Bacaan Setelah Shalat
“Bacaan
Setelah Shalat”
Oleh: Al Faiz Muhammad Tarman
Oleh: Al Faiz Muhammad Tarman
—Tuhan yang Maha
Kasih. Aku sadar bahwa ada berapa ratus juta kilometer jarak untuk menembus
langit, tapi aku percaya pada dzikir dan doa, yang menembus batas itu ketika
doa kupanjatkan akan langsung terdengar oleh-Mu—
Kumasuki genangan air keilahian..
kelak kutularkan sifat Tuhan dan manifestasi iman melalui kebaikan..
kepada sahabat, teman, juga mereka-mereka yang senang mengenalku..
O Tuhan AzzawaJalla. Jadikanlah jiwa ini senantiasa basah kala kusebut asmaMu.
cipratkan bulir-bulir keimanan itu senantiasa, agar kuciptakan kedamaian melalui pemahaman agamaku semoga.
O Tuhan. Izinkan aku membangunkan mereka-mereka yang kehadirannya seperti ketiadaannya..
O Tuhan. Izinkan aku menyadarkan sekelompok manusia yang tidak menyadari mereka-mereka yang t’lah tiada, padahal semestinya mereka senantiasa ada di hati urat nadinya.
kelak kutularkan sifat Tuhan dan manifestasi iman melalui kebaikan..
kepada sahabat, teman, juga mereka-mereka yang senang mengenalku..
O Tuhan AzzawaJalla. Jadikanlah jiwa ini senantiasa basah kala kusebut asmaMu.
cipratkan bulir-bulir keimanan itu senantiasa, agar kuciptakan kedamaian melalui pemahaman agamaku semoga.
O Tuhan. Izinkan aku membangunkan mereka-mereka yang kehadirannya seperti ketiadaannya..
O Tuhan. Izinkan aku menyadarkan sekelompok manusia yang tidak menyadari mereka-mereka yang t’lah tiada, padahal semestinya mereka senantiasa ada di hati urat nadinya.
Di atas sebuah
meja klasik di kost. Kumulai sekejap memejamkan mata. Kuhitung satu..dua..tiga..sampai
3600, detik!
Seorang anak
kecil berlari memburu shaff terdepan, sementara bacaan sang imam terus melaju
dengan kecepatan 10,3 km/ayat. Sesampainya, anak kecil tersebut bersiap-siap,
lalu takbiratul ihram. Dan…
“Eleh-eleeeh.
Shalat kok pakai baju olahraga, ngga sarungan lagi?” Betapa konyolnya anak
kecil itu. Ia baru menyadari ternyata ia mengikuti imam kloter kedua. Ternyata
Kakek sudah menunggu-nunggu kehadirannya di surau. Yang lebih parah, anak kecil
itu adalah aku, yang masih duduk di bangku TK. Memakai baju olahraga merah
bergambarkan logo pendidikan tut wuri handayani, satu stel dengan celana
pendek di atas lutut berkantungkan kempis yang airnya masih tersisa setengah
lagi. Aku lupa tak memakai sarung ketika hendak menuju surau.
Seketika Kakek
menyindirku, sontak membuatku kaget dan risih. Bersamaan dengan hal itu, aku
pun tak ragu-ragu untuk keluar dari shaff, keluar dari surau lalu kembali ke
rumah dengan dinginnya.
“Ais udah
shalat?” tanya Umi[1]
Aku pun tak
ragu untuk menjawab, “Udah, kok Mi.”
“Salaman ngga
sama Abah[2]?”
Aku menggelengkan kepala.
Demikianlah
salah satu cara Mama dalam mendidikku, setibanya liburan panjang sekolah, aku
selalu dikirimnya ke Garut, desa Bayongbong yang masih asri, udaranya pun
sejuk. Tidak seperti anak-anak lainnya yang bermain-main di waktu liburannya, aku
malah belajar dengan cara yang menyenangkan dengan Abah dan Umi. Setiap hari
aku harus belajar adzan dan iqamat, pada waktu dzuhur tiba aku pun dipaksa
adzan di surau milik Abah. Ada kalanya aku langsung pergi untuk adzan, kadang
pula karena saking nakalnya aku dahulu, ketika aku dipaksa adzan, kucubit
lengan kakakku, atau merengek sama Umi meminta kakakku saja yang adzan, aku
sering bertengkar dengan Kakak hanya karena masalah adzan. Aku dan Kakak memang
enggan untuk adzan. Setelah aku merengek nangis, Umi pun akhirnya memenangkan
aku dan menyuruh Kakak untuk adzan di surau. Kakak memang tegar, ia hanya memperlihatkan
wajah cemberut, kemudian berjalan menuju keluar rumah dengan lesu. Dan…brag!
Sepasang sandal dilemparkannya ke pintu. Ia terlihat kesal sekali padaku. Kakak
pun akhirnya menangis juga. Letak surau dengan rumah sangat dekat sekali, hanya
berpaut 8 meter saja. Kemudian Kakak pun adzan, dengan suara cemprengnya,
kebayang ngga sih? Suara yang cempreng plus nangis, pasti kedengarannya
lucu sekali. satu tarikan nafas mengikrarkan lafadz “Allahu Akbar..Allahu
Akbar” sembari suaranya yang besar diselingi dengan nada melengking fals
secara berganti-gantian tak beraturan dan tak karuan, disela adzannya terdengar
dari mikrofon suara sesenggukan Kakak. Sementara di rumah aku bercekik tertawa
mendengar suara Kakak yang sedang adzan. Tertawaku semakin keras saja ketika
nada Kakak melengking fals seperti terjepit pintu itu, sementara aku
sesekali menyeka air mataku karena baru selesai nangis. Aku sangat senang
sekali saat itu, aku tidak jadi adzan juga senang karena suara Kakak yang
menggelikan. Haha. Kemudian Abah dan Umi pun saling berpandangan, lalu
melihatku sinis. Aku terdiam. Tidak tertawa lagi.
Setelah
selesai shalat, kebiasaan yang unik adalah aku dan Kakak harus bersalaman
dengan Abah. Kalau tidak, aku dan Kakak akan dicurigai belum shalat. Abah
sangat disegani di keluarga, bahkan di kampungnya. Ia sosok yang tidak banyak
bicara. Aku tahu betul bagaimana kebiasaannya, setelah selesai shalat, ia
berjalan pulang ke rumah. Aku sudah tahu sebelum ia masuk ke rumah karena desah
nafasnya yang terdengar berat. Ia berjalan sementara kedua tangannya
berpengangan di pinggang belakangnya.
Bila selesai makan malam, terkadang Abah
berbaring tidur, atau memanggil aku dan Kakak. Disuruhnya kami berdua untuk
bernyanyi secara bergantian hingga bersamaan. Bila diingat itu sebuah hal yang
luar biasa. Di sebuah suasana yang hening, antara aku, Kakak, Umi dan Abah
menyanyi bersama. “Sembilan bulan, ibu mengandung, dan melahirkan kita ke
dunia, Siang dan malam ibu menyusui, Tiada merasa lelah dan letih Kasih
sayangnya cinta kasihnya Sepanjang masa Surga di telapak kaki ibu Tak terbalas
emas permata Surga di telapak kaki ibu Itulah hadist Nabi Muhammad Jangan
durhaka pada ibunda Di akhirat mendapat siksa Surga di telapak kaki ibu Itulah
hadist Nabi Muhammad Kalau kita berbakti padanya Di akhirat mendapat surga…”
kali itu aku melihat senyum yang terkembang dari mulut Abah, mengembang
memperlihatkan gigi-giginya yang dapat dihitung jari berwangikan keikhlasan
penuh cinta seorang Kakek, bernyanyi bersama-sama lagu milik Dhea Ananda yang
sempat populer tempo dahulu. Barangkali selama itu dan dengan cara itulah Abah
mencurahkan sayang dan cintanya pada kami sebagai cucu.
Selain itu,
Abah lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca al-Qur’an, istirahat karena
usia yang memaksanya seperti itu, sengaja duduk di tengah-tengah kami memberi
nasehat-nasehat atau berdiam diri di mesjid, tepatnya dipojok shaff, Abah
selalu meluangkan waktunya untuk berdzikir.
Maka dari itu Abah
selalu mengingatkanku agar jangan pernah beranjak dari tempat duduk sehingga
aku telah selesai berdzikir setelah shalat. Terkadang, aku sampai malas untuk
bertemu dengannya, pasti yang ditanya adalah shalat, shalat, dan shalat lagi
atau harus banyak berdzikir. Kenapa sih aku harus seperti itu? Kenapa Abah
sibuk banget membanjiriku dengan nasehat-nasehatnya? Masalahnya aku
bosan dinasehati dengan logat, dengan intonasi, dengan raut wajah, dengan
konten nasehat yang sama persis dengan nasehat Abah di hari-hari sebelumnya!
Ya. Aku memang rajin setelah itu, rajin berdzikir ketika ada musibah, rajin
berdzikir ketika baru dikasih uang jajan agar mendoakan orang tua. Ya. Rajin
musiman. Tanpa memikirkan secara mendalam apa yang aku lakukan selama ini.
Nasehat Abah selama bertahun-tahun belum terasa.
Sampai suatu
ketika aku terbangun, setelah shalat subuh biasanya pada waktu liburan aku
tidur lagi, kemudian aku melihat Abah yang sedang menonton channel kesukaannya,
TPI, tentang berita, sambil kudengar desah resah nafas asmanya, disamping keriput
kulit berkerut, alam yang membuatnya seperti itu secara alami, dan Tuhan yang
berkuasa atasnya. Nafas yang tersengal nan berat, asma yang tak kunjung sembuh,
takkan sembuh selayaknya usia yang semakin tumbuh.
Kemudian suatu
waktu Abah sakit. Keluarga besar pun berdatangan, di saat sakit pun nasehat tetap
membanjiri keluarga kami. Abah dan Umi berbicara banyak mengenai hal-hal yang tidak
kumengerti. Kakek banyak bicara mengenai keseriusanku dalam masa pendidikan
sekolah sampai kuliah, Umi juga ikut menasehatiku. Kenapa sih harus seperti
itu? Rasanya telinga ini tak cukup besar untuk menampung semua nasehat-nasehat
dari Abah dan Umi, dari tukang minyak dan seorang petani! Ya. Abah seorang
tukang minyak, Umi seorang petani. Tukang minyak dan petani yang miskin yang banyak
berbicara tentang nasehat-nasehat yang membosankan, sampai berbusa-busa. Aku
kira semua orang sudah tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan. Namun mengapa
Mama dan Abi begitu sayang pada abah dan umi? Ketika aku mondok di Garut Umi tak
jarang membekali nasi bungkus dan pisang goreng, aku ngga mau menerima penuh
gengsi, aku mengabaikan kasih sayang unlimited-nya.
But, kenapa ya
kalau liburan, sementara keluarga menyempatkan untuk pergi ke Garut, Mama
selalu betah berdiam hanya untuk berbicara banyak dengan Umi dan Abah. Abah
terlihat banyak terdiam dibanding menanggapi obrolan Mama dan Umi. Ketika di
Purwakarta pun, tak jarang Mama mengenalkan Abah dan Umi lewat cerita-ceritanya
yang menarik pada anak-anaknya. Mama dalam salah satu ceritanya tentang jilbab,
Mama pada zamannya duduk di bangku SMA begitu sulit untuk mengenakan jilbab.
Abah pun menggerutu terhadap sikap Mama. “Teu pira nya, bet beurat-beurat
teuing make jilbab teh. Padahal teu sakilo-kilo acan dibanding nyunyuhun
tolombong mah.” (Padahal ngga seberapa, kok kenapa berat banget sih berjilbab?
Padahal ngga sampai satu kilogram dibanding kalau membawa tampah) maka dari
cara Mama mengenalkan Abah dan Umi dipihak Mama dan Kakek dan Nenek dipihak
Abi, aku baru menyadari bahwa keberadaan orang tuaku dengan karakternya
barangkali merupakan hasil didikan Abah dan Umi. Mama dan Abi yang penuh
tanggung jawab merawatku dan enam saudara kandung, Mama dan Abi yang mendidik
dengan nuansa agamis yang tegas namun dilumuri oleh cinta suci yang begitu
tebal. Mama dan Abi yang mencintai kami sebagai anak dengan cinta sejati tak
bertepi bergaramkan peluh pengorbanan dan semangat juang tak berbatas.
Sampai
akhirnya semua kasih sayang Abah dan Umi itu diwariskan pada Mama dan Abi yang
memeluk hangat mesra anak-anaknya, meskipun aku sendiri belum begitu mengenal
lebih dekat siapa makhluk bertanggung jawab dalam pendidikan Mama dan Abi.
Pelukan mesra itu tak perlu menunggu lama menjelma menjadi haru. Mama dan Abi
terlihat bahagia ketika 14 September 2014 lalu berhasil mengantarkan Kakakku
menjadi sarjana sosiologi. Hasil keringat dari tukang minyak dan petani itu!
Ya. Para tukang dan petani yang miskin.
Di mobil
menuju Bandung, Mama dan Abi sudah melihat-lihat bagaimana 100 meter menuju
universitas, mobil-mobil sudah memadati area parkir. Terprediksi satu orang
calon sarjana di antara oleh 2-3 mobil pengantar dari keluarga besarnya. Orang
tua yang berasal dari latar belakang berbeda berdatangan. Termasuk
mereka-mereka orang tua yang berprofesi sebagai tukang becak atau petani bahkan
buruh yang rela berhutang uang ria hanya untuk menyewa sebuah mobil demi acara
wisuda anaknya.
Saat hari yang
penuh haru itu, Mama mulai menitikkan air mata, masih kudengar dengan suara
kecilnya Mama berdoa pada Tuhan untuk anak-anaknya, terutama untuk Kakakku.
Sementara Abi masih tegar dan tetap dalam kefokusannya mengemudikan mobil.
Sesampainya di universitas, banyak di antara para orang tua dan tamu
menyaksikan prosesi wisuda, tak sedikit yang menunjuk-nunjuk monitor dan
menanti anak-anaknya dipanggil oleh master of ceremony.
Setelah
selesai, wisudawan/ti keluar dari ruangan, pecahlah tangis itu. Abi yang
kukenal sebagai sosok tegar, kini gelar tegar yang selama ini disandangnya tak
lagi melekat. Abi tak kuasa menahan perasaan bahagianya memeluk Kakak. Terlebih
Mama. Bersamaan dengan hal itu, banyak di antara orang tua dan tamu undangan
yang memberikan bunga pada anaknya. Namun tidak dengan Mama. Mama tidak memberi
bunga pada Kakak. Tak lama, sebuah pesan pun sampai padaku dan Kakak, pesan
singkat muncul dari layar handphone, dari Mama! :
“Aa, Mama
tidak bisa memberikan bunga karena pasti akan layu dan terbuang. Tetapi Mama
akan memberikan do’a yang pasti akan abadi dan pasti takkan terbuang, semoga
akan dirasakan lama di akhirat dan dunia. Jadilah orang yang menghambakan diri
kepada yang telah menciptakanmu, perjalanan masih panjang. Jalani dunia untuk
akhirat. Semoga hari ini awal menuju kesuksesan untuk kebahagiaan dunia
akhirat. Barakallahufiik.”—selesai.
Aku masih saja
menahan-nahan rasa haru, aku malu disebelahku ada Umi dan Bibi. Kuhela dan
kuhirup nafas dalam-dalam, berusaha menenang-nenangkan diri. Dalam foto wisuda,
raut wajah sembab tak bisa disembunyikan dari wajah-wajah Kakak, Abi dan Mama.
Setelah
sejenak beristirahat, kami sekeluarga pun berbincang ringan terkait prosesi
wisuda. Bila disyukuri, bukankah kehadiran dua malaikat dalam wisuda menjadi
anugerah terbesar? Aku jadi ingin membahas Penda, teman Kakak yang juga wisuda
dalam waktu yang bersamaan dengan Kakak. Dia yang datang hanya dengan Ibunya.
Padahal seminggu yang lalu Ibunya dirawat di rumah sakit daerah Purwakarta,
maag kronis, saat itu dalam perawatannya pun tak sehelai pun karpet tergelar di
sisi ranjang tempat berbaring di rumah sakit karena dia yang tidak mampu dari
sisi ekonominya. Dan saat wisuda, hanya Ibunya yang hadir, sang ayah masih
misteri. Sampai saat ini Penda tak pernah tahu siapa ayahnya. Dapatkah kau
mendengar? Bagaimana jeritan hati seorang anak yang menginginkan kehadiran Ayah
di hari istimewanya. Begitupun jeritan hati seorang Ibu yang ingin memberikan
segalanya demi kebahagiaan anaknya, terlebih menghadirkan sang Ayah di hari itu.
Dada bahu Penda terasa dingin sekali dan hampa tanpa peluk hangat seorang Ayah
di sisinya. Ibu terus bungkam perihal Ayahnya. Hal itulah yang membuat Penda
mendalami ilmu hitam secara sembunyi-sembunyi, hanya untuk mengetahui wujud-rimba
sang Ayah. Seketika ia sudah mengetahui siapa Ayahnya dari seorang dukun,
tetapi ketika ia berusaha mengklarifkasi pada Ibunya, Ibu enggan meng-iyakan.
Abi dan Mama
pun bercerita, ketika wisudawan-wisudawan yang keluar dari ruangan disambut
dengan sungging senyum keluarga, hal itu tidak bagi Penda, tak ada sambutan
hangat dari Ayahnya, hanya dari Ibunya. Abi pun menuturkan bila saja jarak saat
itu dekat, ingin rasanya memeluk Penda ‘tuk meringankan sejenak jeritan
hatinya. Sebab sudah tak jadi rahasia umum bagaimana arti besar kehadiran orang
tua di mata seorang anak.
Sampai
beberapa waktu berlalu, berjalan ke depan, tabung oksigen pun sudah terpasang
di hidung Abah. Pertanda kondisi Abah yang semakin menurun seiring bertambahnya
usia. Kuperhatikkan bagaimana Abah menikmati tarikan nafas yang dibantu alat
merepotkan itu, Abah memang selalu sabar menikmatinya. Terdengar susah payah,
sesekali tangannya bergerak lalu berdzikir.
Dan..selepas
liburan dan dalam waktu yang lama, aku pun mengabaikan mereka. Rasanya tidak
ada yang berkesan dari seorang Kakek dan Umi. Sampai tiba suatu waktu, Mama
sedang menjemur pakaian, Mama heran mengapa Mama saat itu tertarik untuk
menengadahkan matanya ke langit, di langit terdapat awan yang menyerupai
seseorang yang sedang berbaring. Mama menatapnya dalam-dalam, padahal Mama tak
mengerti sedikitpun tentang awan itu, tak mengerti sama sekali.
Sampai esok
hari, barulah terdengar kabar, bahwa merpati-merpati putih t’lah membawa ruh
suci di haribaan Tuhan dengan damai. Malaikat-malaikat telah menjemput
jiwa-jiwa suci ke hadapan-Nya. Abah telah tiada. Mama tersentak sadar,
awan-awan yang dilihatnya barangkali menjadi pertanda ketiadaan. Antara sadar
dan tak sadar, Mama harus menerima kenyataan. Aku? Hampir terlihat biasa saja,
hanya kesedihan yang menyelimutiku, lantaran tertular oleh tangisan-tangisan
yang terdengar di sekitarku, aku hanya merasa kehilangan salah satu anggota
keluarga.
استغفرالله
3x
“Aku meminta
ampun kepada-Mu ya Rabb,meminta ampunanmu dari segala dosa kesalahan yang telah
kuperbuat dari menjelang Maghrib hingga Isya ini.”
اللهم انت السلام ومنك السلام تباركت
يا ذا الجلال و الاكرام
“Ya Allah Engkau Maha dan pemilik Kesejahteraan, dari-Mu pula
kesejahteraan itu datang. Maha Berkah Engkau wahai Dzat yang memiliki Keagungan
dan Kemuliaan Abadi.”
لا اله الا الله وحده لا شريك له, له
الملك و له الحمد و هو على كل شيئ قدير. لا حول ولا قوة الا با لله. لا اله الا
الله ولا نعبد الا اياه. له النعمة و له الفضل وله الثناء الحسن. لا اله الا الله
مخلصين له الدين, ولو كره الكافرون. اللهم لا منع لما اعطيت ولا معطي لما منعت ولا
ينفع ذا الجد منك الجد.
“Tidak ada
Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.
Milik-Nya seluruh kerajaan dan milik-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Tidak
ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan kami tidak menyembah kecuali
kepada-Nya, milik-Nya segala nikmat, milik-Nya segala keutamaan dan milik-Nya
segala sanjungan yang baik. Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah
dengan mengikhlaskan agama (ketundukan) untuk-Nya walaupun orang-orang kafir
benci. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan,
tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi dan tidak bermanfaat bagi
orang yang memiliki kekayaan (dari siksaan-Mu) akan kekayaannya”.
Tiada Ilah
yang berhak disembah melainkan Allah yang Tunggal. Kau pikir siapa makhluk
Tuhan yang mengajarkanmu untuk senantiasa ingat kepada-Nya? Baginya segala
hinaan dan cacian yang kau lontarkan dalam hatimu itu! Gerutu yang membatu.
Bukankah seorang petani dan tukang minyak yang kau sebut miskin itu yang
mengajarkanmu dzikir? Menyebut mereka miskin sementara tak terhitung berapa
kali kau dibuat tersenyum oleh keduanya? Menyebut mereka miskin sementara
seberapa ratus mainan yang t’lah keduanya berikan kepadamu saat kecil? Menyebut
mereka miskin sementara seberapa juta kali butir nasi dan makanan-makanan lain yang telah
masuk dalam perutmu dan membuatmu kenyang lalu tertidur dengan lelap? Menyebut
mereka miskin sementara seberapa milyar doa yang telah mereka panjatkan dan
dikabulkan-Nya sehingga membuatmu seperti ini? Dasar kera! Dasar kuda! Bahkan
kera dan kuda berterimakasih ketika sang majikan memberinya makan. Apa yang
membuatmu menjadi lebih hina dari binatang itu yang tak tahu berterimakasih
bahkan tak mendoakan kepada orang yang telah membuatmu menjadi seperti ini?
Ya Rabb, Tidak
ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, jadikanlah lidah yang
memanjat doa ini bertuah, kabulkanlah doa yang akan kupanjatkan, untuk Abah
yang “beristirahat” dalam kedamaiannya di tempat kediaman abadi, untuk Umi yang
dalam diamnya menyumpahi anak-cucunya dengan doa-doa mujarab, untuk Mama dan
Abi yang mengantarkanku pada batas kesadaranku, jangan halangi aku untuk
bertaubat ya Rabb. Bertaubat dengan mengingat jasa-jasa mereka yang pernah
kulupakan. Jangan halangi doa ini hanya
karena dosaku yang menggunung tinggi, jangan halangi sebagaimana Engkau tidak
menghalangi doa-doa keluarga yang langsung Engkau kabulkan.
سبحان
الله 33x
Maha Suci
Engkau ya Allah, sucilah jasa-jasa Abah Umi, Mama dan Abi, rahmatilah mereka,
ya Rabb.
الحمد
لله 33x
Maha Terpuji
Engkau ya Allah, terpujilah segala kebaikan Abah Umi, Mama dan Abi,
Sejahterakan mereka, ya Rabb.
الله
اكبر 33x
Maha Akbar
Engkau ya Allah, Besarlah peran-peran Abah Umi, Mama dan Abi, masukkan mereka
ke dalam surga-Mu, ya Rabb.
لا اله الا الله وحده لا شريك له, له
الملك و له الحمد و هو على كل شيئ قدير.
“Tidak ada
Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya,
bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu.”
…
Lafadz-lafadz terlantun membuatku
masuk kedalam genangan air keilahian..
badan menjadi basah. Namun bersinar oleh cahaya-cahaya ketuhanan..
kelak kutularkan sifat Tuhan dan manifestasi iman melalui kebaikan..
kepada sahabat, teman, juga mereka-mereka yang senang mengenalku..
O Tuhan AzzawaJalla. Jadikanlah jiwa ini senantiasa basah kala kusebut asmaMu.
cipratkan bulir-bulir keimanan itu senantiasa, agar kuciptakan kedamaian melalui pemahaman agamaku semoga.
badan menjadi basah. Namun bersinar oleh cahaya-cahaya ketuhanan..
kelak kutularkan sifat Tuhan dan manifestasi iman melalui kebaikan..
kepada sahabat, teman, juga mereka-mereka yang senang mengenalku..
O Tuhan AzzawaJalla. Jadikanlah jiwa ini senantiasa basah kala kusebut asmaMu.
cipratkan bulir-bulir keimanan itu senantiasa, agar kuciptakan kedamaian melalui pemahaman agamaku semoga.
Tak banyak
sebenarnya buku-buku referensi yang kubaca mengenai makna shalat. Namun pada
intinya aku selalu bertanya tentang aktifitas yang selama ini aku lakukan,
hampir tak ada aktifitas yang berlalu tanpa kupikirkan terlebih dahulu. Shalat?
Dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Hanya sebatas tahu, tapi sikapku
seperti orang tidak tahu. Pengetahuanku gersang mengenai makna shalat. Setelah
shalat, aku hanya puas karena berhasil menggugurkan kewajiban. Berjalannya
waktu, yang dapat aku lakukan hanya bertanya dan bertanya terhadap apa yang ada
di sekitar dan rutinitas yang perlu aku pertanyakan. Mulailah aku bertanya
mengenai berdzikir. Kenapa ya aku harus berdzikir? Apa ada pengaruhnya dalam
rutinitas selanjutnya?
Bersamaan
dengan hal itu, aku jadi teringat dengan pesan Abah agar senantiasa berdzikir.
Mengingat jasa-jasa Abah, Umi, Mama, Abi dan kerabat-kerabat, aku meyakini
bahwa aku tak pernah bisa menjadi seperti ini tanpa mereka. Ya, mereka-mereka
yang membesarkan dan membuatku berada di strata satu pendidikan dengan penuh
dukungan mereka baik moril maupun materiil. Sampai di sana aku pun mulai
menyadari bahwa aku harus berterimakasih kepada mereka, mengingat segala
kebaikan mereka, dan bernafsu ingin kembali ke pangkuan keluarga dengan
mengabdi dan menjadi orang yang berhasil, orang yang baik nan jujur. Lantas,
kepada siapa aku harus berterimakasih selain kepada-Nya yang menganugerahkan
segalanya? Kepada-Nya lah aku meminta agar mereka hidup dalam kesalehan dan
ketaatan selalu, dan menerima takdir ketiadaan dalam keadaan taat, di anugerahi
rizki halal serta diampuni segala kesalahan-kesalahan mereka.
Shalat pun
kini sedikit bermakna, karena di dalam dan setelahnya, ada ritual yang mesti
dilakukan, memejamkan mata, mengingat kenangan dan jasa-jasa mereka yang telah
berbuat baik kepadaku dan merenungkan untuk apa aku diciptakan selain mengabdi
di bawah kuasa-Nya. Setelah berdzikir pun aku baru mengerti bahwa setiap kali
berdzikir aku selalu mendapat motivasi baru dalam hidup. Bahwa aku hidup bukna
tanpa tujuan, yang kadang aku lupa, maka dari itu aku selalu memperbarui
kesadaranku dengan berdzikir lima kali dalam sehari, sedikitnya. Aku tak
menyadari sebelumnya bahwa nasehat-nasehat Abah akan berguna di kemudian hari,
tepatnya saat usia hidup mencapai tahun ke-19.
Setelahnya
ayat kursi terlantun, air mata menggeliat memaksa turun, bumi yang kupijak
beristisqa’ menengadahkan tangannya menyambut air mata.
اللهم اني اعوذبك من البخل و اعوذبك من
الجبن واعوذبك من ان ارد الى ارذل العمر واعوذبك من فتنة الدنيا وعذاب النار.
“Ya Allah,
aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung pada-Mu dari hati yang
lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur yang jelek, aku berlindung
kepada-Mu dari musibah dunia dan aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur.”
O Tuhan.
Izinkan aku membangunkan mereka-mereka yang kehadirannya seperti ketiadaannya..
O Tuhan. Izinkan aku menyadarkan sekelompok manusia yang tidak menyadari mereka-mereka yang t’lah tiada, padahal semestinya mereka senantiasa ada di hati urat nadinya.
O Tuhan. Izinkan aku menyadarkan sekelompok manusia yang tidak menyadari mereka-mereka yang t’lah tiada, padahal semestinya mereka senantiasa ada di hati urat nadinya.
Ketiadaan
keluarga, bukan berarti tiada. Kini mereka yang telah tiada mulai hidup di
hati. Abah wafat 2007 silam, butuh waktu tujuh tahun sampai tahun ini untuk
menangisi ketiadaannya. Mengapa harus menunggu waktu lama untuk bersedih?
Mengapa baru hari ini aku kehilangan Abah? Mengapa harus hari ini aku meratapi
ketiadaan? Mengapa baru hari ini aku merasa “dingin” tanpa kasih sayangnya?
Di hadapanku
sosok Abah mulai terbayang. Bernafas dengan payah dengan bantu alat oksigen.
Nafas-nafas Abah yang selalu memberi kehidupan untukku sendiri, Mamah, dan
keluarga besar berkat jasanya yang teramat besar. Selama aku masih bernafas,
selama ini pula mudah-mudahan hela nafas ini menjadi doa dan kesadaran yang
melahirkan dzikir ketika mengingat nafas kakek yang berjasa yang pernah
terlupakan olehku.
Aku mulai
sadar setelah sudah menjadi seperti ini, telah mengenal orang yang baik dan
orang yang buruk, ada sesuatu yang mesti aku lakukan dan sesuatu yang tidak
perlu aku lakukan. O ternyata aku yang baru menyadari bahwa dalam nasehatnya Umi
tak pernah mengenyam sekolah pada zamannya, namun pada zamannya pula Umi sosok
yang telaten untuk bertanya dan belajar membaca, dan menjadi orang yang tidak
buta huruf di kampung pada zamannya. Begitupula pendidikan rendah Abah yang telah
mengajarkanku kehidupan yang keras dengan berjualan minyak. Nasehat-nasehatnya
selalu mempunyai dua sisi, satu sisi nasehat yang Abah dan Umi ucapkan secara
langsung kepada kami, sisi yang lain ketika Abah dan Umi berusaha
menginternalisasikan nasehatnya melalui pembiasaan yang mereka coba tanamkan
pada kami. Mereka mencoba menanamkan nasehat mereka dengan menyuruhku adzan,
menyuruh kakakku iqamat, dengan mengajak tetangga-tetangga untuk main dan makan
bersama. Pembelajaran itulah yang tak kusadari sejak dulu, sehingga kebodohanku
ini melahirkan gerutuan-gerutuan yang mengalir begitu saja keluar dari mulutku
yang hina dan tak tahu diri.
Aku baru sadar
tentang perintah Abah agar aku rajin berdzikir. Ada rasa jenuh, resah,
jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan dan ketenteraman, dan saat itulah jiwa ini
merasa terpanggil dan tertundukkan oleh sang pencipta. Pada saat itulah aku
mulai bertanya-tanya tentang kehidupan dan suatu rutinitas yang sering aku
jalani yang berjalan begitu saja tanpa disadari, padahal sesuatu yang tak
kusadari itulah membuatku terlempar dari alasan diciptakannya aku di dunia.
Ketika kumasukki lautan dzikir,
kelak berusaha untuk kulahirkan kesalehan individu dan sosial.
Ketika kumasukki lautan pendidikan, kelak berusaha untuk kulahirkan kebijaksanaan dalam sikap dan tingkah laku.
Ketika kumasukki lautan dzikir, kelak berusaha untuk menjadi orang yang mengabdi pada keluarga, masyarakat, bangsa dan agama. Semua rutinitas tiada yang sia-sia.
Ketika kumasukki lautan pendidikan, kelak berusaha untuk kulahirkan kebijaksanaan dalam sikap dan tingkah laku.
Ketika kumasukki lautan dzikir, kelak berusaha untuk menjadi orang yang mengabdi pada keluarga, masyarakat, bangsa dan agama. Semua rutinitas tiada yang sia-sia.
اللهم اعني على ذكرك و شكرك و حسن
عبادتك
“Ya Allah, Bantulah
aku untuk senantiasa berdzikir pada-Mu, berdzikir akan jasa-jasa Mama Abi, Abah
dan Umi yang tak terbalaskan jasanya. Bantulah aku untuk senantiasa bersyukur
pada-Mu, bersyukur karena dilahirkan dalam keluarga yang membuatku nyaman dan
menyejukkan hati, dan bantulah aku untuk senantiasa memperbagus ibadah pada-Mu.”
Tuhan yang
Maha Kasih. Aku sadar bahwa ada berapa ratus juta kilometer jarak untuk
menembus langit, tapi aku percaya pada dzikir dan doa, yang menembus batas itu
ketika doa kupanjatkan akan langsung terdengar oleh-Mu.
…3598
detik..3599..dan..3600! sampai akhirnya air mata tak kuasa menahan jiwanya,
mengalir…
Comments