RUH DAN JIWA
RUH DAN JIWA
Definisi mati menurut Al-Qur’an
Mati menurut pengertian secara umum adalah
keluarnya Ruh dari jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan
mati jika jantungnya sudah berhenti berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah
terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah bertemunya Ruh dengan Jasad. Kita
mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad sebanyak dua kali dan mengalami
pertemuan Ruh dengan jasad sebanyak dua kali pula. Terpisahnya Ruh dari jasad
untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada dialam Ruh, ini adalah saat
mati yang pertama. Seluruh Ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah
mengumpulkan mereka dialam Ruh dan berfirman sebagai disebutkan dalam surat Al
A’raaf 172:
Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (Al A’raaf 172)
Selanjutnya Allah menciptakan tubuh manusia
berupa janin didalam rahim seorang ibu, ketika usia janin mencapai 120 hari
Allah meniupkan Ruh yang tersimpan dialam Ruh itu kedalam Rahim ibu, tiba-tiba
janin itu hidup, ditandai dengan mulai berdetaknya jantung janin tersebut.
Itulah saat kehidupan manusia yang pertama kali, selanjutnya ia akan lahir
kedunia berupa seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi anak anak, menjadi remaja,
dewasa, dan tua sampai akhirnya datang saat berpisah kembali dengan tubuh
tersebut.
Tempat Ruh dalam Jasad
Di sini
ada dua teori tentang ruh:
1. Teori Ruhaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’.
Pendukung teori ini menyatakan bahwa hakikat ruh terkait dengan alam malakut
(metafisik). Yakni, sebelum kejadian badan, ruh berada di alam malakut. Setelah
kejadian badan, ruh menjadi tawanan badan dalam jangka waktu tertentu. Dan
setelah manusia mati, ruh kembali lagi ke asalnya, yaitu ke alam malakut.
2. Teori
Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Penggagas teori ini adalah Mulla Shadra.
Ia mengatakan bahwa ruh bukan materi, juga tidak turun dari alam malakut ke
alam natural. Akan tetapi, ruh terjadi dari evolusi substansial materi
(takamul-e jauhari-ye madeh). Dengan penjelasan lain, ruh manusia muncul dari
gerak substansial yang disebut dengan nafs natiqah (ruh yang berakal) dan ia
abadi dan tidak musnah sepeninggal badan. Oleh karenanya, ruh adalah hasil dari
evolusi natural. Oleh karena itu, kejadian ruh demikian ini disebut dengan
jismaniyatul hudus.
Di sini
kita ingin mengetahui; mana dari dua teori ini yang diterima oleh al-Quran?
Apakah dalam masalah ini ayat-ayat al-Quran juga memaparkan pendapatnya? Dengan
mengkaji ayat di bawah ini, bisa dikatakan bahwa al-Quran menerima teori
‘Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Dan sesungguhnya kami telah menciptakan
manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu
Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging.[6]
Al-Quran melanjutkannya demikian:
Kemudian
Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah,
Pencipta Yang Paling Baik.[7] Pada tahapan penciptaan dalam ayat di atas
digunakan lafazh ‘Fa’ dan ‘Tsumma’ yang artinya ‘kemudian’, di mana jika kita
teliti maka akan memahami maksudnya dengan baik.
Penjelasannya
adalah dua lafaz ini memiliki selisih yang sangat dekat sekali. Artinya, jika
selisih antara tahapan hanya dari segi sifat atau selisih substansinya dekat
sekali, seperti selisih antara tahapan gumpalan darah dengan gumpalan daging,
dan gumpalan daging dengan tulang belulang maka yang digunakan adalah lafazd
‘Fa’.
Sedangkan
selisih antara saripati tanah sampai mani dan mani sampai gumpalan darah maka
selisih substansinya jauh.
Kalau
al-Quran mengatakan ‘Tsumma Ansya’nahu Khalkan Akhar’, yaitu kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, sebagai penguat makna tersebut di
mana selisih tahapan ini dengan tahapan sebelumnya adalah jauh yaitu daging
bercampur tulang belulang.
Kata
‘Ansya’ dalam sastra Arab artinya adalah menciptakan sesuatu yang belum terjadi
sebelumnya.
Dalam
tahapan penciptaan manusia yakni dari tanah sampai daging bercampur tulang
belulang, al-Quran menggunakan kata ‘Khalaqa’ dan ‘Ja’ala’. Namun di akhir
menggunakan kata ‘Ansya’ dan ‘Khalqan Akhar’ untuk menunjukkan bahwa pada
tahapan akhir muncul sesuatu yang baru bagi manusia. Dengan kata lain setelah
manusia menjalani tahapan materi ia sampai pada satu tahapan di mana Allah
mewujudkan untuknya ciptaan yang lain.
Ruh Allah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menulis dalam bukunya al-Jawab Ash-Shahih li mon Boddalo bi Din al-Mosih, ditahqiq dan dikomentari oleh Dr. Ali bin Hasan, Dr. Abdul Aziz
Askar dan Dr. Hamdan al-Hamdani (3/248), tentang penjelasan makna yang tepat
kata ruhullah:
Ruh Allah maksudnya adalah mafaikat yang dianya adalah ruh pilihan
Allah, dan Allah mencintainya, seperti yang termaktub dalam al-Quran:
lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya,
maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam
berkata: “Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Yang Maha Pemurah, jika
kamu seorang yang bertaqwa”. la (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang
suci” (QS. Maryam 19:17-19).
Allah memberitakan, bahwa Dialah yang mengirim ruh-Nya kepada nabi
Isa, lalu nabi Isa menjadi manusia yang sempurna. Jelas, bahwa nabi Isa adalah
rasul utusan Allah.
Maka dapat diketahui, ruh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
malaikat, yaitu ruh pilihan Allah, kemudian Allah menyandingkan kata ruh itu
kepada Dzatnya, sama halnya dengan penyandingan
kata benda yang lain dengan lafzul jalalah, seperti dalam ayat:
“(Biarkanlah) unta betina
Allah dan minumannya” (QS.
asy-Syams 91:13)
“dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang beribadat
dan orangorang yang ruku’ dan sujud” (QS. AI-Hajj 22 : 26)
“(yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum… ” (QS. al-Insan 76 : 6)
Kata yang disandingkan kepada Allah, jika itu adalah kata
keterangan (sifat), tidak bermakna makhluk, seperti kata `llm, Qudrah, Kalam,
dan Hayat (hidup), menjadi sifat kesucian Allah. Dan jika kata itu adalah kata
benda, ia berdiri sendiri atau menjadi kata keterangan dari yang lain, contohnya:
kata bait (rumah), naqah (unta), `abd (hamba) dan ruh (nyawa) menjadi milik,
ciptaan yang disandarkan kepada pencipta dan pemiliknya. Hanya saja, dalam
kaidah idhafat, mudhaf ilaih tidak terlepas dari pengkhususan kata mudhaf dengan sifat yang membuat mudhaf ilaih berbeda dari yang lain sebagai
syarat sahnya idhafat. Misalnya, khusus Ka’bah, Naqah (unta tertentu) dan Ibadussholihin
(hamba-hamba shalih)-lah yang dimaksudkan dalam idhafat `baitullah’, ‘naqatullah
dan `ibadullah’.
Demikianlah ruh khusus pilihan Allah yang disebut dalam idhafat
`ruhullah’, tidak digeneralisir sehingga masuk ruh-ruh yang buruk, seperti
syeitan, orang-orang kafir. Ruh syeitan dan orang-orang kafir itu memang
makhluk ciptaan Allah, namun tidak sah diidhofatkan kepada Allah seperti
mengidhofatkan ruh-ruh yang suci dan bersih. Begitu juga tidak sah
mengidhofatkan segala benda mati kepada Allah kecuali Ka’bah, dan tidak sah
mengidhofatkan untaunta lain kecuali naqatullah (unta Allah) yang diterangkan
di surat asy-Syams, yaitu unta nabi Shalih.
Menurut
pendapat saya: makna yang tepat dari idhafat ruhullah itu adalah `malaikat
utusan dari sisi Allah seperti yang termaktub dalam al-Qur’an:
la (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku
ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki
yangsuci” (QS. Maryam 19 : 19),
dan
bukan seperti yang didakwakan umat Nasrani: `Ruh Allah menyatu dengan jasad
Isa’ atau `Ruh Allah pindah dari ke jasad fsa’. Mahasuci Allah
setinggi-tingginya dari tuduhan kotor mereka. Sekiranya ucapan umat Nasrani itu
benar, pasti mereka diwajibkan menyembah Adam as., sebab ADlam tidak mempunyai
ayah, dan sebab ruh Adam juga ditiupkan oleh Allah,
sebagaimana termaktub dalam al-Quran
“Maka opabila Aku telah menyempurnakan
kejadianya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka
tunduk kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. al-Hijr 15:29).
Dengan demikian, di sana tiada perbedaan antara peciptaan Adam as.
dan Isa as. al-Quran menegaskan hal itu dalam ayat: “Sesungguhnya penciptaan
‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam
dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya:
“Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah
dia” (QS. Ali `Imran 3:59).
Kesimpulannya, sudah seharusnya bagi orang yang berkeyakinan
kontroversial untuk kembali ke jalan yang benar. Berpaling untuk menyembah
Allah yang Esa, yang tiada satu pun sekutu dengannya, baik itu dari jenis
malaikat ataupun nabi.
Jiwa itu mati
Ibarat
badan manusia, matinya kerana terpisah antara roh dengan jasad. Roh itulah
merupakan sebab mengapa manusia itu bernyawa. Tanpa roh, manusia itu mati.
Firman Allah SWT di dalam surah al-Hijr ayat 29, ketika mencerita penggabungan
roh dan jasad:
فَإِذَا
سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِي
Kemudian
apabila Aku sempurnakan kejadiannya, serta Aku tiupkan padanya roh dari
(ciptaanku) maka hendaklah kamu sujud kepadanya.
Dalam surah al-Waqi’ah ayat 83, Allah
menceritakan mengenai kematian, iaitulah ketika roh terpisah daripada jasad.
فَلَوْلاَ
إِذَا بَلَغَتِ ٱلْحُلْقُومَ
Maka alangkah eloknya kalau semasa (roh
seseorang dari kamu yang hampir mati) sampai ke kerongkongnya.
Manusia
sekiranya mati, maka perginya takkan kembali. Apa yang mampu ialah menunggu
saat untuk dikembalikan nanti.
Akan
tetapi jiwa, sekiranya mati, matinya bukan kekal. Matinya sementara. Kerana roh
manusia itu boleh dibangunkan kembali, walau seteruk mana ‘kematian’ yang
dialami.
Mencari
roh jiwa tidak memerlukan anda untuk duduk bertapa di gua. Tidak memerlukan
anda untuk meninggalkan kerja dunia.
Ini
kerana roh jiwa itu ada di sisi anda. Roh jiwa itu sebenarnya, ialah al-Quran.
Dengan mendekati al-Quran, jiwa yang mati akan dihidupkan semula. Yang gelap
akan kembali terang. Yang pudar akan kembali sinar. Yang muram akan kembali
tertawa.
Comments