Taubat Menurut F. M. Denny

Pendahuluan
Setiap manusia hidup di dunia ini tidak terlepas dari berbuat dosa. Ada orang yang melakukan perbuatan dosa secara sengaja dan ada pula yang tanpa disadari atau memang tidak tahu sama sekali. Maka dalam hal ini Allah SWT memberi jalan kepada manusia untuk memilih tetap dalam dosa atau ingin mendapatkan ampunan. Jika manusia memilih mendapat ampunan maka Allah telah memberi kesempatan kepada manusia untuk bertaubat.
Jika seseorang mendapat penyakit yang disebabkan oleh dosa-dosa  yang diperbuatnya, maka ia harus bertaubat. Itulah cara  pengobatan yang Allah SWT berikan kepada mereka yang mendapat penyakit secara metafisik.  Karenanya jalan keluar bagi orang yang berdosa hanya bertaubat.[1]
Al-Qur’an sebagai pedoman dasar hidup juga banyak menyebutkan ayat tentang taubat. Di antaranya adalah sebagaimana dalam Surat At-Taubah ayat 3, yang artinya:
 “Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, Maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Dalam menjelaskan tentang taubat, kata taubat itu sendiri banyak ditafsirkan oleh sarjana muslim, bahkan ada pula orientalis yang juga memaknai taubat seperti Frederick Mathewson Denny. Untuk membatasi pembahasan yang ada tentang taubat ini, setidaknya pemakalah mencoba untuk membagi menjadi beberapa rumusan masalah yaitu: Definisi dan pembagian taubat, biografi singkat F. M. Denny, taubat menurut F. M. Denny, taubat menurut Ulama Muslim, perbedaan dan persamaan penafsiran taubat menurut F. M. Denny dan Ulama Muslim, dan yang terakhir adalah analisis.


Pembahasan
A.    Definisi dan Pembagian Taubat
Dalam Bahasa Arab, kata taubat diambil dari huruf ta’, wawu, dan ba’, yang menunjukkan pada arti pulang (al-ruju’) dan kembali (al-‘audah). Dalam KBBI offline, kata taubat di artikan dengan sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan. Adapun maksud taubat dari Allah adalah pulang kepada-Nya, kembali ke haribaan-Nya, dan berdiri di depan pintu surga-Nya. Taubat sendiri sebenarnya merupakan satu amalan yang terlahir dari adanya ilmu, penyesalan, dan keinginan yang berkaitan dengan sikap meninggalkan pada masa kini dan masa yang akan datang, serta memperbaiki apa yang telah terjadi pada masa lalu sebagai merupakan tiga proses yang berurutan.[2]
Taubat baru dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila telah mencukupi syarat-syarat yang ditentukan. Oleh karena itu, Imam Al-Qusyairi menerangkan bahwa para ahli Tauhid dari golongan Ahlusunnah Wal Jama’ah mengatakan bahwa syarat taubat yang sah ada tiga : (1) menyesal terhadap perbuatan maksiatyang telah dilakukannya, (2) meninggalkan perbuatan maksiat itu, dan (3) bercita-cita untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu. Syarat-syarat ini menyangkut dosa terhadapa Allah SWT, sedangkan untuk dosa terhadap sesama manusia ditambah lagi syarat yang ke (4), yaitu kalau dosa itu menyangkut harta, hendaklah harta itu dikembalikan pada pemiliknya, dan jika tidak ada pemiliknya dikembalikan kepada ahli warisnya. Kalau dosa itu menyangkut kehormatan, hendaklah meminta maaf, demikian juga jika menyangkut ajaran yang salah yang pernah diberikan kepada orang lain.[3]
Para ulama berbeda pendapat dalam menggolongkan macam-macam taubat. Beberapa ulama menyepakati penggolongan taubat menjadi tiga macam:
(1)   Taubat, yaitu kembali dari kejahatan pada ketaatan karena takut akan murka dan siksa Allah SWT (QS. An-Nur: 31).
(2)   Inabat, yaitu kembali dari yang baik kepada yang lebih baik karena mengharap pahala (QS. Qaaf: 32-33).
(3)   Awbah, yaitu orang-orang yang bertaubat bukan karena takut siksaan bukan pula karena mengharap tambahan pahala, tetapi karena mengikuti perintah Allah SWT (QS. Shaad: 30).[4]

