Makalah Ulumul Qur'an | Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits

Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang tidak pernah habis muatan ilmunya. Teksnya yang suci selalu dikaji dari masa ke masa, karena kandungan maknanya selalu memiliki makna lain untuk di tafsirkan.
Penelitian dalam al-Qur’an dilakukan dari beberapa aspek keilmuan, untuk menerjuni suatu ilmu apapun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar tertentu. Ia terlebih dahulu perlu mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai ilmu tersebut, dan ilmu-ilmu lain sebagai kadar penunjang yangdiperlukan dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut. Contohnya al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir terpusat dealam kaidah-kaidah bahasa.
Dan salah satunya akan kita bahas dalam pertemuan kali ini yaitu kaidah dlomir, tadzkir dan ta’nits. Sebagai upaya penghematan terhadap penggunaan kalimat, termasuk juga di dalamnya pengefektifan kalimat, maka dhamir merupakan salah satu alternatif yang tepat. Penggunaan dhamir ini sangat besar manfaatnya dalam upaya menafsirkan Alquran.
Dari pemaparan diatas pemakalah merasa penting untuk membahas kaidah tersebut yang akan kami sajikan berdasarkan kemampuan kami.
B.     Rumuasan Masalah

1.      Bagaimana kaidah dlomir dalam al-Qur’an ?
2.      Bagaimana kaidah tadzkir dalam al-Qur’an ?
3.      Bagaimana kaidah ta’nits dalam al-Qur’an ?
4.      Bagaimana membedakan antara kaidah tadzkir dan ta’nits ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kaidah Dhomir[1]
Pada dasarnya diletakannya dhomir adalah untuk meringkas pembicaraan (للاختصار). Dhamir itu menggantikan lafad-lafad yang banyak dan menempatinya dengan sempurna.[2] Seperti dhomir “هم” dalam firman Allah surat Al-Ahzab ayat 35;
أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما
Artinya: “Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dhomir tersebut menduduki 25 kalimat apabila didatangkan dalam bentuk isim dhohir.
Dhamir memerlukan tempat kembali yang disebut marji’. Tempat ini berupa kata yang mendahuli dan harus sesuai dengannya. Contoh firman Allah surat Al-Ahzab ayat ;
ونادى نوح ابنه
“Dan Nuh telah menyeru anaknya”.
Atau yang mendahuluinya mengandung lafad yang dimaksud dhomir. Contoh firman Allah surat Al-Maidah ayat 8 ;
اعدلوا هو أقرب للتقوى
"Berlakulah adil; keadilan itu lebih dekat kepada taqwa".
Dhomir هو kembali pada kata العدل yang tekandung dalam lafal اعدلوا
Atau lafal yang mendahuluinya, menunjukan pada dhomir itu dengan jalan iltizam. Sperti firman Allah surat Al-Baqarah ayat 178 ;
فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف و أداء إليه بإحسان
"Barang siapa yang mendapat maaf dari saudaranya (wali yang terbunuh), maka hendaklah yang memaafkan itu mengikuti (meminta diyat) dengancra yang baik dan hendaklah yang diberi maaf membayar kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula".[3]
Dhomir pada kata إليه kembali pada kata عافيا , yang keberadaanya karena adanya kata عفي
Atau terkadang marji’ berupa kata yang diakhirkan dari dhomir yang sesuai yang bukan pada kedudukanya. Seperti firman Allah surat Thoha ayat 67;
فاوجس في نفسه خيفة موسي
“Maka Musa merasa takut dalam hatinya”
Atau diakhirkan dalam kedudukanya. Seperti firman Allah surat Al-Ikhlas ayat 1
قل هو الله احد
“Dan katakanlah(Muhammad), Dialah Allah Yang Maha Esa”
Atau berupa kata yang diakhirkan yang ditunjukan dengan jalan Iltizam. Seperti firman Allah surat Al-Waqi’ah ayat 83 ;
فلولا اذا بلغت الحلقوم
“Apabila nyawa telah sampai di kerongkongan”
Dhomir pada kata بلغت , yakni nyawa dapat dipahami dari dilalah kata الحلقوم.
Terkadang marji’ difahami dari susunan kalimatnya. Seperti firman Allah surat Ar-Rahman ayat 26 ;
كل من عليها فان
“Setiap orang yang diatasnya (bumi) akan lenyap”
Terkadang dhomir kembali pada kata yang disebutkan bukan pada maknanya. Contoh QS Fathir ayat 11: 
وما يعمر من معمر ولاينقص من عمره
“Dan tidak dipanjangkan umur seseorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya”.
Terkadang dhomir kembali pada sebagian kata yang mendahuluinya. Contoh QS An-Nisa’ ayat 11;
فاءن كن نساء  dari lafad يوصيكم الله في اولادكم
Terkadang kembali pada maknanya. Contoh QS An-Nisa’ ayat 176;
فاءن كانتا اثنتين فلهما الثلثان مما ترك
“Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.”
Dhomir كانتا kembali pada makna الكلالة  yang berkaitan dengan dua orang sedang lafad  الكلالة  sendiri adalah mufrad.
Terkadang dhomir kembali kepada sesuatu dan yang dimaksud adalah janis darinya. Contoh QS An-Nisa’ ayat 135;
وان يكن غنيا او فقيرا فالله اولي بهما
“Jika dia yang terdakwa kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya)”.
Terkadang disebutkan dua perkara, dan dhomir kembali pada saah satunya yang pada umumnya kembali pada lafad yang kedua. Contoh QS Al-Baqarah 45;
واستعينوا بالصبر والصلاة وانها لكبيرة الا علي الخاشعين
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan sholat itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”
Terkadang dhomir di tatsniyyahkan dan kembali pada salah satu kata yang disebutkan. Contoh QS Ar-Rahman ayat 22;
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ
Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.
Terkadang dhomir didatangkan berhubungan dengan sesuatu yang selainnya. Contoh QS Al-Mukmin 12,13;
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ (١٢) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)”.
Terkadang dhomir kembali pada sesuatu yang berhubungan dengannya. Contoh QS An-Nazi’ah ayat 46;
لَمْ يَلْبَثُوا إِلا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari ”.
Yang dimaksud dhomir pada lafad أَوْ ضُحَاهَا adalah pada pagi harinya.

B.     Kaidah Ta’nits

Mu'annats ada dua macam, yaitu hakiki dan tidak. Pada mu'annats hakiki maka ta' ta'nits yang terdapat pada fi'il umumnya tidak dibuang, kecuali jika ada pemisah antara mu'annats itu dengan fi'ilnya. Adapun pada mu'annats yang bukan hakiki maka membuang ta' nya jika ada pemisah adalah lebih baik seperti فمن جاءه موعظة من ربه  (Barang siapa ketika datang nasihat dari tuhannya kepadanya) (Q.S. al-Baqarah: 275) dan قد كان لكم ءاية (Telah ada bagi kalian itu sebuah ayat) (Q.S. Ali-Imaran: 13). Jika pemisahnya semakin panjang maka membuangnya menjadi semakin lebih baik, seperti: وأخذ الذين ظلموا الصيحة (Dan suara keras yang mengguntur itu menimpa orang-orang yang berbuat aniaya) (Q.S. Hud: 67).
            Sebagian ulama mengisyaratkan bahwa membuangnya lebih baik, dalilnya adalah Allah lebih mendahulukannya daripada menetapkannya, ketika menggabungkan anatara keduanya. Boleh juga membuangnya tanpa pemisah jika penyandarannya pada dhohirnya. Tetapi jika penyandarannya pada dhomirnya, tidak diperbolehkan.
            Jika terdapat dhomir atau isyarat antara mubtada' dan khabar, yang salah satunya adalah mudzakkar dan yang lain mu'annats maka dlomir dan isyaratnya boleh mudzakkar dan boleh mu'annats, seperti قال هذا رحمة من ربي (Dia berkata, "Ini adalah rahmat dari Tuhanku") (Q.S. al-Kahfi: 98). Isim isyarah yang digunakan adalah mudzakkar sedangkan khabarnya adalah mu'annats, karena benda yang ditunjuk adalah as-saddu.[4]
            Dalam gramatika Arab dibedakan antara kata untuk menyebutkan perempuan (mu'annats) dan kata untuk menyebutkan laki-laki (mudzakkar). Hal ini berfungsi untuk mengidentifikasi khitab atau yang dituju oleh sebuah pernyataan. 
            Azizah Fawal menyebutkan beberapa tanda mu'annats, antara lain sebagai berikut:
1.         Ta' marbuthah ( ة ) di akhir kata benda. Contoh: mar'ah ( مرأة )
2.         Alif maqshurah ( ى ) pada akhir kata benda. Contoh: mushalla ( مصلى ).
3.         Alif mamdudah sesudahnya hamzah. Contoh: shahra' ( صحراء ).
4.         Ta' sakinah di akhir kata kerja. Contoh: qara'at (قرأت  )

