir terhadap al Qur’an yang dilakukan
dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu.[16]
Sedangkan untuk definisi syiah telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya,
sehingga dalam hubungannya dengan tafsir syiah, maka metode dan pendekatan yang
digunakan adalah metode dan pendekatan yang dikenal dalam tradisi keilmuan
syiah. Salah satu yang paling jelas adalah paham tentang esoterisme.
Sebagaimana Alfatih Suryadilaga mengutip Hamid Enayat bahwa Corbin menyebut
paham syiah sebagai ‘cagar esoterisme Islam’.[17]
Oleh karena itu, peranan ta’wil (tafsir batin) yang sering dilakukan
oleh sufi, juga dilakukan oleh syiah sehingga menggali makna-makna al Qur`an
dilihat dari aspek batin, bukan aspek lahir (zahir).[18]
C.
Karakteristik
Penafsiran Tafsir Syiah
Ada beberapa manhaj (metode) yang
digunakan oleh kaum syiah umumnya, yaitu[19]
Pertama, penafsiran
tafsir al Qur`an hanya bersumber dari para imam-imam syiah. Di dalam tafsir at
Tibyan, disebutkan dalil-dalil mutawatirah menunjukkan bahwa tafsir dilakukan
oleh Rasul saw dan para imam. Selain itu, kaum syiah juga menjuluki al Qur`an
dengan ‘al Qur`an as Shamit’ (al Qur`an yang bisu) dan menjuluki imam
dengan ‘al Qur`an an Nathiq’ (al Qur`an yang berbicara).[20]
Selain itu, masih banyak lagi argument-argument yang serupa dengan hal
tersebut, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam tradisi keilmuan syiah,
khususnya dalam penafsiran al Qur`an, para imam syiah memiliki kewenangan atau
otoritas dalam menafsirkan al Qur`an. Beberapa argumen teologis syiah yang
menjadi justifikasi penafsiran para imam adalah surah al Ra’d ayat 7, Sesungguhnya
kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang
yang memberi petunjuk, dan al Qashash 51, dan Sesungguhnya telah Kami
turunkan berturut-turut Perkataan ini (al Qur`an) kepada mereka agar mereka
mendapat pelajaran. Mereka menakwilkan ayat pertama bahwa setiap generasi
akan mempunyai sosok khusus yang akan memberikan petunjuk. Sedangkan pada ayat
kedua, mereka menakwilkan yaitu para imam yang senantiasa mengikuti ajaran.[21]
Oleh karena itu, secara umum menurut mereka bahwa setiap generasi aka nada
imam-imam yang akan memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap al Qur`an.
Kedua, cenderung
mendiamkan pendapat (aqwal) sahabat dan tabi’in dalam penafsirannya. Hal
ini merupakan salah satu implikasi dari keyakinan kaum syiah yang menolak
bahkan sebagian golongan sampai mengkafirkan para sahabat seperti Abu Bakar,
Umar dan Utsman. Sehingga mereka hanya akan mengambil hadis atau atsar dari para imam mereka. Sedangkan untuk
periwayatan dan pengambilan hadis, syiah memiliki kitab induk hadis yaitu al
Kafi karya al Kulaini yang setara dengan kitab Jami’ Shahih al
Bukhari dalam tradisi keilmuan Sunni.
Ketiga, memahami al
Qur`an memiliki makna dzahir dan bathin. Syiah berpendapat bahwa
al Qur`an memiliki makna bathin yang berbeda dengan makna dzahirnya, dan
manusia pada umumnya hanya mengetahui makna dzahirnya saja, sedangkan makna
bathin hanya dapat digali dan diketahui oleh para imam dan orang-orang yang menimba
ilmu dari mereka.[22]
Keempat, gaya bahasa (uslub).
Salah satu kaidah yang dipegang oleh syiah adalah:
إذا سمعت الله
ذكر قوماً من هذه الأمة بخير فنحن هم ، وإذا سمعت الله ذكر قوماً بسوء ممن مضى فهم
عدونا
Ketika Allah menyebutkan suatu kaum dengan kebaikannya,
maka itu merupakan golongan kita (syiah) beserta para imam, sedangkan ketika
Allah menyebutkan kejelekan suatu kaum terdahulu, maka itu menggambarkan
kelompok yang menentang kita.[23]
Berdasarkan prinsip tersebut, maka tidak
jarang ketika menafsirkan ayat-ayat yang mengandung kebaikan, maka mereka
menakwilkannya kepada para imam madzhab, sedangkan ketika menafsirkan ayat-ayat
yang berisi kejelekan dan keburukan, maka mereka menakwilkannya kepada
orang-orang yang ‘dianggap’ ingkar dan melawan syiah.
Kelima, tahrif al Qur`an. menurut kaum syiah, al Qur`an yang
dikumpulkan oleh Ali bin Abi Thalib, kemudian diwariskan kepada para imam,
itulah al Qur`an yang shahih yang tidak mengalami perubahan (tahrif)
dan penggantian (tabdil). Mereka berpendapat bahwa telah banyak
ayat-ayat tentang keutamaan ahl bait yang dibuang dan diganti oleh
orang-orang yang berlawanan dengan syiah. Khabar tersebut diriwayatkan
secara mutawatir menurut ulama syiah. Salah satunya riwayat yang disampaikan oleh
al Kulaini dalam kitabnya al Kufi bahwasanya al Qur`an yang diturunkan
melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw ada 17.000 ayat, tetapi yang
sampai kepada kita hanya 6.236 ayat, itu berarti ada dua pertiga dari al Qur`an
yang hilang dan hanya tersisa sepertiga saja.[24]
Sedangkan secara khusus, Pembahasan
karakteristik penafsiran tafsir syiah ini pemakalah membaginya ke dalam tiga
kelompok sesuai dengan tiga kelompok besar dalam sekte syiah. Hal tersebut
untuk memudahkan dalam menarik pemahaman terhadap cara penafsiran masing-masing
aliran. Sebab, tidak dapat dipungkiri, walaupun dalam satu madzhab tetapi
mereka juga memiliki beberapa karakteristik khas dalam memahami al Qur`an. Namun perlu digarisbawahi bahwa umumnya
metode yang dipakai di kalangan syiah adalah pendekatan metode takwil.[25]
a)
Metode Penafsiran
al Qur`an oleh syiah Ismailiyah (Bathiniyah)
Sesuai dengan namanya, yaitu bathiniyah.
Syiah ini sering menggunakan ta’wil (tafsir bathiniyah) yang mengatakan
bahwa al Qur`an, selain mengandung makna dzahir, juga memiliki makna bathin.
Salah satu takwil yang biasa mereka gunakan adalah ketika menafsirkan ayat-ayat
tentang kebaikan, maka mereka menakwilkannya kepada para ahl bait dan
imam mereka, sedangkan ketika menafsirkan ayat-ayat tentang keburukan, maka
mereka menakwilkannya kepada para sahabat. Hal tersebut dapat ditemukan dalam
kitab tafsir al Qummi misalnya dalam tafsir al Qummi jilid 2 hlm.
115 dan hlm. 344.
b)
Metode Penafsiran al Qur`an oleh syiah Itsna
‘Asyariyah
Kaum syiah Itsna ‘Asyariyah selalu berupaya
sekuat tenaga untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip mereka.
Contohnya tentang imamah, mereka tidak hanya mencukupkan diri dengan
perkataan yang meyakinkan serta nash-nash dari Rasulullah saw mengenai keimaman
‘Ali ra dan imam-imam selanjutnya, tetapi mereka juga berusaha menundukkan
ayat-ayat Allah kepada pendapat tentang wajibnya keimanan ‘Ali ra sesudah Rasulullah
saw secara langsung tanpa terputus. Begitu juga halnya yang mereka lakukan
untuk prinsip-prinsip mereka.[26]
c)
Metode Penafsiran al Qur`an oleh syiah
Zaidiyah
Kelompok syiah Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok syiah yang
lain, kelompok syiah ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahlu
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dari segi keagamaan kaum Zaidiyah lebih banyak
dipengaruhi oleh Mutazilah, karena memang Imam Zaid pernah berguru dan bertemu
dengan Washil bin ‘Atha yang beliau adalah pendiri Mu’tazilah.[27]
Karena kelompok syiah Zaidiyah lebih dekat dengan Ahlu
al-Sunnah al-Jama’ah, maka metode penafsiran yang mereka pakai menggunakan
metode tafsir bil ma’tsur. Namun disamping mereka menggunakan metode
tafsir bil ma’tsur, mereka juga menggunakan metode tafsir bil ra’yi,
hal ini disebabkan karena banyak dipengaruhi pandangan Mu’tazilah. Sehingga
dalam kitab tafsir Fathu al- Qadir, Imam Syaukani sampai menyebutkan kitab
tafsir al-Qurtubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai rujukan
tafsirnya.[28]
D.
Tokoh serta Karya Tafsir Syiah
Salah satu karya tafsir Syiah yang terkenal
adalah al Mizan fi Tafsir al Qur’an karya al-Thabathaba’i. selain itu,
ada juga beberapa literatur tafsir rujukan yang ditulis oleh ulama Syiah,
yaitu:
-
Al Furqan fi Tafsir al Qur’an karya Muhammad Shadiqi.
-
Tafsir min Fatihah al Kitab karya Muhammad Yazdi.
-
Tafsir Surah al Fatihah karya Sayyid Ja’far Murtadla Amili.
-
Tafsir Adabi wa Irfani Qur’an el Majid karya Khajah ‘Abdullah Anshari.
-
I’jaz al Qur’an fi Ta’wil ‘Umm al Qur’an karya Shadruddin al Qunawi. Kitab ini
sering dirujuk oleh Jalaluddin Rahmat, intelektual Muslim Indonesia yang sering
mengangkat ide-ide Syiah.[29]
Selain itu, al Dzahabi juga menyebutkan ada beberapa
kitab literatur syiah, yaitu
-
Tafsir al Hasan al ‘Askari.
-
Tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad
bin ‘Ayyasy as Salmi al Kufi.
-
Tafsir al Qummi, karya Ibrahim bin
Ali al Qummi.
-
Tafsir at Tibyan, karya Abu ja’far
Muhammad bin Hasan bin Ali at Thusi.
-
Majmu’ al Bayan, karya Abu Ali al Fadhl bin Hasan at
Thabrasi.
-
Al Burhan, karya Hasyim bin Sulaiman bin Isma’il al
Husaini al Bahrani.
-
Tafsir Gharib al Qur`an, karya Imam
Zaid bin ‘Ali.
-
Tafsir Isma’il bin ‘Ali al Busti az
Zaidi.
-
at Tahdzib, karya Muhsin bin Muhammad bin Karamah.
-
Tafsir ‘Athiyah bin Muhammad an Najwani
az Zaidi.
-
Tafsir at Taysir fi at Tafsir, karya
Hasan bin Muhammad an Nahwi az Zaidi as Shan’ani.[31]
E.
Contoh
Penafsiran oleh Ulama Syi’ah
Berikut beberapa contoh penafsiran oleh
beberapa ulama syiah, dalam tafsir al Qummi[32]
sebagaimana dikutip oleh Ignaz Goldziher dalam menafsirkan surah an Nur ayat 35
sebagai berikut.
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا
مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا
كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا
شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ
تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ
يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ (٣٥)
Beberapa
lafadz yang patut digaris bawahi yaitu lafadz misykah menurut
sekte syiah merupakan Fatimah, fiha mishbah adalah Imam al Hasan, al
mishbah fi zujajah adalah Imam al Husayn, syajarah mubarakah (pohon
yang memberi berkah) adalah Ibrahim, dan la syarqiyah wa la gharbiyah adalah
bukan agama Yahudi dan Nasrani, tetapi agama Ibrahim, kalimat nur ‘ala nur
dimaknai silih berganti datangnya imam dan yahdi Allahu linurihi ditujukan
kepada para imam syiah. Dan masih ada beberapa contoh penafsiran serupa yang
dikutip oleh Ignaz Goldziher.[33]
Berbeda dengan penafsiran al Qummi, dalam kitab al Mizan fi
Tafsir al Qur`an[34],
tafsir mengenai surah an Nur ayat 35 lebih obyektif dan jauh dari paham syi’isme.
Thabathaba’i sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam tafsir al Mishbah[35]
menjelaskan ayat tersebut dengan menguraikan bahwa Allah memiliki cahaya yang
bersifat umum yang dengannya langit dan bumi menjadi jelas dan nyata setelah
sebelumnya tidak ada. Menurutnya, tampaknya sesuatu oleh sesuatu yang lain
mengharuskan yang menampakkan itu adalah sesuatu yang jelas pada dirinya baru
kemudian dia menjelaskan selainnya dank arena itulah maka ia disebut nur.
Allah adalah nur yang menampakkan langit dan bumi (نور يظهر به السماوات والأرض) sebagaimana cahaya menampakkan benda-benda setelah
tertuju kepadanya cahayanya. Hanya saja, pancaran nur Ilahi terhadap
sesuatu berarti terwujudnya sesuatu itu, berbeda dengan pancaran cahaya
matahari karena hal tersebut bukan sumber wujud benda-benda itu.
Thabathaba’i lebih jauh menggarisbawahi bahwa penyifatan Allah sebagai nur
mengisyaratkan bahwa Dia adalah wujud yang paling nyata, tidak ada sesuatu
pun yang tidak mengenal-Nya karena semua wujud dan tampak adalah limpahan dari
penampakan-Nya. Selanjutnya, Thabathaba’i menjelaskan bahwa ada juga nur Ilahi
yang bersifat khusus. Ia berpendapat bahwa nur yang dimaksud dalam ayat matsalu
nurihi adalah cahaya khusus itu, yakni cahaya yang menerangi jalannya
orang-orang mukmin yaitu cahaya makrifat yang dengannya hati mereka memperoleh
petunjuk pada hari kiamat, dan cahaya itulah yang mengantar mereka menuju
kebahagiaan abadi sehingga mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala apa yang
gaib dalam kehidupan ini.
Selain itu, dalam tradisi syiah juga dikenal ayat tentang al wilayah
yang diturunkan berkenaan dengan Ali yang terdapat dalam surah al Maidah ayat
55-56.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (٥٥)وَمَنْ
يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ
الْغَالِبُونَ (٥٦)
Ayat
tersebut menurut kaum syiah tidak dapat dipungkiri berkenaan dengan Ali bin Abi
Thalib yang menyedekahkan cincinnya ketika ia sedang ruku’ dalam shalatnya.
Mereka meyakini banyaknya hadis-hadis shahih yang mutawatir yang dirawikan oleh
imam al itrah (keluarga suci nabi) yang menekankan diturunkannya ayat
tersebut berkenaan dengan Ali yang menyedekankan cincinnya ketika ia sedang
ruku’ dalam shalatnya. Selain dari imam al itrah tersebut, Ibnu Salam
juga meriwayatkannya dalam kitab sunan an Nasa’i, serta penjelasan Ibnu Abbas
dalam Asbab an Nuzul ayat tersebut susunan Imam al Wahidi.[36]
Berdasarkan
hal tersebut, maka arti dari ayat tersebut secara umum adalah sesungguhnya yang
lebih utama memimpin dan bertindak terhadap segala urusan adalah hanyalah
Allah, Rasul-Nya, serta Ali. Sebab ia adalah satu-satunya orang yang terkumpul
di dalamnya semua sifat-sifat yang termaktub dalam ayat tersebut, yaitu
beriman, mendirikan shalat dan menunaikan zakat pada waktu sedang ruku’, dan
ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perbuatannya. Selain itu, Allah swt
juga menetapkan wilayah (kewalian) hanya bagi Allah, Rasul-Nya, dan wali-Nya
(yaitu Ali). Sehingga menurut mereka tidak dapat diterima sama sekali jika wali
pada ayat tersebut dipahami sebagai penolong, pecinta, dan sebagainya.[37]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Syiah merupakan kelompok yang mengagungkan Ali
beserta ahl bait-nya dan menganggap bahwa Ali adalah imam setelah
Rasulullah, dan orang yang berhak mewarisi kekhalifahan. Berdasarkan definisi
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syiah memiliki sikap yang memuliakan ahl
bait sehingga dalam penafsirannya akan banyak melihat pendapat-pendapat
dari ahl bait.
Secara umum, terdapat tiga sekte besar
dalam aliran syiah, yaitu itsna ‘asyariyah, ismailiyah, dan zaidiyah.
Setidaknya ada dua sebab polarisasi di dalam syiah, yaitu pertama, perbedaan
dalam soal prinsip. Sebagian kelompok telah mengikuti ajaran Ali bin Abi Thalib
secara ekstrem hingga mengkultuskannya. Tetapi, diantara mereka juga ada yang
moderat. Kedua, perbedaan dalam hal kepemimpinan dari keturunan Ali bin
Abi Thalib.
Ada beberapa manhaj (metode) yang
digunakan oleh kaum syiah umumnya, yaitu pertama, penafsiran tafsir al
Qur`an hanya bersumber dari para imam-imam syiah, kedua, cenderung
mendiamkan pendapat (aqwal) sahabat dan tabi’in dalam penafsirannya, ketiga,
memahami al Qur`an memiliki makna dzahir dan bathin, keempat,
gaya bahasa (uslub), kelima, tahrif al Qur`an.
Walaupun terdapat beberapa perbedaan
fundamental yang kental di antara tradisi tafsir sunni dan syiah, tetapi
janganlah perbedaan tersebut mengakibatkan umat Islam jadi terpecah-belah.
Seharusnya paradigma yang digunakan adalah dengan melihat titik-temu diantara
kedua madzhab tersebut. Sebab, titik-temu tersebut merupakan suatu keniscayaan,
sedangkan penyatuan madzhab merupakan kemustahilan.
B.
Kritik dan
Saran
Salah satu motto orang yang
beriman adalah tawashaubil haq yang
dapat diterjemahkan dalam ranah akademik yaitu kritik dan saran yang membangun
ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan dorongan
dan kritik yang menjadi koreksi untuk kegiatan penulisan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
al Buhairi, Mamduh Farhan. 2001. Gen
Syiah: Sebuah Tinjauan Sejarah, Penyimpangan Aqidah dan Konspirasi Yahudi. terj.
Agus Hasan Bashari. Jakarta: Darul Falah.
al Dzahabi,
Muhammad Husain. 1976. al-Tafsir wa
al-Mufassirun, Juz II. Kairo: Maktabah Wahbah.
Faudah, Mahmud Basuni. 1977. Cet.1. Tafsir-tafsir
Al-Qur’an. terj. Moechtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid. Bandung: Penerbit
Pustaka.
Gusmian, Islah. 2013. Khazanah Tafsir
Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi. Yogyakarta: LKiS.
Goldziher, Ignaz. 2010. Cet. V. Mazhab
Tafsir, terj. M. Alaiksa Salamullah, dkk. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hitti, Philip K. 2005. History of The
Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta.
Mattson, Ingrid. 2013. Ulumul Qur`an
Zaman Kita: Pengantar untuk Memahami Konteks, Kisah dan Sejarah al Qur`an,
terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman.
Mustaqim, Abdul. 2012. Dinamika Sejarah
Tafsir al Qur`an. Yogyakarta: Adab Press.
al Musawi, Mamduh Farhan. 1992. Dialog
Sunnah Syi’ah. terj. Muhammad al Baqir. Bandung: Mizan.
al Qummi, Abu Hasan Ali bin Ibrahim. 1302
H. Tafsir al Qummi. Iran: Dar al Kitab.
Rafi’i, Musthafa. 2013. Islam Kita:
Titik Temu Sunni-Syiah. Tangerang: Fitrah.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al
Mishbah Volume 8. Jakarta: Lentera Hati.
_______________. 2013. Lentera Al Qur’an.
Bandung: Mizan.
Suryadilaga,
Alfatih. 2009. Konsep
Ilmu dalam Kitab Hadis: Studi atas Kitab al Kafi Karya al Kulaini. Yogyakarta:
Teras.
al Thabathaba`i, Muhammad Husain. 1997. al
Mizan fi Tafsir al Qur`an. Beirut: Muassasah al A’lami lilmathbu’at.
Sumber Internet:
Diakses melalui
web http://vb.tafsir.net/tafsir4266/#.VIjz-2QtcVk pada tanggal 11 Desember 2014 pukul 8:35
[3] Ingrid Mattson, Ulumul Qur`an Zaman Kita: Pengantar
untuk Memahami Konteks, Kisah dan Sejarah al Qur`an, terj. R. Cecep Lukman
Yasin, (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 260
[5] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an,
terj. Moechtar Zoerni dan Abdul Qadir Hamid (Bandung: Penerbit Pustaka, cet I,
1977), hlm. 119
[6] Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, Juz II (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 5
[11] Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R.
Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2005), hlm. 569
[14] Lihat Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M.
Alaiksa Salamullah, dkk, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010, Cet. V), hlm. v-vii
[17] Alfatih
Suryadilaga, Konsep Ilmu dalam Kitab Hadis: Studi atas Kitab al Kafi Karya
al Kulaini, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 17
[19]
Diakses melalui web http://vb.tafsir.net/tafsir4266/#.VIjz-2QtcVk
pada tanggal 11 Desember 2014 pukul 8:35
[20] Mamduh Farhan al Buhairi, Gen Syiah: Sebuah
Tinjauan Sejarah, Penyimpangan Aqidah dan Konspirasi Yahudi, terj. Agus
Hasan Bashari, (Jakarta: Darul Falah, 2001), hlm. 162
[23]
Diakses melalui web http://vb.tafsir.net/tafsir4266/#.VIjz-2QtcVk
pada tanggal 11 Desember 2014 pukul 8:35
[29] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari
Hermeneutika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 209.
[30] Merupakan
tafsir-tafsir syiah Itsna ‘Asyariyah, lebih lengkap lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun…, hlm. 32-33
[31] Merupakan
tafsir-tafsir syiah Zaidiyah, lebih lengkap lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa
al-Mufassirun…, hlm. 208-209
[32] Abu Hasan Ali bin Ibrahim al Qummi, Tafsir al Qummi,
(Iran: Dar al Kitab, 1302 H), jilid 2, hlm. 103
[34] Lihat Muhammad Husain at Thabathaba`i, al Mizan fi
Tafsir al Qur`an, (Beirut: Muassasah al A’lami lilmathbu’at, 1997) jilid
15, hlm. 122-125
[36] A. Syarafuddin al Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, terj.
Muhammad al Baqir, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 196
Comments