B.     Biografi F. M. Denny
               Nama lengkap F. M. Denny adalah Frederick Mathewson Denny. Frederick Mathewson Denny adalah Profesor Emeritus Studi Islam dan sejarah agama di Universitas Colorado di Boulder. Alumnus College of William and Mary dan Andover Newton Theological School, ia telah menyelesaikan gelar MA dan Ph.D. dari University of Chicago dan telah sebelumnya diberikan amanat untuk  mengajar di Yale College dan Universitas Virginia.
               Saat ini dia lebih banyak aktif meneliti dan menulis, terutama hal yang berkenaan dengan Islam dan hak asasi manusia, agama dan ekologi, kartografi yang berfokus pada agama, dan sejarah dan pemikiran Unitarian Universalist
Dalam perkembangan akademiknya, dia adalah seorang lulusan sekolah dari Andover Newton Theological School pada tahun 1965; sedangkan gelar MA dan Ph.D diselesaikan di University of Chicago pada 1969 dan 1974. Denny adalah Profesor Emeritus Studi Islam dan Sejarah Agama, yang bertugas di fakultas CU Studi Agama dari tahun 1978 hingga 2005. Sebelum itu dia memegang sebuah posisi fakultas di Studi Agama di Colby Junior College for Women (di New London, NH, sekarang Colby-Sawyer College, sebuah lembaga co-pendidikan empat tahun), Yale University, dan University of Virginia.
Denny adalah editor pendiri (sejak tahun 1985) dari University of South Carolina dari seri buku ilmiah Studies in Comparative Religion, yang saat ini telah menghasilkan 35 judul yang diterbitkan.
Dia juga bertugas di dewan editorial lima jurnal ilmiah (The Muslim World, Jurnal Studi Ritual, Pengajaran Teologi dan Agama, The Journal Hukum dan Kebudayaan Islam, Studi Islam Kontemporer). Dia bersama John Corrigan (Yahudi), Carlos Eire (Kristen), dan Martin Jaffee (Muslim) menulis: Sebuah Pengantar Perbandingan Tauhid Agama (2 volume, Prentice-Hall: 1998; 2nd edition muncul pada tahun 2011). Dia adalah editor utama untuk Atlas Agama-agama Dunia, edisi ke-2 (Oxford University Press, 2007).
Di bidang layanan profesional, Denny menjabat selama enam tahun di dewan nasional Theta Alpha Kappa: National Honor Society for Religious Studies / Teologi (bab adalah Alpha Beta Theta, didirikan pada tahun 1994) dan selama sebelas tahun di nasional dewan direksi dari American Academy of Religion.
Pada saat ini dia aktif meneliti dan menulis tentang Islam dan Muslim di dunia kontemporer, agama dan ekologi (hukum air khususnya Islam dan adat istiadat), agama dan hak asasi manusia, dan pemikiran Unitarian Universalis dan hymnody dalam sejarah dan masa kini. Bidang menarik di sekitarnya juga mencakup studi Al-Qur'an, ritual komparatif, kehidupan Muslim di Malaysia dan Indonesia, dan Islam dan komunitas Muslim di Amerika Utara.[5]

C.    Taubat menurut F. M. Denny
Akar kata taubat yang paling menonjol, baik di dalam sering munculnya maupun dalam cakupan maknanya, adalah ta’, wawu, ba’, yang kemudian menjadi kata taubah.[6] Menurut F. M. Denny, taubat secara literal adalah kembali. Jika digunakan kepada taubatnya manusia artinya adalah kembalinya seseorang kepada Allah setelah berdosa dan bersalah, dan jika digunakan kepada taubatnya Allah maka artinya Allah berpaling kepada orang yang bertaubat dengan kasih.[7]
Tuhan menerima taubat manusia manakala manusia bertaubat kepada-Nya, seperti dalam 4:17 dan 5:39. Ada bukti bahwa Tuhan cenderung untuk menerima taubat manusia sebelum terjadinya perbuatan yang sebenarnya Dia inginkan. “Allah ingin menjelaskan kepadamu dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu dan menerima taubatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah ingin menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya ingin supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah ingin memberikan keringanan kepadamu, (karena) manusia itu diciptakan bersifat lemah. (4: 26-28).
Salah satu rangkaian ayat mengenai taubat yang paling menyentuh dan jelas ada di Surat al-Taubah ayat 117-118. “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi dan kaum Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang tertinggal (tidak ikut perang), hingga apabila bumi telah menjadi (terasa) sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (terasa) sempit bagi mereka dan mereka memandang bahwa tidak ada tempat lari dari Allah kecuali kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah itu Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Denny menceritakan, bahwa rangkaian ayat tadi merujuk pada pertempuran di utara Tabuk dalam situasi yang sangat panas, tanpa makanan, air dan perbekalan yang cukup di bulan Oktober sampai Desember tahun 630. Semua orang mukmin yang mampu fisiknya ikut berperang kecuali tiga orang Anshar.
Taubat bagi tiga orang Anshar merupakan suatu pelajaran bagi kedisiplinan. Ini adalah salah satu aspek yang paling penting dari ajaran al-Qur’an mengenai taubat, yang harus dilihat sebagai lebih dari sekadar suatu perbuatan satu kali (sebagaimana dikesankan oleh penyamaan sederhana dengan kata bahasa inggris “convertion”). Sebagai contoh, dalam 4: 18, kita melihat bahwa orang yang bertaubat pada saat ajal sudah dekat, maka taubatnya tidak akan diterima. Akan tetapi orang yang berdosa dalam ketidaktahuannya lantas bertaubat maka taubatnya bisa diterima. Tuhan akan teris menerus mengampuni orang-orang berdosa yang bertaubat. Sesungguhnya taubat yang tulus dan mengerjakan amal soleh akan menjadikan Allah mengganti kejahatan seseorang dengan kebajikan (25: 70).
Jadi, tidak hanya sekedar taubat, tetapi diperlukan taubat plus amal. Kadangkala, kita menemui ayat-ayat semacam yang berikut: “Maka barangsiapa bertaubat (taba) sesudah melakukan kejahatan itud dan memperbaiki diri (wa aslaba), maka sesungguhnya Allah menerima taubat (yatubu)-nya. Taubat bukanlah sekadar suatu pro forma mendaftarkan kesedihan seseorang atas dosanya, tetapi suatu sikapyang disertai niat dengan dilandasi perbuatan yang positif berusaha menjaga dirinya pada jalan yang lurus di masa datang. Hal ini menuntut suatu kehidupan beragama yang penuh disiplin, karena kelemahan manusia dan godaan syaitan selalu siap untuk merusak orang yang tidak waspada dan secara ruhaniah malas. Menurut suatu hadis yang shahih, Muhammad bersabda: “Saya bersumpah demi Allah bahwa saya mohon ampun pada Allah dan bertaubat pada-Nya lebih dari tujuh puluh kali sehari” (Bukhari, di dalam Misykat, II: 493). Menurut al-Qur’an dan menurut Muhammad taubat harus menjadi suatu kebiasaan.[8]

D.    Taubat menurut Ulama Muslim
Menurut Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin, taubat merupakan istilah yang terbangun dari tiga variabel, yaitu ilmu, keadaan, dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah keimanan dan keyakinan. Keimanan merupakan ungkapan dari pembenaran bahwa perbuatan dosa itu adalah racun yang mematikan, sedangkan keyakinan merupakan ungkapan dari penegasan terhadap pembenaran tersebut, pengingkaran atas pengetahuan, dan memenangkannya terhadap hati.[9]
Menurut Sahl Ibn Abdullah, “Siapa yang berpendapat bahwa taubat itu tidak wajib maka ia adalah kafir”. Sedangkan menurut salah seorang ulama yakni Abu Bakr al-Waraq menguraikan tentang taubat bahwa batasan taubat adalah bertekad untuk tidak mengulangi dosa yang telah lalu dan tidak melakukan dosa yang sama yang pernah dilakukannya karena mengagungkan Allah dan takut akan siksa-Nya.[10]
Menurut al-Qurthubi, ulama-ulama Islam telah bersepakat bahwa taubat itu hukumnya fardlu ‘ain, seperti yang dijelaskan dalam bukunya Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Secara spesifik, Ibnu Qudamah al-Muqaddasi juga menjelaskan bahwa para ulama telah menyepakati tentang wajibnya melakukan taubat dari perbuatan dosa, karena dosa merupakan sesuatu yang menghancurkan dan menjauhkan manusia dari Allah.[11]
Sedangkan menurut salah satu ulama dan mufassir Indoensia Quraish Shihab mengemukakan bahwa persyaratan mengeni pertaubatan di atas harus ada pengetahuan, kejiwaan (psikologis), dan aktivitas (pengamalan). Ketiganya tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Menyatu dalam satu kesatuan. Orang yang sedang melakukan pertaubatan diharapkan menbaca istighfar, tetapi orang yang membaca istighfar belum tentu dapat dikatakan sebagai orang yang bertaubat. Sebab subtansi taubat sendiri itu terdapat dalam hati. Hanyalah Tuhan yang mengetahui.[12]

E.     Perbedaan dan Persamaan Penafsiran F. M. Denny dan Ulama Muslim
Pada dasarnya tidak terlalu banyak perbedaan antara F. M. Denny dengan Ulama Muslim sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hanya saja beberapa poin yanh perlu diperhatikan yang membedakan F. M. Denny dengan Ulama Muslim adalah (1) Denny mengelompokkan taubat menjadi dua, (2) aspek dari taubat yang terpenting yaitu sebagai kedisiplinan, dan (3) taubat seharusnya didukung dengan amal ibadah dari seorang yang bertaubat (taubat plus).
Sedangkan persamaan antara F. M. Denny dengan Ulama Muslim yaitu: (1) mereka sama-sama mengambil rujukan dari al-Qur’an dan al-Hadis, (2) taubat merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi umat Islam, dan (3) secara umum, mereka sama-sama mendefinisikan bahwa taubat adalah meminta ampunan kepada Allah atas dosa dan kesalah manusia.



Penutup
F.     Analisis
Menurut kelompok kami, F. M. Denny merupakan orientalis yang bersikap akademis. Artinya, segala kajian tentang al-Qur’an yang ia hadapi tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi maupun golongan (agama) ia sendiri. Hal itu terbukti bahwa pengambilan rujukannya dalam menjelaskan tentang konsep taubat langsung kepada ayat-ayat al-Qur’an dan juga hadis. Selain itu, ia juga tidak mencoba membandingkan kajian keislamannya dengan agama-agama lain yang nantinya bisa menjadi anti-tesis dari penjelasannya tentang Islam.
Dalam menerangkan perihal taubat, Denny jeli dalam mengupas ayat. Yaitu dengan meneliti ulang sebab ayat-ayat tersebut turun (Asbabun Nuzul), baru kemudian ia merefleksikan dengan penjelasannya sendiri lalu mengambil kesimpulan. Beberapa hal yang terlihat berbeda antara kajiannya dengan Ulama Muslim, yaitu tentang sumber dukungan dalam menjelaskan. Denny yang berlatar belakang dari Barat (outsider), dalam memahami Islam ia banyak mengambil rujukan-rujukan sekunder dari buku-buku karya sarjanawan Barat yang lain. Sedangkan Ulama Muslim (insider), dalam memahami agamanya sendiri cukup mengambil rujukan-rujukan dari kitab-kitab karya Ulama Muslim yang lain. Kalaupun ada yang mengambil sumber sekunder selain dari Ulama Muslim, kemungkinannya sangatlah kecil, atau jika ada biasannya Ulama tersebut termasuk golongan akademisi.
Dari kedua perspektif yang ada, kelompok kami menyimpulkan bahwa definisi taubat pada dasarnya tidak jauh satu sama lain. Secara literal, taubat bermakna kembali. Orang yang bertaubat adalah orang-orang yang menyesali perbuatan dosanya dan memohon ampunan dari Allah. Dalam penjelasan di surat-surat al-Qur’an, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Denny, Allah selalu menerima taubat hamba-Nya meskipun itu ialah dosa besar. Allah SWT hanya tidak menerima taubat manusia jika ia sudah sampai mendekati ajalnya atau sedang dalam keadaan sekarat.
Daftar Pustaka

Hasan, Maimunah.  Al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, Bintang Cemerlang, Yogyakarta,  2001
Hidayat, M. Syaiful dan Yunus Hanis Syam, Mengetuk Pintu Taubat. Yogyakarta: Mutiara Media, 2009
Sobari, Abdul Manan bin Haji Muhammad, Keagungan Rajab dan Sya’ban. Jakarta: Penerbit Republika, 2006
https://rlst.colorado.edu/content/denny-frederick diakses pada tanggal 7 April 2015
Denny, F. M. Kosakata Taubat dalam al-Qur’an: Arah dan Sikap, terj. M. Yusron, dalam “Suara Muhammadiyah”, No. V, th. 1997, ke. 82
Huda,Muhammad. Hadis tentang Taubat dari Suatu Dosa tetapi Masih Melakukan Dosa yang Lain. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009)
El-Sutha, Saiful Hadi. Kado Terindah Untuk Orang Berdosa. (Surabaya: Penerbit Erlangga, 2012)
Susetya, Wawan. Cermin Hati. (Solo: Tiga Serangkai, 2006)




[1] Maimunah Hasan, Al-Qur’an dan Pengobatan Jiwa, (Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2001) hlm. 41
[2] M. Syaiful Hidayat dan Yunus Hanis Syam, Mengetuk Pintu Taubat. (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009) hlm. 13-16
[3] Abdul Manan bin Haji Muhammad Sobari, Keagungan Rajab dan Sya’ban. (Jakarta: Penerbit Republika, 2006) hlm. 13-14
[4] Abdul Manan bin Haji Muhammad Sobari, Keagungan Rajab dan Sya’ban. (Jakarta: Penerbit Republika, 2006) hlm. 14
[5] https://rlst.colorado.edu/content/denny-frederick diakses pada tanggal 7 April 2015
[6] F. M. Denny, Kosakata Taubat dalam al-Qur’an: Arah dan Sikap, terj. M. Yusron, dalam “Suara Muhammadiyah”, No. V, th. 1997, ke. 82, hlm. 45
[7] Muhammad Huda, Hadis tentang Taubat dari Suatu Dosa tetapi Masih Melakukan Dosa yang Lain. (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009) hlm. 20.
[8] F. M. Denny, Kosakata Taubat dalam al-Qur’an: Arah dan Sikap, terj. M. Yusron, dalam “Suara Muhammadiyah”, No. V, th. 1997, ke. 82, hlm. 45-46
[9] M. Syaiful Hidayat dan Yunus Hanis Syam, Mengetuk Pintu Taubat. (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009) hlm. 13
[10] M. Syaiful Hidayat dan Yunus Hanis Syam, Mengetuk Pintu Taubat. (Yogyakarta: Mutiara Media, 2009) hlm. 17
[11] Saiful Hadi el-Sutha, Kado Terindah Untuk Orang Berdosa. (Surabaya: Penerbit Erlangga, 2012) hlm. 36.
[12] Wawan Susetya, Cermin Hati. (Solo: Tiga Serangkai, 2006) hlm. 115.

Comments

Popular posts from this blog

contoh hasil penelitian ilmu rijal al-hadis

Makalah Ulumul Qur'an | Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty