Bacaan Setelah Shalat

“Bacaan Setelah Shalat”
Oleh: Al Faiz Muhammad Tarman
—Tuhan yang Maha Kasih. Aku sadar bahwa ada berapa ratus juta kilometer jarak untuk menembus langit, tapi aku percaya pada dzikir dan doa, yang menembus batas itu ketika doa kupanjatkan akan langsung terdengar oleh-Mu­—
Kumasuki genangan air keilahian..
kelak kutularkan sifat Tuhan dan manifestasi iman melalui kebaikan..
kepada sahabat, teman, juga mereka-mereka yang senang mengenalku..
O Tuhan AzzawaJalla. Jadikanlah jiwa ini senantiasa basah kala kusebut asmaMu.
cipratkan bulir-bulir keimanan itu senantiasa, agar kuciptakan kedamaian melalui pemahaman agamaku semoga.
O Tuhan. Izinkan aku membangunkan mereka-mereka yang kehadirannya seperti ketiadaannya..
O Tuhan. Izinkan aku menyadarkan sekelompok manusia yang tidak menyadari mereka-mereka yang t’lah tiada, padahal semestinya mereka senantiasa ada di hati urat nadinya.
Di atas sebuah meja klasik di kost. Kumulai sekejap memejamkan mata. Kuhitung satu..dua..tiga..sampai 3600, detik!
Seorang anak kecil berlari memburu shaff terdepan, sementara bacaan sang imam terus melaju dengan kecepatan 10,3 km/ayat. Sesampainya, anak kecil tersebut bersiap-siap, lalu takbiratul ihram. Dan…
Eleh-eleeeh. Shalat kok pakai baju olahraga, ngga sarungan lagi?” Betapa konyolnya anak kecil itu. Ia baru menyadari ternyata ia mengikuti imam kloter kedua. Ternyata Kakek sudah menunggu-nunggu kehadirannya di surau. Yang lebih parah, anak kecil itu adalah aku, yang masih duduk di bangku TK. Memakai baju olahraga merah bergambarkan logo pendidikan tut wuri handayani, satu stel dengan celana pendek di atas lutut berkantungkan kempis yang airnya masih tersisa setengah lagi. Aku lupa tak memakai sarung ketika hendak menuju surau.
Seketika Kakek menyindirku, sontak membuatku kaget dan risih. Bersamaan dengan hal itu, aku pun tak ragu-ragu untuk keluar dari shaff, keluar dari surau lalu kembali ke rumah dengan dinginnya.
“Ais udah shalat?” tanya Umi[1]
Aku pun tak ragu untuk menjawab, “Udah, kok Mi.”
“Salaman ngga sama Abah[2]?” Aku menggelengkan kepala.
Demikianlah salah satu cara Mama dalam mendidikku, setibanya liburan panjang sekolah, aku selalu dikirimnya ke Garut, desa Bayongbong yang masih asri, udaranya pun sejuk. Tidak seperti anak-anak lainnya yang bermain-main di waktu liburannya, aku malah belajar dengan cara yang menyenangkan dengan Abah dan Umi. Setiap hari aku harus belajar adzan dan iqamat, pada waktu dzuhur tiba aku pun dipaksa adzan di surau milik Abah. Ada kalanya aku langsung pergi untuk adzan, kadang pula karena saking nakalnya aku dahulu, ketika aku dipaksa adzan, kucubit lengan kakakku, atau merengek sama Umi meminta kakakku saja yang adzan, aku sering bertengkar dengan Kakak hanya karena masalah adzan. Aku dan Kakak memang enggan untuk adzan. Setelah aku merengek nangis, Umi pun akhirnya memenangkan aku dan menyuruh Kakak untuk adzan di surau. Kakak memang tegar, ia hanya memperlihatkan wajah cemberut, kemudian berjalan menuju keluar rumah dengan lesu. Dan…brag! Sepasang sandal dilemparkannya ke pintu. Ia terlihat kesal sekali padaku. Kakak pun akhirnya menangis juga. Letak surau dengan rumah sangat dekat sekali, hanya berpaut 8 meter saja. Kemudian Kakak pun adzan, dengan suara cemprengnya, kebayang ngga sih? Suara yang cempreng plus nangis, pasti kedengarannya lucu sekali. satu tarikan nafas mengikrarkan lafadz “Allahu Akbar..Allahu Akbar” sembari suaranya yang besar diselingi dengan nada melengking fals secara berganti-gantian tak beraturan dan tak karuan, disela adzannya terdengar dari mikrofon suara sesenggukan Kakak. Sementara di rumah aku bercekik tertawa mendengar suara Kakak yang sedang adzan. Tertawaku semakin keras saja ketika nada Kakak melengking fals seperti terjepit pintu itu, sementara aku sesekali menyeka air mataku karena baru selesai nangis. Aku sangat senang sekali saat itu, aku tidak jadi adzan juga senang karena suara Kakak yang menggelikan. Haha. Kemudian Abah dan Umi pun saling berpandangan, lalu melihatku sinis. Aku terdiam. Tidak tertawa lagi.
Setelah selesai shalat, kebiasaan yang unik adalah aku dan Kakak harus bersalaman dengan Abah. Kalau tidak, aku dan Kakak akan dicurigai belum shalat. Abah sangat disegani di keluarga, bahkan di kampungnya. Ia sosok yang tidak banyak bicara. Aku tahu betul bagaimana kebiasaannya, setelah selesai shalat, ia berjalan pulang ke rumah. Aku sudah tahu sebelum ia masuk ke rumah karena desah nafasnya yang terdengar berat. Ia berjalan sementara kedua tangannya berpengangan di pinggang belakangnya.
Bila selesai makan malam, terkadang Abah berbaring tidur, atau memanggil aku dan Kakak. Disuruhnya kami berdua untuk bernyanyi secara bergantian hingga bersamaan. Bila diingat itu sebuah hal yang luar biasa. Di sebuah suasana yang hening, antara aku, Kakak, Umi dan Abah menyanyi bersama. “Sembilan bulan, ibu mengandung, dan melahirkan kita ke dunia, Siang dan malam ibu menyusui, Tiada merasa lelah dan letih Kasih sayangnya cinta kasihnya Sepanjang masa Surga di telapak kaki ibu Tak terbalas emas permata Surga di telapak kaki ibu Itulah hadist Nabi Muhammad Jangan durhaka pada ibunda Di akhirat mendapat siksa Surga di telapak kaki ibu Itulah hadist Nabi Muhammad Kalau kita berbakti padanya Di akhirat mendapat surga…” kali itu aku melihat senyum yang terkembang dari mulut Abah, mengembang memperlihatkan gigi-giginya yang dapat dihitung jari berwangikan keikhlasan penuh cinta seorang Kakek, bernyanyi bersama-sama lagu milik Dhea Ananda yang sempat populer tempo dahulu. Barangkali selama itu dan dengan cara itulah Abah mencurahkan sayang dan cintanya pada kami sebagai cucu.
Selain itu, Abah lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca al-Qur’an, istirahat karena usia yang memaksanya seperti itu, sengaja duduk di tengah-tengah kami memberi nasehat-nasehat atau berdiam diri di mesjid, tepatnya dipojok shaff, Abah selalu meluangkan waktunya untuk berdzikir.
Maka dari itu Abah selalu mengingatkanku agar jangan pernah beranjak dari tempat duduk sehingga aku telah selesai berdzikir setelah shalat. Terkadang, aku sampai malas untuk bertemu dengannya, pasti yang ditanya adalah shalat, shalat, dan shalat lagi atau harus banyak berdzikir. Kenapa sih aku harus seperti itu? Kenapa Abah sibuk banget membanjiriku dengan nasehat-nasehatnya? Masalahnya aku bosan dinasehati dengan logat, dengan intonasi, dengan raut wajah, dengan konten nasehat yang sama persis dengan nasehat Abah di hari-hari sebelumnya! Ya. Aku memang rajin setelah itu, rajin berdzikir ketika ada musibah, rajin berdzikir ketika baru dikasih uang jajan agar mendoakan orang tua. Ya. Rajin musiman. Tanpa memikirkan secara mendalam apa yang aku lakukan selama ini. Nasehat Abah selama bertahun-tahun belum terasa.
Sampai suatu ketika aku terbangun, setelah shalat subuh biasanya pada waktu liburan aku tidur lagi, kemudian aku melihat Abah yang sedang menonton channel kesukaannya, TPI, tentang berita, sambil kudengar desah resah nafas asmanya, disamping keriput kulit berkerut, alam yang membuatnya seperti itu secara alami, dan Tuhan yang berkuasa atasnya. Nafas yang tersengal nan berat, asma yang tak kunjung sembuh, takkan sembuh selayaknya usia yang semakin tumbuh.
Kemudian suatu waktu Abah sakit. Keluarga besar pun berdatangan, di saat sakit pun nasehat tetap membanjiri keluarga kami. Abah dan Umi berbicara banyak mengenai hal-hal yang tidak kumengerti. Kakek banyak bicara mengenai keseriusanku dalam masa pendidikan sekolah sampai kuliah, Umi juga ikut menasehatiku. Kenapa sih harus seperti itu? Rasanya telinga ini tak cukup besar untuk menampung semua nasehat-nasehat dari Abah dan Umi, dari tukang minyak dan seorang petani! Ya. Abah seorang tukang minyak, Umi seorang petani. Tukang minyak dan petani yang miskin yang banyak berbicara tentang nasehat-nasehat yang membosankan, sampai berbusa-busa. Aku kira semua orang sudah tahu tentang apa yang seharusnya dilakukan. Namun mengapa Mama dan Abi begitu sayang pada abah dan umi? Ketika aku mondok di Garut Umi tak jarang membekali nasi bungkus dan pisang goreng, aku ngga mau menerima penuh gengsi, aku mengabaikan kasih sayang unlimited-nya.
But, kenapa ya kalau liburan, sementara keluarga menyempatkan untuk pergi ke Garut, Mama selalu betah berdiam hanya untuk berbicara banyak dengan Umi dan Abah. Abah terlihat banyak terdiam dibanding menanggapi obrolan Mama dan Umi. Ketika di Purwakarta pun, tak jarang Mama mengenalkan Abah dan Umi lewat cerita-ceritanya yang menarik pada anak-anaknya. Mama dalam salah satu ceritanya tentang jilbab, Mama pada zamannya duduk di bangku SMA begitu sulit untuk mengenakan jilbab. Abah pun menggerutu terhadap sikap Mama. “Teu pira nya, bet beurat-beurat teuing make jilbab teh. Padahal teu sakilo-kilo acan dibanding nyunyuhun tolombong mah.” (Padahal ngga seberapa, kok kenapa berat banget sih berjilbab? Padahal ngga sampai satu kilogram dibanding kalau membawa tampah) maka dari cara Mama mengenalkan Abah dan Umi dipihak Mama dan Kakek dan Nenek dipihak Abi, aku baru menyadari bahwa keberadaan orang tuaku dengan karakternya barangkali merupakan hasil didikan Abah dan Umi. Mama dan Abi yang penuh tanggung jawab merawatku dan enam saudara kandung, Mama dan Abi yang mendidik dengan nuansa agamis yang tegas namun dilumuri oleh cinta suci yang begitu tebal. Mama dan Abi yang mencintai kami sebagai anak dengan cinta sejati tak bertepi bergaramkan peluh pengorbanan dan semangat juang tak berbatas.
Sampai akhirnya semua kasih sayang Abah dan Umi itu diwariskan pada Mama dan Abi yang memeluk hangat mesra anak-anaknya, meskipun aku sendiri belum begitu mengenal lebih dekat siapa makhluk bertanggung jawab dalam pendidikan Mama dan Abi. Pelukan mesra itu tak perlu menunggu lama menjelma menjadi haru. Mama dan Abi terlihat bahagia ketika 14 September 2014 lalu berhasil mengantarkan Kakakku menjadi sarjana sosiologi. Hasil keringat dari tukang minyak dan petani itu! Ya. Para tukang dan petani yang miskin.
Di mobil menuju Bandung, Mama dan Abi sudah melihat-lihat bagaimana 100 meter menuju universitas, mobil-mobil sudah memadati area parkir. Terprediksi satu orang calon sarjana di antara oleh 2-3 mobil pengantar dari keluarga besarnya. Orang tua yang berasal dari latar belakang berbeda berdatangan. Termasuk mereka-mereka orang tua yang berprofesi sebagai tukang becak atau petani bahkan buruh yang rela berhutang uang ria hanya untuk menyewa sebuah mobil demi acara wisuda anaknya.
Saat hari yang penuh haru itu, Mama mulai menitikkan air mata, masih kudengar dengan suara kecilnya Mama berdoa pada Tuhan untuk anak-anaknya, terutama untuk Kakakku. Sementara Abi masih tegar dan tetap dalam kefokusannya mengemudikan mobil. Sesampainya di universitas, banyak di antara para orang tua dan tamu menyaksikan prosesi wisuda, tak sedikit yang menunjuk-nunjuk monitor dan menanti anak-anaknya dipanggil oleh master of ceremony.
Setelah selesai, wisudawan/ti keluar dari ruangan, pecahlah tangis itu. Abi yang kukenal sebagai sosok tegar, kini gelar tegar yang selama ini disandangnya tak lagi melekat. Abi tak kuasa menahan perasaan bahagianya memeluk Kakak. Terlebih Mama. Bersamaan dengan hal itu, banyak di antara orang tua dan tamu undangan yang memberikan bunga pada anaknya. Namun tidak dengan Mama. Mama tidak memberi bunga pada Kakak. Tak lama, sebuah pesan pun sampai padaku dan Kakak, pesan singkat muncul dari layar handphone, dari Mama! :
“Aa, Mama tidak bisa memberikan bunga karena pasti akan layu dan terbuang. Tetapi Mama akan memberikan do’a yang pasti akan abadi dan pasti takkan terbuang, semoga akan dirasakan lama di akhirat dan dunia. Jadilah orang yang menghambakan diri kepada yang telah menciptakanmu, perjalanan masih panjang. Jalani dunia untuk akhirat. Semoga hari ini awal menuju kesuksesan untuk kebahagiaan dunia akhirat. Barakallahufiik.”—selesai.
Aku masih saja menahan-nahan rasa haru, aku malu disebelahku ada Umi dan Bibi. Kuhela dan kuhirup nafas dalam-dalam, berusaha menenang-nenangkan diri. Dalam foto wisuda, raut wajah sembab tak bisa disembunyikan dari wajah-wajah Kakak, Abi dan Mama.
Setelah sejenak beristirahat, kami sekeluarga pun berbincang ringan terkait prosesi wisuda. Bila disyukuri, bukankah kehadiran dua malaikat dalam wisuda menjadi anugerah terbesar? Aku jadi ingin membahas Penda, teman Kakak yang juga wisuda dalam waktu yang bersamaan dengan Kakak. Dia yang datang hanya dengan Ibunya. Padahal seminggu yang lalu Ibunya dirawat di rumah sakit daerah Purwakarta, maag kronis, saat itu dalam perawatannya pun tak sehelai pun karpet tergelar di sisi ranjang tempat berbaring di rumah sakit karena dia yang tidak mampu dari sisi ekonominya. Dan saat wisuda, hanya Ibunya yang hadir, sang ayah masih misteri. Sampai saat ini Penda tak pernah tahu siapa ayahnya. Dapatkah kau mendengar? Bagaimana jeritan hati seorang anak yang menginginkan kehadiran Ayah di hari istimewanya. Begitupun jeritan hati seorang Ibu yang ingin memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, terlebih menghadirkan sang Ayah di hari itu. Dada bahu Penda terasa dingin sekali dan hampa tanpa peluk hangat seorang Ayah di sisinya. Ibu terus bungkam perihal Ayahnya. Hal itulah yang membuat Penda mendalami ilmu hitam secara sembunyi-sembunyi, hanya untuk mengetahui wujud-rimba sang Ayah. Seketika ia sudah mengetahui siapa Ayahnya dari seorang dukun, tetapi ketika ia berusaha mengklarifkasi pada Ibunya, Ibu enggan meng-iyakan.
Abi dan Mama pun bercerita, ketika wisudawan-wisudawan yang keluar dari ruangan disambut dengan sungging senyum keluarga, hal itu tidak bagi Penda, tak ada sambutan hangat dari Ayahnya, hanya dari Ibunya. Abi pun menuturkan bila saja jarak saat itu dekat, ingin rasanya memeluk Penda ‘tuk meringankan sejenak jeritan hatinya. Sebab sudah tak jadi rahasia umum bagaimana arti besar kehadiran orang tua di mata seorang anak.
Sampai beberapa waktu berlalu, berjalan ke depan, tabung oksigen pun sudah terpasang di hidung Abah. Pertanda kondisi Abah yang semakin menurun seiring bertambahnya usia. Kuperhatikkan bagaimana Abah menikmati tarikan nafas yang dibantu alat merepotkan itu, Abah memang selalu sabar menikmatinya. Terdengar susah payah, sesekali tangannya bergerak lalu berdzikir.
Dan..selepas liburan dan dalam waktu yang lama, aku pun mengabaikan mereka. Rasanya tidak ada yang berkesan dari seorang Kakek dan Umi. Sampai tiba suatu waktu, Mama sedang menjemur pakaian, Mama heran mengapa Mama saat itu tertarik untuk menengadahkan matanya ke langit, di langit terdapat awan yang menyerupai seseorang yang sedang berbaring. Mama menatapnya dalam-dalam, padahal Mama tak mengerti sedikitpun tentang awan itu, tak mengerti sama sekali.
Sampai esok hari, barulah terdengar kabar, bahwa merpati-merpati putih t’lah membawa ruh suci di haribaan Tuhan dengan damai. Malaikat-malaikat telah menjemput jiwa-jiwa suci ke hadapan-Nya. Abah telah tiada. Mama tersentak sadar, awan-awan yang dilihatnya barangkali menjadi pertanda ketiadaan. Antara sadar dan tak sadar, Mama harus menerima kenyataan. Aku? Hampir terlihat biasa saja, hanya kesedihan yang menyelimutiku, lantaran tertular oleh tangisan-tangisan yang terdengar di sekitarku, aku hanya merasa kehilangan salah satu anggota keluarga.
استغفرالله 3x
“Aku meminta ampun kepada-Mu ya Rabb,meminta ampunanmu dari segala dosa kesalahan yang telah kuperbuat dari menjelang Maghrib hingga Isya ini.”
اللهم انت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال و الاكرام
“Ya Allah Engkau Maha dan pemilik Kesejahteraan, dari-Mu pula kesejahteraan itu datang. Maha Berkah Engkau wahai Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan Abadi.”
لا اله الا الله وحده لا شريك له, له الملك و له الحمد و هو على كل شيئ قدير. لا حول ولا قوة الا با لله. لا اله الا الله ولا نعبد الا اياه. له النعمة و له الفضل وله الثناء الحسن. لا اله الا الله مخلصين له الدين, ولو كره الكافرون. اللهم لا منع لما اعطيت ولا معطي لما منعت ولا ينفع ذا الجد منك الجد.
“Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya seluruh kerajaan dan milik-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan kami tidak menyembah kecuali kepada-Nya, milik-Nya segala nikmat, milik-Nya segala keutamaan dan milik-Nya segala sanjungan yang baik. Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dengan mengikhlaskan agama (ketundukan) untuk-Nya walaupun orang-orang kafir benci. Ya Allah, tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, tidak ada yang dapat memberi apa yang Engkau halangi dan tidak bermanfaat bagi orang yang memiliki kekayaan (dari siksaan-Mu) akan kekayaannya”.

Tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah yang Tunggal. Kau pikir siapa makhluk Tuhan yang mengajarkanmu untuk senantiasa ingat kepada-Nya? Baginya segala hinaan dan cacian yang kau lontarkan dalam hatimu itu! Gerutu yang membatu. Bukankah seorang petani dan tukang minyak yang kau sebut miskin itu yang mengajarkanmu dzikir? Menyebut mereka miskin sementara tak terhitung berapa kali kau dibuat tersenyum oleh keduanya? Menyebut mereka miskin sementara seberapa ratus mainan yang t’lah keduanya berikan kepadamu saat kecil? Menyebut mereka miskin sementara seberapa juta kali  butir nasi dan makanan-makanan lain yang telah masuk dalam perutmu dan membuatmu kenyang lalu tertidur dengan lelap? Menyebut mereka miskin sementara seberapa milyar doa yang telah mereka panjatkan dan dikabulkan-Nya sehingga membuatmu seperti ini? Dasar kera! Dasar kuda! Bahkan kera dan kuda berterimakasih ketika sang majikan memberinya makan. Apa yang membuatmu menjadi lebih hina dari binatang itu yang tak tahu berterimakasih bahkan tak mendoakan kepada orang yang telah membuatmu menjadi seperti ini?

Ya Rabb, Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan, jadikanlah lidah yang memanjat doa ini bertuah, kabulkanlah doa yang akan kupanjatkan, untuk Abah yang “beristirahat” dalam kedamaiannya di tempat kediaman abadi, untuk Umi yang dalam diamnya menyumpahi anak-cucunya dengan doa-doa mujarab, untuk Mama dan Abi yang mengantarkanku pada batas kesadaranku, jangan halangi aku untuk bertaubat ya Rabb. Bertaubat dengan mengingat jasa-jasa mereka yang pernah kulupakan.  Jangan halangi doa ini hanya karena dosaku yang menggunung tinggi, jangan halangi sebagaimana Engkau tidak menghalangi doa-doa keluarga yang langsung Engkau kabulkan.
سبحان الله 33x
Maha Suci Engkau ya Allah, sucilah jasa-jasa Abah Umi, Mama dan Abi, rahmatilah mereka, ya Rabb.
الحمد لله 33x
Maha Terpuji Engkau ya Allah, terpujilah segala kebaikan Abah Umi, Mama dan Abi, Sejahterakan mereka, ya Rabb.
الله اكبر 33x
Maha Akbar Engkau ya Allah, Besarlah peran-peran Abah Umi, Mama dan Abi, masukkan mereka ke dalam surga-Mu, ya Rabb.
لا اله الا الله وحده لا شريك له, له الملك و له الحمد و هو على كل شيئ قدير.
Tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya segala kerajaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Lafadz-lafadz terlantun membuatku masuk kedalam genangan air keilahian..
badan menjadi basah. Namun bersinar oleh cahaya-cahaya ketuhanan..
kelak kutularkan sifat Tuhan dan manifestasi iman melalui kebaikan..
kepada sahabat, teman, juga mereka-mereka yang senang mengenalku..
O Tuhan AzzawaJalla. Jadikanlah jiwa ini senantiasa basah kala kusebut asmaMu.
cipratkan bulir-bulir keimanan itu senantiasa, agar kuciptakan kedamaian melalui pemahaman agamaku semoga.
Tak banyak sebenarnya buku-buku referensi yang kubaca mengenai makna shalat. Namun pada intinya aku selalu bertanya tentang aktifitas yang selama ini aku lakukan, hampir tak ada aktifitas yang berlalu tanpa kupikirkan terlebih dahulu. Shalat? Dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Hanya sebatas tahu, tapi sikapku seperti orang tidak tahu. Pengetahuanku gersang mengenai makna shalat. Setelah shalat, aku hanya puas karena berhasil menggugurkan kewajiban. Berjalannya waktu, yang dapat aku lakukan hanya bertanya dan bertanya terhadap apa yang ada di sekitar dan rutinitas yang perlu aku pertanyakan. Mulailah aku bertanya mengenai berdzikir. Kenapa ya aku harus berdzikir? Apa ada pengaruhnya dalam rutinitas selanjutnya?
Bersamaan dengan hal itu, aku jadi teringat dengan pesan Abah agar senantiasa berdzikir. Mengingat jasa-jasa Abah, Umi, Mama, Abi dan kerabat-kerabat, aku meyakini bahwa aku tak pernah bisa menjadi seperti ini tanpa mereka. Ya, mereka-mereka yang membesarkan dan membuatku berada di strata satu pendidikan dengan penuh dukungan mereka baik moril maupun materiil. Sampai di sana aku pun mulai menyadari bahwa aku harus berterimakasih kepada mereka, mengingat segala kebaikan mereka, dan bernafsu ingin kembali ke pangkuan keluarga dengan mengabdi dan menjadi orang yang berhasil, orang yang baik nan jujur. Lantas, kepada siapa aku harus berterimakasih selain kepada-Nya yang menganugerahkan segalanya? Kepada-Nya lah aku meminta agar mereka hidup dalam kesalehan dan ketaatan selalu, dan menerima takdir ketiadaan dalam keadaan taat, di anugerahi rizki halal serta diampuni segala kesalahan-kesalahan mereka.
Shalat pun kini sedikit bermakna, karena di dalam dan setelahnya, ada ritual yang mesti dilakukan, memejamkan mata, mengingat kenangan dan jasa-jasa mereka yang telah berbuat baik kepadaku dan merenungkan untuk apa aku diciptakan selain mengabdi di bawah kuasa-Nya. Setelah berdzikir pun aku baru mengerti bahwa setiap kali berdzikir aku selalu mendapat motivasi baru dalam hidup. Bahwa aku hidup bukna tanpa tujuan, yang kadang aku lupa, maka dari itu aku selalu memperbarui kesadaranku dengan berdzikir lima kali dalam sehari, sedikitnya. Aku tak menyadari sebelumnya bahwa nasehat-nasehat Abah akan berguna di kemudian hari, tepatnya saat usia hidup mencapai tahun ke-19.
Setelahnya ayat kursi terlantun, air mata menggeliat memaksa turun, bumi yang kupijak beristisqa’ menengadahkan tangannya menyambut air mata.
اللهم اني اعوذبك من البخل و اعوذبك من الجبن واعوذبك من ان ارد الى ارذل العمر واعوذبك من فتنة الدنيا وعذاب النار.
Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung pada-Mu dari hati yang lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur yang jelek, aku berlindung kepada-Mu dari musibah dunia dan aku berlindung pada-Mu dari siksa kubur.”
O Tuhan. Izinkan aku membangunkan mereka-mereka yang kehadirannya seperti ketiadaannya..
O Tuhan. Izinkan aku menyadarkan sekelompok manusia yang tidak menyadari mereka-mereka yang t’lah tiada, padahal semestinya mereka senantiasa ada di hati urat nadinya.
Ketiadaan keluarga, bukan berarti tiada. Kini mereka yang telah tiada mulai hidup di hati. Abah wafat 2007 silam, butuh waktu tujuh tahun sampai tahun ini untuk menangisi ketiadaannya. Mengapa harus menunggu waktu lama untuk bersedih? Mengapa baru hari ini aku kehilangan Abah? Mengapa harus hari ini aku meratapi ketiadaan? Mengapa baru hari ini aku merasa “dingin” tanpa kasih sayangnya?
Di hadapanku sosok Abah mulai terbayang. Bernafas dengan payah dengan bantu alat oksigen. Nafas-nafas Abah yang selalu memberi kehidupan untukku sendiri, Mamah, dan keluarga besar berkat jasanya yang teramat besar. Selama aku masih bernafas, selama ini pula mudah-mudahan hela nafas ini menjadi doa dan kesadaran yang melahirkan dzikir ketika mengingat nafas kakek yang berjasa yang pernah terlupakan olehku.
Aku mulai sadar setelah sudah menjadi seperti ini, telah mengenal orang yang baik dan orang yang buruk, ada sesuatu yang mesti aku lakukan dan sesuatu yang tidak perlu aku lakukan. O ternyata aku yang baru menyadari bahwa dalam nasehatnya Umi tak pernah mengenyam sekolah pada zamannya, namun pada zamannya pula Umi sosok yang telaten untuk bertanya dan belajar membaca, dan menjadi orang yang tidak buta huruf di kampung pada zamannya. Begitupula pendidikan rendah Abah yang telah mengajarkanku kehidupan yang keras dengan berjualan minyak. Nasehat-nasehatnya selalu mempunyai dua sisi, satu sisi nasehat yang Abah dan Umi ucapkan secara langsung kepada kami, sisi yang lain ketika Abah dan Umi berusaha menginternalisasikan nasehatnya melalui pembiasaan yang mereka coba tanamkan pada kami. Mereka mencoba menanamkan nasehat mereka dengan menyuruhku adzan, menyuruh kakakku iqamat, dengan mengajak tetangga-tetangga untuk main dan makan bersama. Pembelajaran itulah yang tak kusadari sejak dulu, sehingga kebodohanku ini melahirkan gerutuan-gerutuan yang mengalir begitu saja keluar dari mulutku yang hina dan tak tahu diri.
Aku baru sadar tentang perintah Abah agar aku rajin berdzikir. Ada rasa jenuh, resah, jiwa-jiwa yang haus akan ketenangan dan ketenteraman, dan saat itulah jiwa ini merasa terpanggil dan tertundukkan oleh sang pencipta. Pada saat itulah aku mulai bertanya-tanya tentang kehidupan dan suatu rutinitas yang sering aku jalani yang berjalan begitu saja tanpa disadari, padahal sesuatu yang tak kusadari itulah membuatku terlempar dari alasan diciptakannya aku di dunia.
Ketika kumasukki lautan dzikir, kelak berusaha untuk kulahirkan kesalehan individu dan sosial.
Ketika kumasukki lautan pendidikan, kelak berusaha untuk kulahirkan kebijaksanaan dalam sikap dan tingkah laku.
Ketika kumasukki lautan dzikir, kelak berusaha untuk menjadi orang yang mengabdi pada keluarga, masyarakat, bangsa dan agama. Semua rutinitas tiada yang sia-sia.
اللهم اعني على ذكرك و شكرك و حسن عبادتك
Ya Allah, Bantulah aku untuk senantiasa berdzikir pada-Mu, berdzikir akan jasa-jasa Mama Abi, Abah dan Umi yang tak terbalaskan jasanya. Bantulah aku untuk senantiasa bersyukur pada-Mu, bersyukur karena dilahirkan dalam keluarga yang membuatku nyaman dan menyejukkan hati, dan bantulah aku untuk senantiasa memperbagus ibadah pada-Mu.
Tuhan yang Maha Kasih. Aku sadar bahwa ada berapa ratus juta kilometer jarak untuk menembus langit, tapi aku percaya pada dzikir dan doa, yang menembus batas itu ketika doa kupanjatkan akan langsung terdengar oleh-Mu.
…3598 detik..3599..dan..3600! sampai akhirnya air mata tak kuasa menahan jiwanya, mengalir…




[1] keluarga biasa memanggil Nenek dengan panggilan “Umi”
[2] keluarga biasa memanggil Kakek dengan Abah

Comments

Popular posts from this blog

contoh hasil penelitian ilmu rijal al-hadis

Makalah Ulumul Qur'an | Dlomir, Tadzkir, Dan Ta'nits

kitab sunan an-nasa'i bi syarhi as-suyuty