C.    Kaidah Tadzkir
Dalam tata bahasa Arab, dikenal adanya penggolongan Isim ke dalam Mudzakkar / tadzkir (laki-laki) atau Muannats / ta’nits (perempuan). Penggolongan ini ada yang memang sesuai dengan jenis kelaminnya (untuk manusia dan hewan) dan adapula yang merupakan penggolongan secara bahasa saja (untuk benda dan lain-lain).
Apabila pembaca telah memahami kaidah ta’nits atau muannas yang dijelaskan diatas maka akan mudah untuk memahami kaidah mudzakar atau tadzkir karena ini hanya diibaratkan sebagai kebalikannya saja,[5] contoh tadzkir atau mudzakkar;
·                                             عِيْسَى         = (‘isa)
·                                             اِبْنٌ          = ( putera)
·                                             بَقَرٌ          = ( sapi jantan)
·                                             بَحْرٌ         = ( laut)
Namun ada pula beberapa Isim Mudzakkar yang menggunakan Ta Marbuthah.( ة ) Contoh: حَمْزَة (= Hamzah), طَلْحَة (= Thalhah), مُعَاوِيَة (= Muawiyah)
Isim mudzakkar terbagi dua pula sama seperti isim muannas;
Yang pertama, mudzakkar haqiqi (مذكر حقيقي) yakni mudzakkar yang menunjukkan manusia dan hewan.
Contoh :

أَبٌ         (abun) = bapak

أَسَدٌ (asadun) = singa

Yang kedua mudzakkar majazi (مذكر مجازي) yakni mudzakkar yang tidak menunjukkan manusia dan hewan.
Contoh :

بَيْتٌ (baitun) = rumah

إِنَاءٌ (inaaun) = bejana



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
                               I.            Kaidah dhomir
فَمَا لِذِي غَيْبَةٍ أوْ حُضُورِ ¤ كَأَنْـتَ وَهْـوَ سَمِّ بِالضَّمِيْر[6]ِ
Setiap Isim yang menunjukkan arti ghaib dan hadir seperti contoh: انت dan هم , maka namakanlah! Isim Dhomir.
                            II.            Kaidah mudzakar dan mu’annas
1. Mudzakkar adalah isim yang menjelaskan makna laki-laki, isim mudzakkar dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a. Mudzakkar Hakiki;
b. Mudzakkar Majazi.
2. Mu’annats adalah isim yang menjelaskan makna perempuan, isim mu’annats dapat dibagi menjadi empat yaitu :
a. Mu’annats lafdzi
bMu’annats hakiki
c. Mu’annats maknawi
d. Mu’annats majazi
3. Menurut Azizah Fawal menyebutkan beberapa tanda mu'annats, antara lain sebagai berikut:
·         Ta' marbuthah ( ة ) di akhir kata benda. Contoh: mar'ah ( مرأة )
·         Alif maqshurah ( ى ) pada akhir kata benda. Contoh: mushalla ( مصلى ).
·         Alif mamdudah sesudahnya hamzah. Contoh: shahra' ( صحراء ).
·         Ta' sakinah di akhir kata kerja. Contoh: qara'at (قرأت  )
Isim-isim yang dapat dipakai untuk mudzakkar dan mu’annats adalah isim sifat,dan isim mushdar.



DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthy, Al-‘Itqan fii ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Darruturats, 2009)
Hasbi Ash-Shidiqqieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Abdhushomad M.adib, memahami bahsa al-quran, pustakapelajar,tahun 2002
Zakaria Ahmad. Ilmu Nahwu Praktis, al- kalimah, Ibnu Azka press. Tarogong, Garut, 2014
Imam Suyuti, Ulumul Qur'an II, (Solo. Indiva Media Kreasi, 2009)




[1] Jalaluddin ‘Abdurrahman As-Suyuthy, Al-‘Itqan fii ‘Ulumil Qur’an, (Kairo: Maktabah Darruturats, 2009), hlm. 524.
[2] Hasbi Ash-Shidiqqieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 262.
[3] Abdhushomad M.adib, memahami bahsa al-quran, pustakapelajar,tahun 2002, hal 31-36
[4] Imam Suyuti, Ulumul Qur'an II, (Solo. Indiva Media Kreasi, 2009) hal. 52
[5] Zakaria Ahmad. 2004. Ilmu Nahwu Praktis, al- kalimah, Ibnu Azka press. Tarogong, Garut. Hal. 24
[6] Al-fiah bait 54

Comments

Popular posts from this blog

contoh hasil penelitian ilmu rijal al-hadis

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty