ANAK KECIL

Oleh: Al Faiz M Robbany T
seketika melewati kota Solo, aku tak sengaja melewati dan melihat sebuah tulisan, “Mari kita jadikan kota Solo sebagai kota ramah dan layak anak (bebas eksploitasi)



Ting-tong, bel berbunyi.
Seorang lelaki berdiri dengan pakaian rapih nan wangi semerbak. Wajar saja, akan menemui perempuan yang memanjakan mata dan menenteramkan hati memerlukan penampilan oke. Lelaki blasteran yang terpanggil sebagai Ben, tidak perlu banyak pertimbangan langsung mendatangi Rin, kekasihnya. Tidak banyak pertimbangan bukan berarti datang dengan tangan kosong. Ia datang dengan membawa bunga.
Bukan sekali atau dua kali Ben dibuat jatuh hati akan keanggunannya. Gadis berambut coklat itu memang satu angkatan pendidikan dengan Ben. “Kau adalah kepingan hatiku yang hilang, Rin.” Igau Ben dalam suatu tidurnya. Rin dikenal Ben ketika Gadis tersebut berpentas membacakan puisi “Sang Nabi” di penghujung acara Gema Ramadan di sekolah. Tak lama, Rin pun muncul dibalik pintu sesaat setelah bel berbunyi. Rupanya ia terlihat sudah bersiap untuk beraktifitas di pagi hari itu.
“Ben?” Seru Rin.
“Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Rin.
Ben bersimpuh di halaman rumah, sementara Rin merasa bingung dengan apa yang akan dilakukan oleh lelaki tersebut. Lelaki bernyali tinggi itu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya.
Rin
Bila mana gerangan hadir di mimpi nyata
bukankah hal itu impian kala kita renta
pada mereka yang sibuk dengan harta
untuk kita yang menangis karena cinta?
Seberapa menitkah kita tersandung rindu?
tak mengerti, kerinduan ini yang menjelma menjadi benalu
tak pantas, mengapa hati ini masih menyimpan cemburu
Rin
kumbang jantan mana yang tak menangis.
ingin mencumbui tangkai bunga yang manis.
yang tentu membuatku semakin meringis.
Bukankah kita adalah makhluk yang tegar?
meskipun suaramu terdengar samar.
meskipun tatapanmu penuh nanar.
biar aku melangkah dengan tegap penuh sabar.
Manakala jiwa ini merindu.
jiwa ini resah, seakan hati yang selalu pilu
menahan hidup, menahan nafas tersengal tersedu.
pada Engkau Rin yang selalu membuatku cemburu.
Rinai-rinai mentari menjadi terang.
titik-titik bintang menjadi benderang.
aku hanya perlu sabar dihadang karang.
tegar, kemudian dihadang!
sabar, kemudian diterjang!
Aku akan menjadi pemenang!
biar kuawali dari barang sehina arang!
lalu malu dihina benalu,
kemudian bangkit setinggi langit.
biar kuhina benalu.
biar kucaci para kumbang-kumbang.
oleh tanganku yang kini t’lah menjadi bintang.
yang sombong menerjang dengan lantang!
Kini aku tidak perlu bumi dan seisinya.
di pegunungan..
banyak bunga-bunga bertebaran.
namun aku hanya menginginkan kamu, Rin.
tak peduli selayu apa gerangan.
diterjang para kumbang bajingan!
Apa? Bajingan? Belum selesai ia membacakan puisinya. Kata yang saru tersebut terdengar oleh ibu Rin. Gordyn pun dibukanya, ibunda melihat seseorang yang nampak berdiri tengah membacakan puisi, sementara Ben terusik kemudian menyadari kehadiran sang ibunda, sontak terkaget. Kini Ben kembali membacakan puisinya dengan volume suara sedikit pelan. Sang ibu menutup kembali gordyn, entahlah apa yang kini dilakukannya.
Biar kubawa ke nirwana.
biar kuikat dan kusimpan kau di singgasana
hendak apa gerangan?
aku yang kini menjadi pelayan.
hendak melayanimu sepenuh jiwa seluruh warna.
hendak membahagiakanmu hingga ujung waktu sirna!

aku yang selamanya mencintai sesederhana apapun Rin..
dengan penuh ke-Ridha-an hakiki.
Engkau yang kucari.
Aku setia, Rin.
“Rin. Kamu mau ngga jadi pacar aku?” suaranya terdengar agak sedikit melempem, sesekali melirik ke arah gordyn.
Sementara, Rin masih belum percaya akan kenyataan yang kini sedang ia hadapi. “Riiiin. Ada tamu kah?” Ibu tiba-tiba membukakan pintu.
“Lho Ben? Kamu ngga pergi sekolah?”
“Ben masuk jam 8, tante.” Jawabnya, kemudian berjalan lalu bersalaman pada ibunda.
“Ada apa ini, pagi-pagi sekali sudah mampir?” tanya sang Ibunda sambil mengelus-elus kepala lelaki tersebut.
“Mama. Katanya boleh ngga Rin jadi pacarnya Ben?” Rin menimpali pertanyaan ibunya dengan bertanya.
Ibu Rin terkejut. Lelaki itu telah membuat peristiwa yang belum pernah dialami selama 46 tahun dalam hidupnya pada pagi hari ini.
“Ben. Kamu kan masih kelas dua SD, begitupula Rin. Kamu masih harus rajin belajar, supaya kelak kamu jadi orang sukses. Katanya kamu kemarin juara lomba adzan? Tuh, kamu udah pintar. Tingkatkan lagi belajarnya, belajar matematika, IPA, agama. Katanya pelajaran matematika kamu di remedial? Kamu udah ganteng, pintar lagi. Tinggal semangat dan belajarnya yang perlu ditingkatkan, Ben. Eh tadi puisi kamu bagus sekali kata-katanya, kamu buat sendiri, Ben?” ujar Ibunda sembari menyindir puisi Ben.
“Aku ambil puisinya Papa yang dibacakan di depan Mama dahulu sebelum mereka menikah, tante.”
Sang ibu menimpalinya dengan senyuman dan anggukan.
“Tante, boleh ngga saya beri Rin hadiah bunga ini?” tanya Ben menyodorkan bunga.”
“Boleh. Terima kasih banyak ya, Nak.” Sang ibu pun mengambil bunga melati sekaligus pot-nya dari tangan Ben. Untung saja kepolosan Ben tidak membuatnya membawa tanaman lidah buaya untuk Rin, gumam ibunda.
“Baiklah. Ben, terima kasih banyak atas kebaikannya ya. Sekarang Rin pamit sekolah dulu. Sampaikan salam tante untuk keluargamu.” Ujar ibunda yang cukup bijak mengelus kepala Ben.
“Mau Ben antar saja tante?” tawar Ben.
“Tidak usah repot-repot Ben, tuh ada supir yang udah siap antar Rin.” Ben pun melihat mobil lexus hitam metallic terparkir sedang dipanaskan. Tak lama, Ben, lelaki blasteran pemberani itu pamit untuk pulang, sementara Rin telah bersiap untuk pergi ke sekolah. Maka belum jauh Ben berjalan, seorang gadis yang memekakan telinganya itu memanggil.
“Ben!” teriak Rin.
“Ada apa lagi, Rin?” tanya ibunda, ia terkejut sekaligus penasaran dengan apa yang akan dilakukan anaknya.
“Ini kempis[1]mu ketinggalan.”
Setengah berlari, Ben memburu kempis yang berada pada tangan Rin. Kemudian mengalungkannya di leher. Lalu sejurus kemudian lelaki itu menyeka ingusnya dan menarik kembali di hidungnya, dan berlari pulang.
“Kasian ya, Ma. Ben lagi pilek.” Keluh Rin pada ibunda.
***
Demikian kutulis ilustrasi tentang anak kecil yang telah mengenal cinta. Padahal, latar kenyataan yang kujumpai tak sekonyol itu, melainkan sesuatu yang sederhana. Sepulang dari mesjid, di teras rumah tetangga, kudengar percakapan dua anak perempuan kisaran SD, saling curhat membicarakan siapa laki-laki yang paling tampan, gebetan dua anak perempuan di sekolahnya. Sesekali kudengar riuh tawa disela-sela pembicaraannya.
Bukan berarti sengaja menguping pembicaraan mereka. Entahlah. Telinga ini menjadi peka setiap kata yang keluar dari mulut anak kecil. Singkatnya, aku tertarik memperhatikan anak kecil. “Hei! Normalkah aku? apa aku pedofil?”. Barangkali aku terbiasa mengasuh lima adik-adikku di rumah, sehingga menghadapi mereka bukanlah perkara yang aneh. Karena ada juga sebagian orang yang tidak suka kehadiran mereka. Ya, Aku mengerti. Ketidak-sukaan mereka beralasan. Sebab kemunculan anak-anak kecil pada waktu yang tidak tepat. Seperti halnya pak Tamsuri yang marah ketika anak-anak kecil ribut di mesjid karena candaannya mengganggu kekhidmatan ibadah. Kebanyakan para jamaah mungkin sependapat dengan bapak itu, tapi aku tidak.
Di perumahanku, Anak-anak kecil sering shalat berjamaah pada waktu maghrib, kulihat memang mereka selalu bercanda dan main-main. Masuk mesjid, setelah iqamat selesai dikumandangkan anak-anak kecil secara berkelompok membuat barisan disebelah kanan, membuat shaff terpisah dengan para jamaah kebanyakannya. Tiba saatnya ruku’, mulailah terdengar cekikikan tawa dan candaan. Lalu, Bruug! Terdengar salah seorang diantara mereka yang jatuh menjadi korban saling dorong, sementara anak-anak kecil yang melihatnya bercekikik tawa tak tertahankan—wah ketahuan deh kalau aku shalatnya ngga bener karena memperhatikan mereka. Uniknya, sebelum imam menyelesaikan ucapan salamnya. Sendal-sendal sudah pergi entah kemana membawa jasad-jasad mereka, padahal kuperhatikan ada di antara mereka yang masbuk, namun ikut-ikutan lari juga. Barangkali sikap mereka yang seperti itu karena takut dimarahi oleh bapak-bapak setelah selesainya shalat.
Keesokan harinya. Kuperhatikan. Tetap saja seperti itu. Padahal sebelum shalat begitu nyaringnya terdengar Pak Tamsuri yang memberi komando dengan menggunakan mikrofon mesjidnya. “Anak-anak yang di luar cepat masuk! Dimohon untuk menjaga kekhusyuan shalat, kalau mau bercanda silahkan di luar mesjid!” anak-anak terhenyak tuk sesaat. Terhitung… satu, dua, tiga! salah seorang di antara mereka akhirnya memulai untuk bercanda (lagi). “Heh! Jangan sekarang, nanti dimarahin (lagi).” Ujar salah seorang dari mereka mengingatkan. Wah wah. Kupikir muncul konflik kecil nih di antara mereka. Ku tunggu reaksi dari mereka, ketika shalat berlangsung—dasar anak-anak—dengan kompaknya mereka pun bercanda (lagi), konflik di antara mereka pun berakhir, barangkali cekikikan tawa bagi mereka telah menjadi rukun shalat. Lusa hari pun demikian halnya. Bapak-bapak yang frustasi sepertinya amnesia bahwa dulu mereka pernah menjadi anak kecil. Entahlah pada masa kecilnya mereka sering ke mesjid atau tidak sebagaimana anak-anak yang pergi ke mesjid dengan semangat. Atau jangan-jangan mereka pergi ke mesjid baru-baru ini tatkala memasuki usia tua? Aku heran, yang dilakukan bapak-bapak hanyalah memperingati anak-anak dengan cara klasik, hanya dengan berbicara, memarahi, tidak ada cara lain selain itu.
Hmmm. Kuakui, manusia pada seusia mereka lagi masa-masanya susah diatur. Ketertarikkan mereka untuk pergi ke mesjid saja sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Meskipun kehadiran mereka di dalamnya selalu bermain-main, namun hal itu tidak boleh tidak, wajib dijadikan kesempatan untuk membina mereka sedini mungkin. Memangnya siapa yang akan meneruskan para jamaah untuk memakmurkan mesjid? Generasi tua kah? Bukankah mereka anak-anak kecil yang dibenci, menyebalkan lagi ingusan? Padahal dalam upaya menghadapi mereka, ketika mereka shalat aku mencoba masuk ke barisan, lalu berdiri di tengah-tengah mereka. Hasilnya? Tidak satu pun dari mereka berani bercanda. Keesokan harinya, aku pun melakukan hal yang sama. Hasilnya pun demikian efektif. Walaupun seperti biasa, sebelum imam menyelesaikan ucapan salamnya, sendal-sendal mereka telah kabur dari tempatnya. Jika saja apa yang kulakukan diperkuat dengan kesadaran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka khususnya, dan anak-anak kecil umumnya dalam pembinaan shalat, pemahaman tersebut tentu akan menjadi bekal berharga di masa mendatang.
Aku semakin tertarik mengamati anak kecil. Pertanyaanku sederhana. Siapa selama ini yang berperan membina agama mereka? Setelah ditelusuri, “oh ternyata ada.” Di perumahanku setiap hari senin sampai jum’at pada pukul 13.45, ada sekolah agama. Aku senang sekali.
Ashar telah tiba, hampir setiap hari kuamati aktifitas mereka termasuk ketika shalat ashar. Sudah kuduga, jumlah mereka yang shalat ashar lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak yang kerap kuperhatikan di waktu maghrib. Oh iya perlu diketahui, anak kecil yang kumaksud dalam tulisan ini usianya berkisar sekolah dasar kelas 2 s/d 4. Shalat pun dilaksanakan, cekikikkan dan tawa mereka meramaikan masjid. Tentu saja, semakin banyak anak-anak yang shalat, hal itu berbanding lurus dengan keramaian mesjid. Haha.
Demikian itu baru anak kecil yang ikut shalat. Belum lagi ada bapak-bapak yang membawa cucu-cucunya yang masih balita, mereka berlari-lari di depan orang yang shalat. “Rame ya, Dik?” kalau saja tidak sedang shalat aku akan berujar demikian pada si adik yang sedang jogging itu. Jangan salah, anak kecil yang berlari-lari diiringi tawa melengking terkadang membuat mata jamaah melirik ke kiri dan ke kanan. Fenomena yang menarik. Bagaimana tidak? Suatu ketika seorang anak kecil berlari dilintasan shaff orang yang shalat, para jamaah saat itu sedang i’tidal, sementara anak kecil belum mencapai garis finish di ujung shaff, para jamaah hendak sujud, itu membuat si anak bingung, ia terlihat tegang, “aku harus lari ke mana?” pikirnya, karena para jamaah yang akan bersujud seakan-akan seperti gelombang yang hendak menggulung makhluk tak berdaya itu. Hoho. Akhirnya si anak kecil pun berdiri diantara kepala jamaah di depannya dan kaki jamaah di belakangnya. Setelah para jamaah mulai duduk di antara dua sujud, secepat kilat si anak kecil yang masih balita itu berlari ke pangkuan ayahnya, sayangnya, ketika  si anak tersebut hendak mencapai ayahnya, jamaah pun kembali hendak sujud, si anak kembali tegang, lalu mendapati sang ayah sudah bersujud, kalau demikian ya terpaksa si anak pun naik ke kepala hingga punggung sang ayah, lalu merangkulnya. Ketika tiba saatnya para jamaah hendak berdiri kembali, giliran sang ayah yang bingung karena sang anak yang telah selamat dari ‘gempuran gelombang’ belum juga turun. Ada-ada saja kelakuan mereka, pasti susunya pakai SGM. Hoho.
Setelahnya dari shalat ashar, ada pula di antara mereka yang masbuk, gerakan mereka cepat sekali, baju mereka pun basah kuyup—aku tidak mengerti bagaimana mereka berwudhu, entahlah dikatakan berwudhu atau… mandi. Aduh, jadi teringat ketika sekolah agama dahulu, dan aku masih sekolah dasar. Dalam hematku, seseorang menjadi basah kuyup, tentu dengan berbagai macam cara. Ketika adzan berkumandang, tiba saatnyalah mengambil air wudhu, di antara teman-temanku ada yang terlebih dahulu mengguyur kepalanya di bawah kran, bisa dibayangkan bagaimana kuyupnya pakaiannya, cukup dengan begitu terlihat seperti sudah wudhu, bahkan sudah mandi. Ada yang wudhunya seperti biasa, namun diakhirnya temanku itu memenuhi mulutnya dengan air kran lalu menyemburkannya pada teman-teman, mereka saling balas, maka baju pun menjadi basah kuyup. Bahkan selain itu, ada pula yang sampai usil memasuki tempat wudhu perempuan, dan menjahili kerudungnya, maka tentu saja, perempuan sebagai makhluk punya rumus “aksi = reaksi” membalas setimpal—bahkan lebih parah, membawa seciduk air lalu mengguyurkan kepada tersangka. Sepertinya tidak akan basah, namun anda tahu sendiri, bukan? Air seciduk memang tidak membuat basah. Tapi bagaimana bila yang membalas usil dilakukan oleh 5 orang perempuan? Dan itulah yang dilakukan oleh mereka. Tersangka pun menjadi basah kuyup. Aku pun semakin basah kuyup, karena semakin tenggelam mengenang masa kecil yang terlalu indah bila dibanding kerlap-kerlip bintang di waktu malam.
Liburan kuliah sangat panjang. Ada banyak aktifitas yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu luang. Setelah diketahui sekolah agama libur pada waktu Ramadan, Ikatan Remaja Mesjid (IREMA) mengadakan pesantrian kilat selama empat hari. Aku sendiri begitu antusias menjadi salah satu panitia pesantrian kilat. Terlebih bisa bertemu… Anak kecil!
Kulihat ada banyak motivasi mereka mengikuti pesantrian kilat. Di antaranya bertemu banyak teman dan mengisi waktu libur menjadi beberapa alasan mereka. Tak pentinglah, meskipun begitu, apa yang dilakukan oleh teman-teman panitia semata-mata membekali anak-anak pemahaman agama. Rukun iman, rukun Islam menjadi beberapa materi dalam acara tersebut, belum lagi diisi dengan game-game yang menarik sehingga acara tidak menjenuhkan. Terdata ada 120 lebih anak yang mengikuti acara, sementara panitia terhitung 18 orang. Ckckck.
Acara pesantrian kilat berlangsung selama 4 hari. 4 hari? Apa yang bisa dilakukan dalam empat hari. Tidak banyak yang bisa dilakukan karena terbatasnya waktu. Setelah acara berakhir baru aku menyesal karena masih ada materi yang belum tersampaikan. Konsep acara pun terbilang acak-acakkan, konsep tidak maksimal. Di antaranya tidak ada waktu mentoring secara berkala sehingga tidak terlacak bagaimana kemampuan anak-anak mengaji, panitia pun jadi tidak bisa mengevaluasi. Tidak ada program khusus mengajarkan bagaimana shalat, adab-adab di mesjid, tidak ada program khusus yang mengajarkan kepada anak mengenai tata cara wudhu yang baik. Rasanya kekurangan itu membuatku geram bercampur sesal. Di samping itu, jumlah panitia dalam kegiatan ini 18 orang, nyatanya gagal dimanfaatkan untuk menghandle para peserta dengan jumlah banyak, maka tak heran bila ada di antara peserta yang kabur, ada yang bertengkar, sampai ada yang menangis. Para panitia yang ikut andil terhitung 2 – 8 orang. Sisanya? Ada panitia yang main kartu uno di ruang panitia, main gitar-gitaran, bahkan ada juga yang ikut-ikutan gaduh dengan para peserta. Belum lagi aku, yang suatu kali diamanati untuk berbagi ilmu, karena terkesan mendadak, aku jadi kurang bisa menyiapkan materi dengan baik, dalam penyampaian pun tidak maksimal. Aku jadi merasa tak ada hasilnya selama beberapa bulan aku kuliah dan mengkaji agama.
Waduh! Aku jadi frustasi. Aku punya misi untuk anak-anak kecil. Namun, jangankan memajukan para peserta, para panitia, para pemudanya pun seharusnya terlebih dahulu menjadi peserta. Ini membuatku bertanya-tanya Sang Pembuat Rencana, Tuhan, apakah usahaku ini sia-sia dalam menyebarkan agama yang Engkau ridhoi itu? Adakah materi yang masuk ke dalam pikiran, disusul dengan peserta yang lantas mengamalkan ilmu yang telah didapat?
***
Biarlah. Tidak usah berlama-lama berkecibung dalam penyesalan. Biar semua itu tercatat sebagai kegagalan, kan kubuat masa lalu sebagai pelajaran plus bahan evaluasi, sementara masa mendatang tidak boleh terperosok pada lubang yang sama. Mengenai pesantrian kilat, setelah acara tersebut berakhir tidak berarti berakhir pula rasa ketertarikanku terhadap anak kecil, anak yang menggemaskan, namun juga menguras emosi.
Aku masih menjadi pengamat anak kecil. Kuikuti isu-isu yang berkembang mengenai anak kecil di masyarakat perumahan. Dan… dapat! Sebuah berita yang mengejutkan. Nyatanya di perumahanku ada sebuah geng anak kecil!—Oalah. Masih kecil sudah buat geng. Tentang si Rama sebagai ketua gengnya, masih duduk di kelas 3 SMP. Mereka sering menghabiskan waktu dengan nongkrong di warung kecil. Pada sebuah siangnya pada bulan Ramadan, kudengar gerombolan anak bau kencur tersebut begitu rajin mampir di warteg—mereka tidak puasa. Mereka juga seringkali terdengar mencuri buah-buah milik warga perumahan. Sementara itu, aku mendengar cerita si Ayyas dan si Uji yang merokok, padahal mereka masih duduk di kelas 3 SD. Ckckck. Selain itu—masih berbicara geng si Rama—terdengar juga mengenai mereka yang kedapatan mabuk. Setahuku, anak-anak di usiaku tidak pernah melakukan hal senakal itu. Rama yang mabuk tertangkap warga sedang berbaring di jalan. Untung saja tidak sampai overdosis karena minuman oplosan. Berita tersebut barangkali menjadi berita biasa saja bila dilihat dalam berita. Akan tetapi berita tersebut benar-benar mengejutkan bila nyatanya terjadi di sekitar kita. Tak salah bila seorang pengamat mengatakan mengenai generasi muda yang mengalami dekadensi moral—tidak ada akhlak-etikanya.
Padahal dalam usia emas anak-anak, kita mengenal Nabiyullah Ibrahim as. dalam pencarian Tuhannya pada usia anak-anak. Imam Syafi’i telah hafal al-Qur’an pada usia kurang lebih tujuh tahun. Begitu pula imam muda bernama Jihad al-Maliki hafal al-Qur’an pada usia yang sama dengan Imam Syafi’i, ia pernah menyambangi Indonesia. Kita juga mengenal Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk konstantinopel, yang menguasai kitab al-Muwatha-nya Imam Malik pada usia muda. Ada juga cerita mengenai seorang anak yang bernama Zhang Da, selama kurang lebih 10 tahun mengurus Ayahnya seorang diri dan menjadi tulang punggung keluarganya, sementara ibunya kabur meninggalkan Zhang Da dan suaminya karena ‘rajin’ sakit-sakitan. Setelah diketahui perjuangannya, pada akhirnya anak kecil tersebut mendapat penghargaan dari pemerintah Cina sebagai “The Youngest Hero”. Ada juga cerita yang masih hangat tentang kisah Malala, seorang gadis kecil dari tanah Pakistan, dia yang memperjuangkan haknya untuk mendapatkan pendidikan ternyata mendapatkan halangan dari pemerintahnya, ia berjuang lewat tulisan yang ia publikasikan lewat media sosial. Tulisan yang telah dibaca oleh ribuan hingga jutaan warga di dalam hingga luar negeri, akhirnya menimbulkan kesadaran dan gerakan untuk menuntut pendidikan. Dianggap sebagai batu sandungan oleh pihak pemerintahan, secara misterius Malala muda tertembak di bagian kepala yang menyebabkan ia koma. Sampai akhirnya Malala muda tersebut terbangun setelah beberapa kurun waktu tak kunjung sadar, ia dinobatkan menjadi pahlawan dengan usianya yang masih muda dalam bidang pendidikan, ia menjadi pelopor akan terbukanya hak pendidikan kembali di tanah kelahirannya. Yang membuatku bergetar adalah salah satu isi pidato Malala—setelah tersadar dari koma, yang kurang lebih isinya—“a child, with one pen, one book, can change the world[2].”. kata-kata sederhana tersebut menjadi sedemikian berbobotnya mengingat usaha perjuangan yang telah ia lakukan mendobrak pintu yang mengekangnya, dan menuntut sebuah perubahan. Kata-katanya seakan menjadi cambuk mengingat usianya yang masih muda belia, telah melakukan perubahan yang berarti.
***
Akhir[3] yang Menyebalkan
Cerita berdasar pengamatanku terhadap anak kecil belum selesai. Suatu kali aku mengajak Akhir ngaji. Kami pun membaca, A’uudzubillaahi mina al-syaithoni… aku tiba-tiba berhenti melanjutkan bacaan ta’awudz karena sebuah pertanyaan yang tiba-tiba pula kunjung.
“Syaiton? Setan kah?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Setan ada, ngga?”
 “Ada. Setan tuh ada di mana-mana. Di pinggir Akhir juga ada.”
Hiyy… seram, takut ah.” Jawab Akhir. Lalu aku berkata, “Akhir jangan takut sama setan. Setan takut sama Akhir yang lagi ngaji. Ayo lanjutin ngajinya.”
Akhir. Akhir. Responnya malah berkomentar yang tidak-tidak. “Idiih. Itu Ais pake kaos dalam putih. Kaosnya kelihatan Hihi.” Ujarnya sambil tertawa. Aku pun sontak ikut tersenyum.
“Mana coba yang lebih putih, manusia atau setan?” Brilian! Gumamku dalam hati. Kok bisa ya dia sampai mikir kesana. Apa mungkin cuma kebetulan saja? Aku juga tak sampai terpikir untuk memikirkan warna kulit setan. Aku menebak kulit setan adalah hitam. Entahlah. Bukannya ngaji, malah bertanya.
“Lebih putih Akhir dong.” Aku mencandainya.
“Ih yang bener! Putih siapa?”
“Lebih putih manusia.”
“Kata siapa? Setan bisa gendut ngga?”
“Bisa.”
“Mana yang lebih gendut, setan atau Allah?”
“Allah beda sama ciptaannya, Akhir.” Aku mulai dihinggapi rasa takut, takut jawabanku salah, tidak bisa menjawab.
“Allah ciptaan siapa?”
“Allah itu pencipta kita dan semua makhluknya, bukan yang diciptakan.” Oh tidak, aku belum bisa menyederhanakan bahasaku. “Akhir ngerti, ngga?” sekarang giliran si Akhir yang mengangguk.
“Allah bisa mati ngga?”
“Ngga, Allah itu kekal.”
“Kekal itu apa?” aku mulai bingung. “Kekal itu ya kekal, abadi, selama-lamanya, ngga akan mati, Khir.”
“Allah bisa tidur ngga? Gimana tidurnya?”
“Allah itu ngga tidur. Terus ngawasin gerak ciptaan-Nya.”
“Allah ngawasin Ais[4] ngga? Allah mana mata-Nya? Mana coba mata-Nya? Mana!?” Akhir mencoba menantangku untuk membuktikan, jelas-jelas hal itu membuatku semakin bingung, dan… kesal!!!
“Allah punya mata, tapi jangan samakan mata Allah dengan mata kita, Akhir.”
“Terus gimana? Allah punya tangan ngga?”
“Punya.”
“Mana coba tangan Allah? Mana?”
Wohoo. Kalo yang ini aku bisa membalikkan kata-katanya. “Itu buktinya Akhir bisa makan, bisa minum, dikasih banyak rizki kan dari Allah. Hayo? Itu kan dari tangan Allah?”
“Itu kan dari Mama sama Abi. Kapan Allah ketemu sama Abi terus ngasih rezeki?”
“Iya. Tapi kan itu semuuaa lewat perantaraa..”
“Perantara itu apa?” Ah sial! Aku malah memakai bahasa yang dia tak mengerti, kalau saja aku panjangkan jawabanku, 100% dia semakin tidak akan mengerti, apalagi aku belum mampu menyederhanakan jawabanku. Aku bingung.
“Jadi Allah ada ngga?” tantang Akhir. Sementara aku masih berpikir keras bagaimana menghadapi adikku yang super zuperr cerewet ini.
Plaaakk! Lantas aku memakai cara klasik ini, kupukul pergelangan kakinya. “Adaww!” gadis kecil itu merintih. “Sakit ngga?”. “Sakit.” Jawabnya sembari mengusap-usap kakinya. “Coba perlihatkan sama Ais di mana sakitnya?”, Akhir terdiam. Aku pun berkata, “Begitupula Allah swt., sakit itu ngga kelihatan, kan? Tapi Akhir bisa ngerasain gimana sakitnya. Allah pun kaya gitu, meskipun sekarang Ais belum bisa ngasih buktinya sama Akhir, tapi Allah swt. bisa kita rasakan keberadaan tangan-Nya, mata-Nya. Ciptaan-Nya, nikmat karunia yang diberikan-Nya, dan masih banyak lagi.”
Akhir pun tersenyum. Dan… “Plaaaakk!” gadis itu membalas pukulanku tadi. Aku pun menatapnya.
“Kan kata Allah ngga boleh mukul, nanti masuk neraka. Ais mau ngga masuk neraka?”
“…” aku terdiam sejuta bahasa.
***
Hmmm. Ternyata, di samping perilaku menyebalkan mereka. Lalu setelah aku melihat bagaimana tokoh-tokoh hebat dalam sejarah itu hidup, aku tersadar, bahwa cerita kesuksesan mereka tidak akan pernah terukir melainkan perjuangan yang mereka torehkan dimulai sejak usia muda. Tokoh-tokoh hebat dalam sejarah memulai perjuangan mereka sejak mereka masih berupa benih-benih yang siap untuk disiram suburkan.
Pantaslah bila orang Israel banyak membunuh anak-anak Palestine. Sebab, orang-orang Palestine yang berusia senja, mereka tidak bisa lagi berbuat banyak, berbeda dengan anak-anak muda mereka yang berdiri menggenggam takdir Palestine pada 10 tahun masa mendatang. Pantaslah akhir-akhir ini Jepang menanggung biaya persalinan bagi warga negaranya yang melahirkan, karena begitu pentingnya regenerasi. Pantaslah akhir-akhir ini negara Iran melarang program Keluarga Berencana (KB) bagi kaum wanita untuk meningkatkan populasinya, karena begitu pentingnya tunas yang kelak meneruskan perjuangan bangsanya. Aku baru menyadari mengenai Soe Hok-Gie pernah berkata, “…nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan, tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua…”. Sosok Gie yang menghendaki mati muda sebagai nasib terbaik cukup beralasan, karena pada usia muda merupakan masa produktif-inovatif, berbanding terbalik pada masa tua—meskipun bukan rumusan yang absolut. Aku pun baru mengerti mengapa Solo menghendaki daerahnya menjadi kawasan ramah dan layak anak (bebas eksploitasi), sebab dengan demikian pentingnya peran anak-anak sebagai regenerasi dari manusia-manusia yang kelak akan kembali mengecup tanah.
            Aku baru menyadari kenakalan mereka di mesjid agar tidak dipandang sebelah mata. Kita akan tahu sebuah cerita mengenai tiga orang anak kecil yang ikut shalat tarawih di mesjid, seorang anak memakai baju Chelsea, seorang anak berbaju Manchester City, seorang anak lagi perempuan namun ikut shalat dengan saudaranya di tempat laki-laki, aku sempat tersenyum melihat kepolosan ketiganya. Terlebih ketika anak berbaju Chelsea sarungnya melorot menyisakkan celana pendeknya, sementara saudara-saudaranya hanya melongo dengan polosnya. Anak berbaju Chelsea pun sama polosnya karena tidak menyadari keadaan sarungnya. Seselesainya Isya yang disambung dengan kultum, aku terkagum-kagum ketika kotak amal yang diedarkan ke para jamaah, hanya tiga anak tersebutlah yang paling antusias untuk bersedekah. Masing-masing dari mereka saling berebut kotak amal agar mendahului saudaranya dalam bersedekah. Maha suci Tuhan! Pekikku dalam hati. Ketika para jamaah sibuk dengan tidurnya, tenggelam dalam obrolan sia-sia, namun tiga orang anak tersebut hanyut dalam keridhaan Tuhan, mereka berlomba dalam kebaikan. Aku merasa malu karena belum bisa se-antusias itu dalam berbuat baik seperti mereka. Senyumku semakin mengembang ketika kusadar anak seorang rentenir pun hadir dalam shalat jamaah tarawih, anak itu bersarung-sajadah yang bergambar doraemon, lucu sekali. Kubayangkan betapa shalihnya si anak tersebut mendoakan orang tuanya agar kembali ke jalan yang benar. Barangkali Tuhan akan memberikan hidayah dan rahmat-Nya karena panjatan doa anak yang lugu dan lucu, yang masih bersih dari noda dosa.
Meskipun acara pesantrian kilat yang berlangsung dengan konsep yang tidak maksimal. Aku tidak boleh mengabaikan perjuangan dari panitia, para donatur, dan semua pihak yang telah membantu terselenggaranya acara baik berupa moriil atau materiil. Aku tidak boleh mengatakan pesantrian kilat tahun ini gagal. Aku yakin ada satu materi yang masuk ke dalam hati, pikiran, atau tulisan yang akan dibaca kelak. Acara yang merupakan misi dari para pemuda untuk mencerdaskan anak-anak harus berlangsung lebih baik di tahun depan. Acara pada tahun ini akan menjadi evaluasi di masa mendatang.
Maka berangkat dari sana, aku akan kembali kuliah dengan semangat. Sebab, ada misi yang hendak kucapai ketika liburan setelah kuliah nanti, ada 10-70 anak-anak menanti yang perlu dibina akhlak-moralnya. Aku harus mengabdi pada masyarakat. Di sinilah pentingnya menjalani kuliah dengan kesadaran. Orang yang tidak mengerti kuliah adalah orang yang mendewakan IP dan prospek kerja. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti jika menggantungkan masa depan mereka lewat bangku kuliah. Masa depan merupakan puzzle yang mesti kita susun sendiri, tidak bergantung institusi atau lembaga apapun. Bagiku, kuliah tidak memberikan apa-apa. Kuliah idealnya dijalani apabila kita mempunyai sebuah misi yang hendak kita capai. Ada yang mengatakan kepadaku, bahwa pekerjaan terbaik adalah di mana pekerjaan tersebut tidak menghasilkan uang, namun memiliki nilai pahala. Sebab, sebagian besar orang tidak meminati pekerjaan tersebut. Rasanya pun langka bila ada orang yang mau istiqamah bekerja demikian. Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir merupakan jurusan yang paling fleksibel prospek kerjanya—bila tidak dikatakan banyak. Mendidik anak-anak kecil barangkali tidak mendapat uang, namun mendidik termasuk pekerjaan. Bandingkan bila 10 tahun kedepan anak-anak tersebut menjadi anak yang shalih, dan 10 tahun berikutnya menjadi orang yang berhasil dan berguna bagi negara. Apakah kebanggaan, rasa puas serta kebahagiaan yang kita rasakan, belum lagi pahala yang kita terima dari Allah swt. dapat ditukar dengan uang?
Selanjutnya berbicara Rama dan gengnya. Saya amat yakin dengan ‘rajin’nya para guru agama, guru BK, sampai semua guru di sekolah yang mengajarkan pentingnya akhlak. Namun, ada beberapa kesalahan di sini, di antaranya, orang tua terlalu percaya mengenai pendidikan anaknya pada pihak sekolah. Aku yakin mau bagaimana pun seorang guru berusaha keras menanamkan nilai akhlak pada anak, namun bila tidak didukung dengan pendidikan akhlak dalam lingkungan keluarga, 91% tidak ada hasilnya. Bagaimana tidak, sepulangnya si anak sekolah, si anak akan masuk dalam lingkungan yang bebas yang belum terdeteksi baik-buruknya. Terlebih sifat dari seusia mereka memiliki penasaran yang tinggi, seandainya mereka berteman main dengan orang-orang yang merokok, suka ‘minum’, kemungkinan besar akan terpengaruhi. Dari sini barangkali pentingnya lingkungan keluarga yang mengontrol perkembangan akhlak dan lingkungan main anak. Lingkungan keluarga merupakan pihak yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian anak.[5]Dalam sebuah kitab yang tipis—akhlak li al-baniin, yang pernah aku pelajari sewaktu SMP, ada analogi menarik yang disampaikan oleh guru. Guru mengatakan bahwa anak kecil itu seperti bunga mawar. Bunga mawar apabila dirawat sejak dini, akan berbanding lurus seluruh bagian bunganya, apabila bengkok, maka bila disadari saat masih muda, bunga mawar berkemungkinan dapat diluruskan, namun berbeda keadaannya ketika bunga mawar yang telah bengkok dalam keadaannya yang telah besar. Bila diluruskan, maka berkemungkinan akan patah.
Ketertarikkan kepada anak kecil dan misi kepada mereka mungkin menjadi tugasku. Dengan tulisan ini setidaknya ada dua pesan yang ingin saya sampaikan. Pertama, berbicara anak kecil tidak melulu berbicara mengenai kenakalan mereka, di samping kenakalan, keluguan dan kepolosan mereka, mereka memiliki kejujuran, kebersihan hati dan potensi yang besar untuk tampil di atas panggung sejarah pada masa yang akan datang menggantikan generasi tua. Untuk anda yang memiliki adik, ingatlah bahwa lingkungan keluarga menjadi lingkungan yang paling menentukan dalam menentukan kehidupan mereka, maka status hubungan adik-kakak tidak serta merta cukup dalam akta keluarga, namun ikatan batin dan kasih-sayang itu diperkuat dengan kepedulian untuk mendidik dan menyiapkan masa depan mereka. Hal tersebut memerlukan keseriusan yang tinggi. Kedua, catatan ini merupakan contoh sederhana bagaimana aku memiliki misi terkait pilihan mengambil jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Aku meyakini anda memiliki alasan mengapa anda memilih jurusan yang sama denganku, maka dari itu buatlah misi, apa yang hendak anda bagikan kepada orang lain terkait dengan apa yang anda mampu. Kuliah di jurusan ini tidak mesti menjadi seorang orator dengan mulut berbusa-busa, atau menjadi guru/dosen, atau menjadi pendakwah yang melulu mengisi pengajian, atau menjadi penulis, akan tetapi ada banyak cara bagaimana menyebarkan nilai-nilai al-Qur’an untuk diterapkan kepada diri lalu mengajak kebaikan kepada masyarakat untuk berbuat kebaikan serupa sesuai dengan potensi dan kemampuan yang anda miliki.
Tuhanku. Maha suci Engkau. Terimakasih kuucapkan atas segala karunia dan limpahan rahmat-Mu yang tak terhingga, hingga Engkau masih menyisakkan di antara kami hamba-hamba kecil-Mu y



[1] Tempat untuk minum.
[2] “Seorang anak kecil, dengan sebuah pulpen, satu buku, mampu merubah dunia.”
[3] Akhir merupakan salah satu adik perempuanku, bernama lengkap Anapalish Khasasil Akhir Permata Azizah. Si Akhir ini sebenarnya kembar, nama kembarannya Awal. Jadi Awwal dan Akhir, Awwal sebagai kakak laki-laki, sedangkan Akhir kembarannya perempuan. Awwal bernama lengkap Muhammad Syamail Awwal. Keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas satu.
[4] Di rumah panggilanku adalah ais.
[5] Kesimpulan yang penulis ambil. Bila ada waktu senggang, aku sarankan untuk membaca: Sekolah itu Candu!, karya Roem Topatimasaang. Anda akan tahu sejarah sekolah, dan memahami begitu besarnya peran lingkungan keluarga dalam pendidikan.

Comments

Popular posts from this blog

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty

Hubungan dan Kausalitas | sebab Akibat

Makalah Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta'wil