ANAK KECIL
Oleh: Al Faiz
M Robbany T
—seketika
melewati kota Solo, aku tak sengaja melewati dan melihat sebuah tulisan, “Mari
kita jadikan kota Solo sebagai kota ramah dan layak anak (bebas eksploitasi)—


Ting-tong, bel
berbunyi.
Seorang lelaki
berdiri dengan pakaian rapih nan wangi semerbak. Wajar saja, akan menemui
perempuan yang memanjakan mata dan menenteramkan hati memerlukan penampilan
oke. Lelaki blasteran yang terpanggil sebagai Ben, tidak perlu banyak
pertimbangan langsung mendatangi Rin, kekasihnya. Tidak banyak pertimbangan
bukan berarti datang dengan tangan kosong. Ia datang dengan membawa bunga.
Bukan sekali
atau dua kali Ben dibuat jatuh hati akan keanggunannya. Gadis berambut coklat
itu memang satu angkatan pendidikan dengan Ben. “Kau adalah kepingan hatiku
yang hilang, Rin.” Igau Ben dalam suatu tidurnya. Rin dikenal Ben ketika Gadis
tersebut berpentas membacakan puisi “Sang Nabi” di penghujung acara Gema
Ramadan di sekolah. Tak lama, Rin pun muncul dibalik pintu sesaat setelah bel
berbunyi. Rupanya ia terlihat sudah bersiap untuk beraktifitas di pagi hari
itu.
“Ben?” Seru
Rin.
“Asalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.”
“Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Rin.
Ben bersimpuh
di halaman rumah, sementara Rin merasa bingung dengan apa yang akan dilakukan
oleh lelaki tersebut. Lelaki bernyali tinggi itu mengeluarkan secarik kertas
dari saku bajunya.
Rin
Bila mana
gerangan hadir di mimpi nyata
bukankah hal itu impian kala kita renta
pada mereka yang sibuk dengan harta
untuk kita yang menangis karena cinta?
bukankah hal itu impian kala kita renta
pada mereka yang sibuk dengan harta
untuk kita yang menangis karena cinta?
Seberapa
menitkah kita tersandung rindu?
tak mengerti, kerinduan ini yang menjelma menjadi benalu
tak pantas, mengapa hati ini masih menyimpan cemburu
Rin
kumbang jantan mana yang tak menangis.
ingin mencumbui tangkai bunga yang manis.
yang tentu membuatku semakin meringis.
tak mengerti, kerinduan ini yang menjelma menjadi benalu
tak pantas, mengapa hati ini masih menyimpan cemburu
Rin
kumbang jantan mana yang tak menangis.
ingin mencumbui tangkai bunga yang manis.
yang tentu membuatku semakin meringis.
Bukankah kita
adalah makhluk yang tegar?
meskipun suaramu terdengar samar.
meskipun tatapanmu penuh nanar.
biar aku melangkah dengan tegap penuh sabar.
meskipun suaramu terdengar samar.
meskipun tatapanmu penuh nanar.
biar aku melangkah dengan tegap penuh sabar.
Manakala jiwa
ini merindu.
jiwa ini resah, seakan hati yang selalu pilu
menahan hidup, menahan nafas tersengal tersedu.
pada Engkau Rin yang selalu membuatku cemburu.
jiwa ini resah, seakan hati yang selalu pilu
menahan hidup, menahan nafas tersengal tersedu.
pada Engkau Rin yang selalu membuatku cemburu.
Rinai-rinai
mentari menjadi terang.
titik-titik bintang menjadi benderang.
aku hanya perlu sabar dihadang karang.
tegar, kemudian dihadang!
sabar, kemudian diterjang!
titik-titik bintang menjadi benderang.
aku hanya perlu sabar dihadang karang.
tegar, kemudian dihadang!
sabar, kemudian diterjang!
Aku akan
menjadi pemenang!
biar kuawali dari barang sehina arang!
lalu malu dihina benalu,
kemudian bangkit setinggi langit.
biar kuhina benalu.
biar kucaci para kumbang-kumbang.
oleh tanganku yang kini t’lah menjadi bintang.
yang sombong menerjang dengan lantang!
biar kuawali dari barang sehina arang!
lalu malu dihina benalu,
kemudian bangkit setinggi langit.
biar kuhina benalu.
biar kucaci para kumbang-kumbang.
oleh tanganku yang kini t’lah menjadi bintang.
yang sombong menerjang dengan lantang!
Kini aku tidak
perlu bumi dan seisinya.
di pegunungan..
banyak bunga-bunga bertebaran.
namun aku hanya menginginkan kamu, Rin.
tak peduli selayu apa gerangan.
diterjang para kumbang bajingan!
di pegunungan..
banyak bunga-bunga bertebaran.
namun aku hanya menginginkan kamu, Rin.
tak peduli selayu apa gerangan.
diterjang para kumbang bajingan!
Apa? Bajingan?
Belum selesai ia membacakan puisinya. Kata yang saru tersebut terdengar oleh
ibu Rin. Gordyn pun dibukanya, ibunda melihat seseorang yang nampak berdiri
tengah membacakan puisi, sementara Ben terusik kemudian menyadari kehadiran
sang ibunda, sontak terkaget. Kini Ben kembali membacakan puisinya dengan
volume suara sedikit pelan. Sang ibu menutup kembali gordyn, entahlah apa yang
kini dilakukannya.
Biar kubawa ke
nirwana.
biar kuikat dan kusimpan kau di singgasana
hendak apa gerangan?
aku yang kini menjadi pelayan.
hendak melayanimu sepenuh jiwa seluruh warna.
hendak membahagiakanmu hingga ujung waktu sirna!
aku yang selamanya mencintai sesederhana apapun Rin..
dengan penuh ke-Ridha-an hakiki.
Engkau yang kucari.
biar kuikat dan kusimpan kau di singgasana
hendak apa gerangan?
aku yang kini menjadi pelayan.
hendak melayanimu sepenuh jiwa seluruh warna.
hendak membahagiakanmu hingga ujung waktu sirna!
aku yang selamanya mencintai sesederhana apapun Rin..
dengan penuh ke-Ridha-an hakiki.
Engkau yang kucari.
Aku setia,
Rin.
“Rin. Kamu mau
ngga jadi pacar aku?” suaranya terdengar agak sedikit melempem, sesekali
melirik ke arah gordyn.
Sementara, Rin
masih belum percaya akan kenyataan yang kini sedang ia hadapi. “Riiiin. Ada
tamu kah?” Ibu tiba-tiba membukakan pintu.
“Lho Ben? Kamu
ngga pergi sekolah?”
“Ben masuk jam
8, tante.” Jawabnya, kemudian berjalan lalu bersalaman pada ibunda.
“Ada apa ini,
pagi-pagi sekali sudah mampir?” tanya sang Ibunda sambil mengelus-elus kepala lelaki
tersebut.
“Mama. Katanya
boleh ngga Rin jadi pacarnya Ben?” Rin menimpali pertanyaan ibunya dengan
bertanya.
Ibu Rin
terkejut. Lelaki itu telah membuat peristiwa yang belum pernah dialami selama
46 tahun dalam hidupnya pada pagi hari ini.
“Ben. Kamu kan
masih kelas dua SD, begitupula Rin. Kamu masih harus rajin belajar, supaya
kelak kamu jadi orang sukses. Katanya kamu kemarin juara lomba adzan? Tuh, kamu
udah pintar. Tingkatkan lagi belajarnya, belajar matematika, IPA, agama.
Katanya pelajaran matematika kamu di remedial? Kamu udah ganteng, pintar lagi.
Tinggal semangat dan belajarnya yang perlu ditingkatkan, Ben. Eh tadi puisi
kamu bagus sekali kata-katanya, kamu buat sendiri, Ben?” ujar Ibunda sembari
menyindir puisi Ben.
“Aku ambil
puisinya Papa yang dibacakan di depan Mama dahulu sebelum mereka menikah,
tante.”
Sang ibu
menimpalinya dengan senyuman dan anggukan.
“Tante, boleh
ngga saya beri Rin hadiah bunga ini?” tanya Ben menyodorkan bunga.”
“Boleh. Terima
kasih banyak ya, Nak.” Sang ibu pun mengambil bunga melati sekaligus pot-nya
dari tangan Ben. Untung saja kepolosan Ben tidak membuatnya membawa tanaman
lidah buaya untuk Rin, gumam ibunda.
“Baiklah. Ben,
terima kasih banyak atas kebaikannya ya. Sekarang Rin pamit sekolah dulu.
Sampaikan salam tante untuk keluargamu.” Ujar ibunda yang cukup bijak mengelus
kepala Ben.
“Mau Ben antar
saja tante?” tawar Ben.
“Tidak usah
repot-repot Ben, tuh ada supir yang udah siap antar Rin.” Ben pun melihat mobil
lexus hitam metallic terparkir sedang dipanaskan. Tak lama, Ben, lelaki
blasteran pemberani itu pamit untuk pulang, sementara Rin telah bersiap untuk
pergi ke sekolah. Maka belum jauh Ben berjalan, seorang gadis yang memekakan
telinganya itu memanggil.
“Ben!” teriak
Rin.
“Ada apa lagi,
Rin?” tanya ibunda, ia terkejut sekaligus penasaran dengan apa yang akan
dilakukan anaknya.
“Ini kempis[1]mu
ketinggalan.”
Setengah
berlari, Ben memburu kempis yang berada pada tangan Rin. Kemudian
mengalungkannya di leher. Lalu sejurus kemudian lelaki itu menyeka ingusnya dan
menarik kembali di hidungnya, dan berlari pulang.
“Kasian ya,
Ma. Ben lagi pilek.” Keluh Rin pada ibunda.
***
Demikian
kutulis ilustrasi tentang anak kecil yang telah mengenal cinta. Padahal, latar
kenyataan yang kujumpai tak sekonyol itu, melainkan sesuatu yang sederhana. Sepulang
dari mesjid, di teras rumah tetangga, kudengar percakapan dua anak perempuan kisaran
SD, saling curhat membicarakan siapa laki-laki yang paling tampan, gebetan dua
anak perempuan di sekolahnya. Sesekali kudengar riuh tawa disela-sela
pembicaraannya.
Bukan berarti
sengaja menguping pembicaraan mereka. Entahlah. Telinga ini menjadi peka setiap
kata yang keluar dari mulut anak kecil. Singkatnya, aku tertarik memperhatikan
anak kecil. “Hei! Normalkah aku? apa aku pedofil?”. Barangkali aku terbiasa
mengasuh lima adik-adikku di rumah, sehingga menghadapi mereka bukanlah perkara
yang aneh. Karena ada juga sebagian orang yang tidak suka kehadiran mereka. Ya,
Aku mengerti. Ketidak-sukaan mereka beralasan. Sebab kemunculan anak-anak kecil
pada waktu yang tidak tepat. Seperti halnya pak Tamsuri yang marah ketika
anak-anak kecil ribut di mesjid karena candaannya mengganggu kekhidmatan ibadah.
Kebanyakan para jamaah mungkin sependapat dengan bapak itu, tapi aku tidak.
Di perumahanku,
Anak-anak kecil sering shalat berjamaah pada waktu maghrib, kulihat memang
mereka selalu bercanda dan main-main. Masuk mesjid, setelah iqamat selesai
dikumandangkan anak-anak kecil secara berkelompok membuat barisan disebelah
kanan, membuat shaff terpisah dengan para jamaah kebanyakannya. Tiba saatnya
ruku’, mulailah terdengar cekikikan tawa dan candaan. Lalu, Bruug!
Terdengar salah seorang diantara mereka yang jatuh menjadi korban saling
dorong, sementara anak-anak kecil yang melihatnya bercekikik tawa tak
tertahankan—wah ketahuan deh kalau aku shalatnya ngga bener karena
memperhatikan mereka. Uniknya, sebelum imam menyelesaikan ucapan salamnya.
Sendal-sendal sudah pergi entah kemana membawa jasad-jasad mereka, padahal
kuperhatikan ada di antara mereka yang masbuk, namun ikut-ikutan lari juga.
Barangkali sikap mereka yang seperti itu karena takut dimarahi oleh bapak-bapak
setelah selesainya shalat.
Keesokan
harinya. Kuperhatikan. Tetap saja seperti itu. Padahal sebelum shalat begitu
nyaringnya terdengar Pak Tamsuri yang memberi komando dengan menggunakan
mikrofon mesjidnya. “Anak-anak yang di luar cepat masuk! Dimohon untuk menjaga
kekhusyuan shalat, kalau mau bercanda silahkan di luar mesjid!” anak-anak
terhenyak tuk sesaat. Terhitung… satu, dua, tiga! salah
seorang di antara mereka akhirnya memulai untuk bercanda (lagi). “Heh! Jangan
sekarang, nanti dimarahin (lagi).” Ujar salah seorang dari mereka mengingatkan.
Wah wah. Kupikir muncul konflik kecil nih di antara mereka. Ku tunggu reaksi
dari mereka, ketika shalat berlangsung—dasar anak-anak—dengan kompaknya mereka
pun bercanda (lagi), konflik di antara mereka pun berakhir, barangkali cekikikan
tawa bagi mereka telah menjadi rukun shalat. Lusa hari pun demikian halnya.
Bapak-bapak yang frustasi sepertinya amnesia bahwa dulu mereka pernah menjadi
anak kecil. Entahlah pada masa kecilnya mereka sering ke mesjid atau tidak
sebagaimana anak-anak yang pergi ke mesjid dengan semangat. Atau jangan-jangan
mereka pergi ke mesjid baru-baru ini tatkala memasuki usia tua? Aku heran, yang
dilakukan bapak-bapak hanyalah memperingati anak-anak dengan cara klasik, hanya
dengan berbicara, memarahi, tidak ada cara lain selain itu.
Hmmm. Kuakui,
manusia pada seusia mereka lagi masa-masanya susah diatur. Ketertarikkan mereka
untuk pergi ke mesjid saja sudah menjadi sesuatu yang luar biasa. Meskipun
kehadiran mereka di dalamnya selalu bermain-main, namun hal itu tidak boleh
tidak, wajib dijadikan kesempatan untuk membina mereka sedini mungkin.
Memangnya siapa yang akan meneruskan para jamaah untuk memakmurkan mesjid?
Generasi tua kah? Bukankah mereka anak-anak kecil yang dibenci, menyebalkan lagi
ingusan? Padahal dalam upaya menghadapi mereka, ketika mereka shalat aku
mencoba masuk ke barisan, lalu berdiri di tengah-tengah mereka. Hasilnya? Tidak
satu pun dari mereka berani bercanda. Keesokan harinya, aku pun melakukan hal
yang sama. Hasilnya pun demikian efektif. Walaupun seperti biasa, sebelum imam
menyelesaikan ucapan salamnya, sendal-sendal mereka telah kabur dari tempatnya.
Jika saja apa yang kulakukan diperkuat dengan kesadaran orang tua dalam
mendidik anak-anak mereka khususnya, dan anak-anak kecil umumnya dalam
pembinaan shalat, pemahaman tersebut tentu akan menjadi bekal berharga di masa
mendatang.
Aku semakin
tertarik mengamati anak kecil. Pertanyaanku sederhana. Siapa selama ini yang
berperan membina agama mereka? Setelah ditelusuri, “oh ternyata ada.” Di
perumahanku setiap hari senin sampai jum’at pada pukul 13.45, ada sekolah
agama. Aku senang sekali.
Ashar telah
tiba, hampir setiap hari kuamati aktifitas mereka termasuk ketika shalat ashar.
Sudah kuduga, jumlah mereka yang shalat ashar lebih banyak dibandingkan dengan
anak-anak yang kerap kuperhatikan di waktu maghrib. Oh iya perlu diketahui,
anak kecil yang kumaksud dalam tulisan ini usianya berkisar sekolah dasar kelas
2 s/d 4. Shalat pun dilaksanakan, cekikikkan dan tawa mereka meramaikan masjid.
Tentu saja, semakin banyak anak-anak yang shalat, hal itu berbanding lurus
dengan keramaian mesjid. Haha.
Demikian itu
baru anak kecil yang ikut shalat. Belum lagi ada bapak-bapak yang membawa
cucu-cucunya yang masih balita, mereka berlari-lari di depan orang yang shalat.
“Rame ya, Dik?” kalau saja tidak sedang shalat aku akan berujar demikian pada
si adik yang sedang jogging itu. Jangan salah, anak kecil yang
berlari-lari diiringi tawa melengking terkadang membuat mata jamaah melirik ke
kiri dan ke kanan. Fenomena yang menarik. Bagaimana tidak? Suatu ketika seorang
anak kecil berlari dilintasan shaff orang yang shalat, para jamaah saat itu
sedang i’tidal, sementara anak kecil belum mencapai garis finish di ujung
shaff, para jamaah hendak sujud, itu membuat si anak bingung, ia terlihat
tegang, “aku harus lari ke mana?” pikirnya, karena para jamaah yang akan
bersujud seakan-akan seperti gelombang yang hendak menggulung makhluk tak
berdaya itu. Hoho. Akhirnya si anak kecil pun berdiri diantara kepala jamaah di
depannya dan kaki jamaah di belakangnya. Setelah para jamaah mulai duduk di
antara dua sujud, secepat kilat si anak kecil yang masih balita itu berlari ke
pangkuan ayahnya, sayangnya, ketika si
anak tersebut hendak mencapai ayahnya, jamaah pun kembali hendak sujud, si anak
kembali tegang, lalu mendapati sang ayah sudah bersujud, kalau demikian ya
terpaksa si anak pun naik ke kepala hingga punggung sang ayah, lalu
merangkulnya. Ketika tiba saatnya para jamaah hendak berdiri kembali, giliran
sang ayah yang bingung karena sang anak yang telah selamat dari ‘gempuran
gelombang’ belum juga turun. Ada-ada saja kelakuan mereka, pasti susunya pakai
SGM. Hoho.
Setelahnya
dari shalat ashar, ada pula di antara mereka yang masbuk, gerakan mereka cepat
sekali, baju mereka pun basah kuyup—aku tidak mengerti bagaimana mereka
berwudhu, entahlah dikatakan berwudhu atau… mandi. Aduh, jadi teringat
ketika sekolah agama dahulu, dan aku masih sekolah dasar. Dalam hematku,
seseorang menjadi basah kuyup, tentu dengan berbagai macam cara. Ketika adzan
berkumandang, tiba saatnyalah mengambil air wudhu, di antara teman-temanku ada
yang terlebih dahulu mengguyur kepalanya di bawah kran, bisa dibayangkan
bagaimana kuyupnya pakaiannya, cukup dengan begitu terlihat seperti sudah wudhu,
bahkan sudah mandi. Ada yang wudhunya seperti biasa, namun diakhirnya temanku
itu memenuhi mulutnya dengan air kran lalu menyemburkannya pada teman-teman,
mereka saling balas, maka baju pun menjadi basah kuyup. Bahkan selain itu, ada
pula yang sampai usil memasuki tempat wudhu perempuan, dan menjahili kerudungnya,
maka tentu saja, perempuan sebagai makhluk punya rumus “aksi = reaksi”
membalas setimpal—bahkan lebih parah, membawa seciduk air lalu mengguyurkan
kepada tersangka. Sepertinya tidak akan basah, namun anda tahu sendiri, bukan?
Air seciduk memang tidak membuat basah. Tapi bagaimana bila yang membalas usil
dilakukan oleh 5 orang perempuan? Dan itulah yang dilakukan oleh mereka.
Tersangka pun menjadi basah kuyup. Aku pun semakin basah kuyup, karena semakin
tenggelam mengenang masa kecil yang terlalu indah bila dibanding kerlap-kerlip
bintang di waktu malam.
Liburan kuliah
sangat panjang. Ada banyak aktifitas yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu
luang. Setelah diketahui sekolah agama libur pada waktu Ramadan, Ikatan Remaja
Mesjid (IREMA) mengadakan pesantrian kilat selama empat hari. Aku sendiri
begitu antusias menjadi salah satu panitia pesantrian kilat. Terlebih bisa
bertemu… Anak kecil!
Kulihat ada
banyak motivasi mereka mengikuti pesantrian kilat. Di antaranya bertemu banyak
teman dan mengisi waktu libur menjadi beberapa alasan mereka. Tak pentinglah,
meskipun begitu, apa yang dilakukan oleh teman-teman panitia semata-mata
membekali anak-anak pemahaman agama. Rukun iman, rukun Islam menjadi beberapa materi
dalam acara tersebut, belum lagi diisi dengan game-game yang menarik sehingga
acara tidak menjenuhkan. Terdata ada 120 lebih anak yang mengikuti acara,
sementara panitia terhitung 18 orang. Ckckck.
Acara
pesantrian kilat berlangsung selama 4 hari. 4 hari? Apa yang bisa dilakukan
dalam empat hari. Tidak banyak yang bisa dilakukan karena terbatasnya waktu.
Setelah acara berakhir baru aku menyesal karena masih ada materi yang belum
tersampaikan. Konsep acara pun terbilang acak-acakkan, konsep tidak maksimal.
Di antaranya tidak ada waktu mentoring secara berkala sehingga tidak terlacak
bagaimana kemampuan anak-anak mengaji, panitia pun jadi tidak bisa
mengevaluasi. Tidak ada program khusus mengajarkan bagaimana shalat, adab-adab
di mesjid, tidak ada program khusus yang mengajarkan kepada anak mengenai tata cara
wudhu yang baik. Rasanya kekurangan itu membuatku geram bercampur sesal. Di samping
itu, jumlah panitia dalam kegiatan ini 18 orang, nyatanya gagal dimanfaatkan
untuk menghandle para peserta dengan jumlah banyak, maka tak heran bila
ada di antara peserta yang kabur, ada yang bertengkar, sampai ada yang menangis.
Para panitia yang ikut andil terhitung 2 – 8 orang. Sisanya? Ada panitia yang
main kartu uno di ruang panitia, main gitar-gitaran, bahkan ada juga yang ikut-ikutan
gaduh dengan para peserta. Belum lagi aku, yang suatu kali diamanati untuk
berbagi ilmu, karena terkesan mendadak, aku jadi kurang bisa menyiapkan materi
dengan baik, dalam penyampaian pun tidak maksimal. Aku jadi merasa tak ada
hasilnya selama beberapa bulan aku kuliah dan mengkaji agama.
Waduh! Aku jadi
frustasi. Aku punya misi untuk anak-anak kecil. Namun, jangankan memajukan para
peserta, para panitia, para pemudanya pun seharusnya terlebih dahulu menjadi
peserta. Ini membuatku bertanya-tanya Sang Pembuat Rencana, Tuhan, apakah
usahaku ini sia-sia dalam menyebarkan agama yang Engkau ridhoi itu? Adakah
materi yang masuk ke dalam pikiran, disusul dengan peserta yang lantas
mengamalkan ilmu yang telah didapat?
***
Biarlah. Tidak
usah berlama-lama berkecibung dalam penyesalan. Biar semua itu tercatat sebagai
kegagalan, kan kubuat masa lalu sebagai pelajaran plus bahan evaluasi,
sementara masa mendatang tidak boleh terperosok pada lubang yang sama. Mengenai
pesantrian kilat, setelah acara tersebut berakhir tidak berarti berakhir pula
rasa ketertarikanku terhadap anak kecil, anak yang menggemaskan, namun juga
menguras emosi.
Aku masih
menjadi pengamat anak kecil. Kuikuti isu-isu yang berkembang mengenai anak
kecil di masyarakat perumahan. Dan… dapat! Sebuah berita yang mengejutkan.
Nyatanya di perumahanku ada sebuah geng anak kecil!—Oalah. Masih kecil
sudah buat geng. Tentang si Rama sebagai ketua gengnya, masih duduk di kelas 3
SMP. Mereka sering menghabiskan waktu dengan nongkrong di warung kecil. Pada
sebuah siangnya pada bulan Ramadan, kudengar gerombolan anak bau kencur
tersebut begitu rajin mampir di warteg—mereka tidak puasa. Mereka juga seringkali
terdengar mencuri buah-buah milik warga perumahan. Sementara itu, aku mendengar
cerita si Ayyas dan si Uji yang merokok, padahal mereka masih duduk di kelas 3
SD. Ckckck. Selain itu—masih berbicara geng si Rama—terdengar juga
mengenai mereka yang kedapatan mabuk. Setahuku, anak-anak di usiaku tidak
pernah melakukan hal senakal itu. Rama yang mabuk tertangkap warga sedang
berbaring di jalan. Untung saja tidak sampai overdosis karena minuman oplosan.
Berita tersebut barangkali menjadi berita biasa saja bila dilihat dalam berita.
Akan tetapi berita tersebut benar-benar mengejutkan bila nyatanya terjadi di
sekitar kita. Tak salah bila seorang pengamat mengatakan mengenai generasi muda
yang mengalami dekadensi moral—tidak ada akhlak-etikanya.
Padahal dalam
usia emas anak-anak, kita mengenal Nabiyullah Ibrahim as. dalam pencarian
Tuhannya pada usia anak-anak. Imam Syafi’i telah hafal al-Qur’an pada usia kurang
lebih tujuh tahun. Begitu pula imam muda bernama Jihad al-Maliki hafal
al-Qur’an pada usia yang sama dengan Imam Syafi’i, ia pernah menyambangi
Indonesia. Kita juga mengenal Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk
konstantinopel, yang menguasai kitab al-Muwatha-nya Imam Malik pada usia muda.
Ada juga cerita mengenai seorang anak yang bernama Zhang Da, selama kurang
lebih 10 tahun mengurus Ayahnya seorang diri dan menjadi tulang punggung keluarganya,
sementara ibunya kabur meninggalkan Zhang Da dan suaminya karena ‘rajin’
sakit-sakitan. Setelah diketahui perjuangannya, pada akhirnya anak kecil
tersebut mendapat penghargaan dari pemerintah Cina sebagai “The Youngest
Hero”. Ada juga cerita yang masih hangat tentang kisah Malala, seorang
gadis kecil dari tanah Pakistan, dia yang memperjuangkan haknya untuk
mendapatkan pendidikan ternyata mendapatkan halangan dari pemerintahnya, ia
berjuang lewat tulisan yang ia publikasikan lewat media sosial. Tulisan yang
telah dibaca oleh ribuan hingga jutaan warga di dalam hingga luar negeri,
akhirnya menimbulkan kesadaran dan gerakan untuk menuntut pendidikan. Dianggap
sebagai batu sandungan oleh pihak pemerintahan, secara misterius Malala muda
tertembak di bagian kepala yang menyebabkan ia koma. Sampai akhirnya Malala
muda tersebut terbangun setelah beberapa kurun waktu tak kunjung sadar, ia dinobatkan
menjadi pahlawan dengan usianya yang masih muda dalam bidang pendidikan, ia
menjadi pelopor akan terbukanya hak pendidikan kembali di tanah kelahirannya.
Yang membuatku bergetar adalah salah satu isi pidato Malala—setelah tersadar
dari koma, yang kurang lebih isinya—“a child, with one pen, one book, can
change the world[2].”.
kata-kata sederhana tersebut menjadi sedemikian berbobotnya mengingat usaha
perjuangan yang telah ia lakukan mendobrak pintu yang mengekangnya, dan
menuntut sebuah perubahan. Kata-katanya seakan menjadi cambuk mengingat usianya
yang masih muda belia, telah melakukan perubahan yang berarti.
***
Cerita
berdasar pengamatanku terhadap anak kecil belum selesai. Suatu kali aku
mengajak Akhir ngaji. Kami pun membaca, A’uudzubillaahi mina al-syaithoni…
aku tiba-tiba berhenti melanjutkan bacaan ta’awudz karena sebuah pertanyaan
yang tiba-tiba pula kunjung.
“Syaiton?
Setan kah?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Setan ada,
ngga?”
“Ada. Setan tuh ada di mana-mana. Di
pinggir Akhir juga ada.”
“Hiyy…
seram, takut ah.” Jawab Akhir. Lalu aku berkata, “Akhir jangan takut
sama setan. Setan takut sama Akhir yang lagi ngaji. Ayo lanjutin ngajinya.”
Akhir. Akhir.
Responnya malah berkomentar yang tidak-tidak. “Idiih. Itu Ais pake kaos
dalam putih. Kaosnya kelihatan Hihi.” Ujarnya sambil tertawa. Aku pun sontak
ikut tersenyum.
“Mana coba
yang lebih putih, manusia atau setan?” Brilian! Gumamku dalam hati. Kok
bisa ya dia sampai mikir kesana. Apa mungkin cuma kebetulan saja? Aku juga tak
sampai terpikir untuk memikirkan warna kulit setan. Aku menebak kulit setan
adalah hitam. Entahlah. Bukannya ngaji, malah bertanya.
“Lebih putih Akhir
dong.” Aku mencandainya.
“Ih yang
bener! Putih siapa?”
“Lebih putih
manusia.”
“Kata siapa?
Setan bisa gendut ngga?”
“Bisa.”
“Mana yang
lebih gendut, setan atau Allah?”
“Allah beda
sama ciptaannya, Akhir.” Aku mulai dihinggapi rasa takut, takut jawabanku salah,
tidak bisa menjawab.
“Allah ciptaan
siapa?”
“Allah itu
pencipta kita dan semua makhluknya, bukan yang diciptakan.” Oh tidak, aku belum
bisa menyederhanakan bahasaku. “Akhir ngerti, ngga?” sekarang giliran si Akhir yang
mengangguk.
“Allah bisa
mati ngga?”
“Ngga, Allah
itu kekal.”
“Kekal itu
apa?” aku mulai bingung. “Kekal itu ya kekal, abadi, selama-lamanya, ngga akan
mati, Khir.”
“Allah bisa
tidur ngga? Gimana tidurnya?”
“Allah itu
ngga tidur. Terus ngawasin gerak ciptaan-Nya.”
“Allah
ngawasin Ais[4]
ngga? Allah mana mata-Nya? Mana coba mata-Nya? Mana!?” Akhir mencoba
menantangku untuk membuktikan, jelas-jelas hal itu membuatku semakin bingung,
dan… kesal!!!
“Allah punya
mata, tapi jangan samakan mata Allah dengan mata kita, Akhir.”
“Terus gimana?
Allah punya tangan ngga?”
“Punya.”
“Mana coba
tangan Allah? Mana?”
Wohoo. Kalo yang
ini aku bisa membalikkan kata-katanya. “Itu buktinya Akhir bisa makan, bisa
minum, dikasih banyak rizki kan dari Allah. Hayo? Itu kan dari tangan Allah?”
“Itu kan dari
Mama sama Abi. Kapan Allah ketemu sama Abi terus ngasih rezeki?”
“Iya. Tapi kan
itu semuuaa lewat perantaraa..”
“Perantara itu
apa?” Ah sial! Aku malah memakai bahasa yang dia tak mengerti, kalau saja aku
panjangkan jawabanku, 100% dia semakin tidak akan mengerti, apalagi aku belum
mampu menyederhanakan jawabanku. Aku bingung.
“Jadi Allah
ada ngga?” tantang Akhir. Sementara aku masih berpikir keras bagaimana
menghadapi adikku yang super zuperr cerewet ini.
Plaaakk! Lantas aku
memakai cara klasik ini, kupukul pergelangan kakinya. “Adaww!” gadis
kecil itu merintih. “Sakit ngga?”. “Sakit.” Jawabnya sembari mengusap-usap
kakinya. “Coba perlihatkan sama Ais di mana sakitnya?”, Akhir terdiam. Aku pun
berkata, “Begitupula Allah swt., sakit itu ngga kelihatan, kan? Tapi Akhir bisa
ngerasain gimana sakitnya. Allah pun kaya gitu, meskipun sekarang Ais belum
bisa ngasih buktinya sama Akhir, tapi Allah swt. bisa kita rasakan keberadaan
tangan-Nya, mata-Nya. Ciptaan-Nya, nikmat karunia yang diberikan-Nya, dan masih
banyak lagi.”
Akhir pun
tersenyum. Dan… “Plaaaakk!” gadis itu membalas pukulanku tadi. Aku pun
menatapnya.
“Kan kata
Allah ngga boleh mukul, nanti masuk neraka. Ais mau ngga masuk neraka?”
“…” aku
terdiam sejuta bahasa.
***
Hmmm. Ternyata, di
samping perilaku menyebalkan mereka. Lalu setelah aku melihat bagaimana
tokoh-tokoh hebat dalam sejarah itu hidup, aku tersadar, bahwa cerita
kesuksesan mereka tidak akan pernah terukir melainkan perjuangan yang mereka
torehkan dimulai sejak usia muda. Tokoh-tokoh hebat dalam sejarah memulai
perjuangan mereka sejak mereka masih berupa benih-benih yang siap untuk disiram
suburkan.
Pantaslah bila
orang Israel banyak membunuh anak-anak Palestine. Sebab, orang-orang Palestine
yang berusia senja, mereka tidak bisa lagi berbuat banyak, berbeda dengan
anak-anak muda mereka yang berdiri menggenggam takdir Palestine pada 10 tahun
masa mendatang. Pantaslah akhir-akhir ini Jepang menanggung biaya persalinan
bagi warga negaranya yang melahirkan, karena begitu pentingnya regenerasi.
Pantaslah akhir-akhir ini negara Iran melarang program Keluarga Berencana (KB)
bagi kaum wanita untuk meningkatkan populasinya, karena begitu pentingnya tunas
yang kelak meneruskan perjuangan bangsanya. Aku baru menyadari mengenai Soe
Hok-Gie pernah berkata, “…nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang
kedua dilahirkan, tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua…”.
Sosok Gie yang menghendaki mati muda sebagai nasib terbaik cukup beralasan,
karena pada usia muda merupakan masa produktif-inovatif, berbanding terbalik
pada masa tua—meskipun bukan rumusan yang absolut. Aku pun baru mengerti
mengapa Solo menghendaki daerahnya menjadi kawasan ramah dan layak anak (bebas
eksploitasi), sebab dengan demikian pentingnya peran anak-anak sebagai
regenerasi dari manusia-manusia yang kelak akan kembali mengecup tanah.
Aku baru menyadari kenakalan mereka
di mesjid agar tidak dipandang sebelah mata. Kita akan tahu sebuah cerita
mengenai tiga orang anak kecil yang ikut shalat tarawih di mesjid, seorang anak
memakai baju Chelsea, seorang anak berbaju Manchester City,
seorang anak lagi perempuan namun ikut shalat dengan saudaranya di tempat
laki-laki, aku sempat tersenyum melihat kepolosan ketiganya. Terlebih ketika
anak berbaju Chelsea sarungnya melorot menyisakkan celana pendeknya,
sementara saudara-saudaranya hanya melongo dengan polosnya. Anak berbaju Chelsea
pun sama polosnya karena tidak menyadari keadaan sarungnya. Seselesainya Isya
yang disambung dengan kultum, aku terkagum-kagum ketika kotak amal yang
diedarkan ke para jamaah, hanya tiga anak tersebutlah yang paling antusias
untuk bersedekah. Masing-masing dari mereka saling berebut kotak amal agar
mendahului saudaranya dalam bersedekah. Maha suci Tuhan! Pekikku dalam hati.
Ketika para jamaah sibuk dengan tidurnya, tenggelam dalam obrolan sia-sia, namun
tiga orang anak tersebut hanyut dalam keridhaan Tuhan, mereka berlomba dalam
kebaikan. Aku merasa malu karena belum bisa se-antusias itu dalam berbuat baik
seperti mereka. Senyumku semakin mengembang ketika kusadar anak seorang
rentenir pun hadir dalam shalat jamaah tarawih, anak itu bersarung-sajadah yang
bergambar doraemon, lucu sekali. Kubayangkan betapa shalihnya si anak tersebut
mendoakan orang tuanya agar kembali ke jalan yang benar. Barangkali Tuhan akan
memberikan hidayah dan rahmat-Nya karena panjatan doa anak yang lugu dan lucu,
yang masih bersih dari noda dosa.
Meskipun acara
pesantrian kilat yang berlangsung dengan konsep yang tidak maksimal. Aku tidak
boleh mengabaikan perjuangan dari panitia, para donatur, dan semua pihak yang
telah membantu terselenggaranya acara baik berupa moriil atau materiil. Aku
tidak boleh mengatakan pesantrian kilat tahun ini gagal. Aku yakin ada satu
materi yang masuk ke dalam hati, pikiran, atau tulisan yang akan dibaca kelak.
Acara yang merupakan misi dari para pemuda untuk mencerdaskan anak-anak harus
berlangsung lebih baik di tahun depan. Acara pada tahun ini akan menjadi
evaluasi di masa mendatang.
Maka berangkat
dari sana, aku akan kembali kuliah dengan semangat. Sebab, ada misi yang hendak
kucapai ketika liburan setelah kuliah nanti, ada 10-70 anak-anak menanti yang
perlu dibina akhlak-moralnya. Aku harus mengabdi pada masyarakat. Di sinilah
pentingnya menjalani kuliah dengan kesadaran. Orang yang tidak mengerti kuliah
adalah orang yang mendewakan IP dan prospek kerja. Mereka adalah orang-orang
yang tidak mengerti jika menggantungkan masa depan mereka lewat bangku kuliah.
Masa depan merupakan puzzle yang mesti kita susun sendiri, tidak bergantung
institusi atau lembaga apapun. Bagiku, kuliah tidak memberikan apa-apa. Kuliah idealnya
dijalani apabila kita mempunyai sebuah misi yang hendak kita capai. Ada yang
mengatakan kepadaku, bahwa pekerjaan terbaik adalah di mana pekerjaan tersebut
tidak menghasilkan uang, namun memiliki nilai pahala. Sebab, sebagian besar
orang tidak meminati pekerjaan tersebut. Rasanya pun langka bila ada orang yang
mau istiqamah bekerja demikian. Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir merupakan jurusan
yang paling fleksibel prospek kerjanya—bila tidak dikatakan banyak. Mendidik
anak-anak kecil barangkali tidak mendapat uang, namun mendidik termasuk
pekerjaan. Bandingkan bila 10 tahun kedepan anak-anak tersebut menjadi anak
yang shalih, dan 10 tahun berikutnya menjadi orang yang berhasil dan berguna
bagi negara. Apakah kebanggaan, rasa puas serta kebahagiaan yang kita rasakan,
belum lagi pahala yang kita terima dari Allah swt. dapat ditukar dengan uang?
Selanjutnya
berbicara Rama dan gengnya. Saya amat yakin dengan ‘rajin’nya para guru agama,
guru BK, sampai semua guru di sekolah yang mengajarkan pentingnya akhlak.
Namun, ada beberapa kesalahan di sini, di antaranya, orang tua terlalu percaya
mengenai pendidikan anaknya pada pihak sekolah. Aku yakin mau bagaimana pun
seorang guru berusaha keras menanamkan nilai akhlak pada anak, namun bila tidak
didukung dengan pendidikan akhlak dalam lingkungan keluarga, 91% tidak ada
hasilnya. Bagaimana tidak, sepulangnya si anak sekolah, si anak akan masuk
dalam lingkungan yang bebas yang belum terdeteksi baik-buruknya. Terlebih sifat
dari seusia mereka memiliki penasaran yang tinggi, seandainya mereka berteman
main dengan orang-orang yang merokok, suka ‘minum’, kemungkinan besar akan
terpengaruhi. Dari sini barangkali pentingnya lingkungan keluarga yang
mengontrol perkembangan akhlak dan lingkungan main anak. Lingkungan keluarga
merupakan pihak yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian anak.[5]Dalam
sebuah kitab yang tipis—akhlak li al-baniin, yang pernah aku pelajari
sewaktu SMP, ada analogi menarik yang disampaikan oleh guru. Guru mengatakan
bahwa anak kecil itu seperti bunga mawar. Bunga mawar apabila dirawat sejak
dini, akan berbanding lurus seluruh bagian bunganya, apabila bengkok, maka bila
disadari saat masih muda, bunga mawar berkemungkinan dapat diluruskan, namun
berbeda keadaannya ketika bunga mawar yang telah bengkok dalam keadaannya yang
telah besar. Bila diluruskan, maka berkemungkinan akan patah.
Ketertarikkan
kepada anak kecil dan misi kepada mereka mungkin menjadi tugasku. Dengan
tulisan ini setidaknya ada dua pesan yang ingin saya sampaikan. Pertama,
berbicara anak kecil tidak melulu berbicara mengenai kenakalan mereka, di
samping kenakalan, keluguan dan kepolosan mereka, mereka memiliki kejujuran,
kebersihan hati dan potensi yang besar untuk tampil di atas panggung sejarah
pada masa yang akan datang menggantikan generasi tua. Untuk anda yang memiliki
adik, ingatlah bahwa lingkungan keluarga menjadi lingkungan yang paling
menentukan dalam menentukan kehidupan mereka, maka status hubungan adik-kakak
tidak serta merta cukup dalam akta keluarga, namun ikatan batin dan
kasih-sayang itu diperkuat dengan kepedulian untuk mendidik dan menyiapkan masa
depan mereka. Hal tersebut memerlukan keseriusan yang tinggi. Kedua,
catatan ini merupakan contoh sederhana bagaimana aku memiliki misi terkait
pilihan mengambil jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Aku meyakini anda memiliki
alasan mengapa anda memilih jurusan yang sama denganku, maka dari itu buatlah
misi, apa yang hendak anda bagikan kepada orang lain terkait dengan apa yang
anda mampu. Kuliah di jurusan ini tidak mesti menjadi seorang orator dengan
mulut berbusa-busa, atau menjadi guru/dosen, atau menjadi pendakwah yang melulu
mengisi pengajian, atau menjadi penulis, akan tetapi ada banyak cara bagaimana
menyebarkan nilai-nilai al-Qur’an untuk diterapkan kepada diri lalu mengajak
kebaikan kepada masyarakat untuk berbuat kebaikan serupa sesuai dengan potensi
dan kemampuan yang anda miliki.
—Tuhanku. Maha suci Engkau. Terimakasih
kuucapkan atas segala karunia dan limpahan rahmat-Mu yang tak terhingga, hingga
Engkau masih menyisakkan di antara kami hamba-hamba kecil-Mu y
[3] Akhir merupakan salah satu adik
perempuanku, bernama lengkap Anapalish Khasasil Akhir Permata Azizah. Si Akhir
ini sebenarnya kembar, nama kembarannya Awal. Jadi Awwal dan Akhir, Awwal
sebagai kakak laki-laki, sedangkan Akhir kembarannya perempuan. Awwal bernama
lengkap Muhammad Syamail Awwal. Keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar
kelas satu.
[5] Kesimpulan yang penulis ambil. Bila
ada waktu senggang, aku sarankan untuk membaca: Sekolah itu Candu!,
karya Roem Topatimasaang. Anda akan tahu sejarah sekolah, dan memahami begitu
besarnya peran lingkungan keluarga dalam pendidikan.
Comments